Mohon tunggu...
Bhayu M.H. Ketum NuN
Bhayu M.H. Ketum NuN Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bhayu M.H. sebagai Ketua Umum M.P. N.u.N.

Netizen untuk Negeri atau disingkat N.u.N. adalah komunitas lintas-agama, lintas budaya, lintas suku bangsa yang didirikan pada 4 Desember 2016. Niat kami adalah ikut berkontribusi bagi kemajuan bangsa. Fokus perjuangan kami adalah melawan intoleransi dan separatisme. Di account ini, Bhayu M.H. bertindak selaku Ketua Umum Musyawarah Pendiri (M.P.) dari N.u.N. Sekaligus merangkap sebagai Koordinator Utama Badan Pengelola Harian (Kortama B.P.H.). Pembuatan account ini adalah untuk membedakan antara Bhayu M.H. sebagai pribadi -yang mana accountnya sudah lebih dulu ada di Kompasiana- dengan sebagai Ketum N.u.N. Apalagi sejak Kemenkumham resmi mensahkan N.u.N. sebagai badan hukum perkumpulan pada 31 Mei 2021, maka setiap pernyataan Bhayu M.H. sebagai Ketum M.P. merangkap Kortama B.P.H. N.u.N. terbuka bagi publik serta dapat dikutip oleh media massa. Maka, diperlukan pembedaan tersebut sebagai bentuk kehati-hatian.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Taliban Kini Ancaman, Lebih Daripada PKI

2 Oktober 2021   13:52 Diperbarui: 2 Oktober 2021   14:16 896
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Layar Presentasi Aslama Nanda Rizal, M.Si. (Foto: Netizen untuk Negeri)

Itulah kesimpulan akhir dari webinar #1 yang diadakan oleh Netizen untuk Negeri (N.u.N.). hari Rabu (29/9) lalu. Tapi bagaimana penjelasannya? Simak lebih lanjut tulisan saya ini ya...

Ada tiga pembicara yang kami tampilkan dalam webinar bertajuk "P.K.I. atau Taliban: Mana yang Ancaman?" Tampil pertama adalah Dr. Islah Bahrawi, Direktur Jaringan Moderat Indonesia yang juga staf ahli Mabes Polri. Di giliran kedua adalah Prof. Dr. Hj. Siti Musdah Mulia, M.A., Ketua Umum Indonesian Religion on Peace & Religion. Dan terakhir adalah Aslama Nanda Rizal, M.Si., sejarawan muda yang juga politikus P.A.N.

Islah: Taliban adalah Ancaman

Layar presentasi Dr. Islah Bahrawi (Foto: Netizen untuk Negeri)
Layar presentasi Dr. Islah Bahrawi (Foto: Netizen untuk Negeri)

Dalam pemaparannya yang disertai slide presentasi berjudul "Taliban dan Politisasi Agama". Islah antara lain mengawali dengan sebuah pernyataan: "Komunisme ini pada dasarnya tidak ada. Ini adalah proses-proses fabrikasi politik saja. Karena secara geopolitik, memang komunisme ini sejak Perang Dingin ini sebenarnya sudah tidak menggeliat. Dan bahkan kalau saya bilang, kalau istilah saya, komunisme di China pun yang masih hidup ini sebenarnya bisa berkesan banci."

Dengan pernyataan itu, ia kemudian lebih mengelaborasi isyu Taliban. Apalagi karena di sekitar kita banyak yang mengelaborasinya. Termasuk di antaranya Jusuf Kalla, yang menurutnya "kena tipu". Karena Taliban ternyata memang tidak moderat.

Bukti-bukti nyata menurutnya justru menunjukkan Taliban masih seperti yang dulu. Dengan memaparkan sejarahnya dan perkembangannya kini.

Lebih jauh, tenaga ahli radikalisme dan terorisme Mabes Polri itu mengkaitkan perkembangan di Afghanistan dengan Indonesia. Menurutnya, fakta membuktikan bahwa semua aksi teror berupa pengeboman di tempat umum di Indonesia, dilakukan oleh "alumni Afghan". Dan itu menunjukkan, sejak masa Mujahiddin hingga kini menjadi Taliban, Afghanistan memang menjadi tempat pelatihan bagi kaum militan Islam.

Menurutnya, saat ini, kondisi di Indonesia sebenarnya berbahaya. Ini karena warga negara yang bersimpati kepada Taliban, setiap saat bisa meledak menjadi aksi teror. Meski sudah ada pembubaran organisasi Islam garis keras, namun pengikut-pengikutnya tidak berhenti. 

Mereka terus "bergerak di bawah tanah" dalam rangka mencapai tujuannya. Salah satunya, menurut Islah adalah berupaya mendorong sosok capres tertentu pada Pemilu 2024 yang didukung oleh pemodal radikal. Karena itu, Islah mengingatkan kita semua agar selalu waspada.

Musdah: Perempuan Termarginalkan oleh Taliban

Layar presentasi Prof. Dr. Musdah Mulia (Foto: Netizen untuk Negeri)
Layar presentasi Prof. Dr. Musdah Mulia (Foto: Netizen untuk Negeri)

Sebagai seorang perempuan pakar yang pernah berkunjung langsung ke Afghanistan, Musdah mengemukan sejumlah fakta yang semestinya tidak mengejutkan, karena dunia sudah mengetahuinya. Seperti halnya Islah, Musdah juga menyajikan slide. Judulnya "Taliban dan Dampaknya Bagi Perempuan".

Musdah mengawali pemaparannya dengan menjelaskan mengenai posisi geografis Afghanistan yang berada di tengah-tengah berbagai negara. Seluruh perbatasannya di darat sehingga tidak memliki akses pantai dan laut. Dalam istilah bahasa Inggris disebut "land lock".

