Yon mengingatkan, bahwa radikalisme adalah benih dari terorisme. Menurutnya, para pelaku teroris adalah aktor rasional yang berusaha untuk memaksimalkan tujuannya, tetapi memiliki keterbatasan resources. Apabila negara tidak efektif menangani masalah radikalisme, atau sebaliknya terlalu over reaktif, bisa berdampak pada ketidakstabilan politik.
Untuk itu, Yon menyarankan rekomendasi sebagai berikut:
- Kebijakan penanggulangan radikalisme di Indonesia harus dapat membedakan antara kelompok radikal dengan kelompok fundamentalis. Kelompok fundamentalis moderat harus dilibatkan secara serius dalam hal penanggulangan radikalisme dan terorisme di Indonesia. Dari aspek pemahaman keagamaan mereka lebih paham dalam menolak logika kekerasan yang dikembangkan oleh kelompok radikal.
- Ormas-ormas Islam moderat harus diajak dan didukung berpartisipasi dalam menyebarkan dan mengembangkan aspek perdamaian dalam Islam melalui Pendidikan, dakwah, maupun kegiatan sosial. Penyediaan materi-materi keagamaan yang penuh dengan cinta kasih, toleransi dan membangun perlu diusahakan.
- Strategi penanggulangan radikalisme harus bersumber dari persoalan yang dihadapi oleh Indonesia karena Indonesia memilki kompleksitas persoalan yang berbeda dengan negara-negara lain. Riset mendalam berkaitan dengan kasus-kasus radikalisme maupun terorisme perlu dilakukan agar dapat menghasilkan kebijakan dan strategi yang pas dan efektif.
Nasir Abas
Di urutan ketiga pembicara adalah Nasir Abas. Sebagai mantan teroris, ia mengemukakan pengalamannya yang berharga. Dalam kesempatan ini, ia memaparkan materi berjudul "Pemuda dan Radikalisme: Prediksi Setelah Jatuhnya Afghanistan kepada Taliban". Pemaparannya penuh dengan peta, gambar dan foto yang menarik. Karena itu, agak sulit menjabarkannya menjadi tulisan.
Intinya, setelah mengelaborasi pengalamannya selama menjadi pimpinan JI, Nasir Abas mengevaluasi dampak "kemenangan" Taliban baru-baru ini. Ia menyatakan, bahwa kejadian di Afghanistan bisa menimbulkan euforia di kalangan jihadis. Hal itu bisa menjadi inspirasi dan bukti bahwa perjuangan atas nama agama bisa berhasil mengalahkan pemerintahan yang ada dan membentuk negara Islam. Kejadian itu juga bisa membuat kelompok radikal merasa bangga karena bendera Taliban hampir sama dengan bendera kalimat Tauhid yang sering dikibarkan di Indonesia (bendera HTI -- pen).
Dengan demikian, Nasir Abas juga menyerukan agar kita tidak menganggap remeh efek kemenangan Taliban di Afghanistan. Seraya tetap waspada terhadap bibit-bibit terorisme yang bisa tumbuh dari sikap radikal di kalangan sebagian umat beragama.
Indra Jaya Piliang, S.S., M.Si.
Indra Jaya Piliang tampil terakhir sebagai pembicara, namun tidak membawakan materi tertulis. Dalam kesempatan tersebut, Indra Jaya mengingatkan bahwa radikalisme sebenarnya mulanya adalah sesuatu yang baik. Karena menurut asal katanya, radikal berasal dari kata "radix" yang berarti "kembali ke akar". Banyak perubahan di dunia lahir justru dari gerakan radikal. Indra justru mengingatkan agar pemuda jangan dihalangi dari radikalisme. Karena radikalisme dalam berpikir menurutnya justru bagus.
Transnasionalisme sendiri menurut Indra sebenarnya wajar apabila sebuah ideologi melintasi batas-batas antar negara. Namun, ketika ideologi itu kemudian bercampur dengan politik, maka bisa terjadi sebuah penafsiran berbeda. Sebutlah seperti ideologi khilafah, sebenarnya khilafiyah. Karena dalam sejarah Islam ada kekhilafahan berbeda-beda. Indra mempertanyakan mau mengikuti yang mana, karena dalam Islam juga ada perbedaan mazhab.
Kemudian, Indra mengutip Noam Chomsky, Indonesia adalah negara yang berbeda meskipun negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Cara Indonesia menangani terorisme justru diterima oleh umat Islam. Menurut Chomsky, Indonesia berhasil menunjukkan pada dunia bahwa terorisme dan Islam berbeda. Chomsky menyatakan bahwa Islam tidak berbahaya, membantah tesis sejumlah ilmuwan barat antara lain Samuel Huntington, dengan merujuk pada studi kasus Indonesia.