"Pemuda dan Radikalisme: Pengaruh Gerakan Keagamaan Transnasional terhadap Indonesia", itulah judul webinar yang diusung oleh NuN (Netizen untuk Negeri) pada hari Jum'at, 22 Oktober 2021 lalu. Dihelat  dalam rangka ikut memberikan warna pada Hari Peringatan Sumpah Pemuda 1928 yang jatuh pada 28 Oktober hari ini.
Hadir sebagai Pembicara Kunci adalah Dr. H. Amar Ahmad, M.Si., Sekretaris Deputi Bidang Pengembangan Pemuda, Kementerian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia. Beliau hadir mewakili Menteri Pemuda dan Olahraga RI, Dr. H. Zainudin Amali, M.Si. yang memiliki agenda lebih penting untuk dihadiri. Selain itu, juga tampil tiga orang pembicara yang masing-masing memiliki kompetensi dan pengalaman mumpuni. Mereka adalah Yon Machmudi, Ph.D., Kepala Program Pascasarjana Kajian Timur Tengah & Islam, Sekolah Kajian Strategis dan Global (SKSG) Universitas Indonesia. Kemudian ada juga Indra Jaya Piliang, S.S., M.Si., Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Sang Gerilyawan Nusantara yang dulu sewaktu mahasiswa sempat menjadi Sekretaris Jenderal Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah Indonesia (Ikahimsi). Dan terakhir adalah Nasir Abas, yang sekarang merupakan Konsultan Senior Division for Applied Social Psychology Research (DASPR) dan pernah menjadi Pimpinan al-Jama'ah al-Islamiyah (JI).
Di dalam tulisan ini, saya hendak sedikit merangkum pembahasan dalam webinar. Hal ini selain sebagai catatan bagi yang mengikuti webinar secara langsung, juga agar diskusi dapat dinikmati kalangan lebih luas. Dalam hal ini terutama bagi pembaca Kompasiana yang tidak mengikutinya.
Dr. H. Amar Ahmad, M.Si.
Setelah menyampaikan permohonan maaf dan salam dari Menpora RI karena tak dapat hadir langsung, Dr. Amar memaparkan materi berjudul "Pemuda dan Radikalisme". Materi yang disusun khusus untuk webinar NuN ini menyajikan banyak data berharga. Data pertama berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan hasil Sensus Penduduk Indonesia 2020 (SP2020). Menurut data tersebut, terdapat 270,20 juta jiwa penduduk Indonesia, bertambah 32,56 juta jiwa dari SP2010. Dari jumlah 270,20 juta jiwa tersebut, komposisinya adalah:
- Pre-Boomer: 1,87 %
- Baby Boomer: 11,56 %
- Gen-X: 21,88 %
- Millenial: 25,87 %
- Gen-Z: 27,94 %
- Post Gen-Z: 10,88 %
Dari statistik tersebut, yang bisa dikategorikan pemuda sebesar 75,69 %. Angka tersebut didapat dari penjumlahan prosentase Gen-X, Millenial, dan Gen-Z. Sebagai tambahan dari penulis, bila merujuk pada tabel "Generation Timeline" yang dapat dilihat di Wikipedia berbahasa Inggris pada lema "Generation", maka pembagian tahunnya adalah sebagai berikut:
- Silent Generation (Pre-Boomer): 1928-1945
- Baby Boomers: 1946-1964
- Generation-X: 1965-1980
- Generation-Y (Millenials): 1981-1996
- Generation-Z (Zoomers): 1997-2012
- Generation Alpha (Post Gen-Z): awal 2010-pertengahan 2020
Dalam konteks pemuda dan radikalisme, Dr. Amar juga mengetengahkan data dari "Indonesia Millenial Report, 2019". Dari responden yang disurvei, ternyata ada 19,5 % yang terpapar ideologi radikal. Walau di sisi lain, tentu 81,5 % millennial mendukung NKRI sebagai sistem negara di Indonesia. Meski data yang dipaparkan tersebut tidak menjelaskan mendetail, namun patut diduga bahwa 19,5 % millennial itu menginginkan bentuk negara selain NKRI. Sebutlah misalnya, khilafah.
Dan tentunya upaya untuk membendung meluasnya dampak negatif pemikiran radikal tersebut terhadap millennial salah satunya adalah dengan mengkampanyekan penggunaan media sosial yang sehat dan bermanfaat. Termasuk dengan melawan ujaran kebencian (hate speech), kabar bohong (hoax), dan muatan (content) negatif lainnya.
Yon Machmudi, Ph.D.
politik, ekonomi dan sosial secara drastis (radikal). Sementara fundamentalisme - -mengutip Jansen, Johannes G. (1997) berarti:
Tampil setelah Pembicara Kunci, adalah Yon Machmudi, Ph.D. Beliau mengetengahkan materi berjudul "Radikalisme dan Gerakan Transnasionalisme di Indonesia". Sebagai akademisi, pertama-tama Yon menegaskan agar kita bisa membedakan radikalisme dengan fundamentalisme. Mengutip Silvan, Emmanuel (1985),radikal berarti meyakini atau mengikuti prinsip-prinsip yang mendorong pada perubahan- Meyakini atau mengikuti pandangan yang menjadikan agama sebagai ideologi politik.
- Fundamentalisme ada dua: fundamentalisme radikal dan fundamentalisme moderat.
- Dalam literatur pemikiran politik Islam sering disebut dengan istilah "Islamis maupun Islam Politik".