Afghanistan sebenarnya hanya punya 10 suku bangsa. Ini jauh lebih kecil daripada Indonesia yang memiliki lebih dari 300 suku bangsa, belum lagi apabila sub-suku dihitung. Hanya saja, di Afghanistan, tiap suku sangat fanatik (ta'assub jahiliyah) sehingga saling berseteru satu sama lain. Dan itu sudah berlangsung sangat lama sejak ratusan tahun lalu, bukan baru di abad modern saja.

Taliban sendiri baru didirikan pada 1994. Awalnya justru didukung oleh Amerika Serikat, Saudi Arabia dan Pakistan dengan tujuan menggantikan Mujahiddin. Anggota-anggotanya dididik di madrasah-madrasah Pakistan.

Menurut Musdah, "pandangan miring" Taliban terhadap perempuan dimulai dari dianutnya ajaran Islam ala Deobandi yang sangat konservatif dan memandang perempuan hanyalah obyek seksual. Meskipun secara resmi mereka menganut mazhab Hanafi dengan teologi Maturidi.

Meskipun baru kira-kira sebulan Taliban berkuasa, sudah terlihat tindakan-tindakannya yang mendiskriminasikan perempuan. Misalnya peniadaan Menteri perempuan dalam kabinet pemerintahan yang baru dibentuk. Dan juga ada perintah agar perempuan tinggal di rumah, tidak boleh bekerja lagi.

Oleh karena itu, Musdah mengingatkan agar tidak menganggap remeh Taliban. Pengaruh ideologi dan penerapan prinsip keagamaan yang radikal bisa ditiru oleh pengikut Islam garis keras di Indonesia.

Aslama: Taliban Bukan Ancaman

Layar Presentasi Aslama Nanda Rizal, M.Si. (Foto: Netizen untuk Negeri)
Layar Presentasi Aslama Nanda Rizal, M.Si. (Foto: Netizen untuk Negeri)

Berlawanan dengan dua pembicara lain yang lebih ahli dan senior, Aslama justru mengemukakan tesis sebaliknya. Menurutnya, Taliban bukanlah ancaman.  Bagi Aslama, apa yang digelisahkan oleh sebagian ahli tidak ada, karena kehidupan di masyarakat tetap berjalan seperti biasa. Untuk mendukung tesisnya, Aslama tidak menyajikan slide presentasi, namun menggantinya dengan butir-butir pemikiran singkat yang disebutnya sebagai "infografis".

Aslama memaparkan bahwa ancaman nyata saat ini adalah ketidakpercayaan banyak masyarakat pada pemerintah, dilema kebebasan berpendapat diberangus, ekonomi yang jatuh karena covid, dan pemerintah harus buktikan kehadirannya pada masyarakat. Dengan alasan itu, ia menganggap kedua tema tidak memberikan atau tidak menjadi ancaman yang nyata.

Sebelumnya, ia sempat menjelaskan sepintas mengenai sejarah PKI dan gerakan Islam politik. Satu hal penting yang digarisbawahinya bahwa PKI sebenarnya bermula dari Sarekat Islam.

Interaksi Peserta dan Tanggapan Pembicara

Ada beberapa peserta yang mengajukan pertanyaan dan komentar. Kebanyakan justru ditujukan untuk mengkritisi tesis Aslama. Pertama dari Henry Rumeser. Ia menekankan saat ini kondisi di masyarakat sebenarnya tidak kondusif. Ia justru menganjurkan agar para ahli tidak diam mencermati kondisi di Indonesia. 

Tanggapan kedua dari Drs. Rizal Bachrun, M.Psi. yang mengingatkan bahwa tesis Aslama berbahaya, karena menganggap remeh adanya gerakan radikal. Ketiga adalah tanggapan dari Wikan Selur, yang lebih berupa "curhat" atas pengalamannya terutama saat mengalami intimidasi dari radikalis agama.

Bahkan dua pembicara Musdah dan Islah ikut "meluruskan" pendapat Aslama. Karena "dikeroyok", Aslama sedikit melunak dan mencoba membelokkan pendapatnya. Islah bahkan menjanjikan akan memberikan data apabila bertemu dengan Aslama langsung empat mata.

Seorang peserta mengajukan pertanyaan melalui kolom chat, yaitu Insan. Ia menanyakan langkah nyata yang sebaiknya dilakukan untuk menghilangkan polarisasi. Inti jawaban dari para pembicara adalah mengajak dialog dan memberikan pencerahan. Aslama menekankan bahwa kita harus merangkul pihak yang berseberangan pendapat dengan kita.

Sekedar Recehan Dari Saya

Sebagai moderator, dalam diskusi tersebut saya sama sekali tidak berpendapat atau bertanya. Tugas saya hanyalah mengatur lalu-lintas diskusi. Bahkan karena situasi di tempat kami panitia berkumpul kurang kondusif, saya sampai tidak membuat kesimpulan. Oleh karena itu, izinkan saya menyampaikan sedikit catatan dari webinar tersebut dalam tulisan ini. Barangkali juga tidak pantas disebut sebagai kesimpulan karena hanya sekedar recehan.

Posisi dua pembicara sepakat, bahwasanya Taliban kini lebih merupakan ancaman daripada P.K.I. Sementara, Aslama sedikit mengkoreksi tesis awalnya yang menganggap sebaliknya. Ia menekankan bahwa sebenarnya perbedaan ideologi tidak perlu dibesar-besarkan. Dan sebaiknya merangkul pihak yang berbeda.

Diskusi ini pada dasarnya menyoroti bahwa agitasi dan propaganda siapa pun berbahaya bagi masyarakat Indonesia. Salah satu sebabnya justru karena rendahnya tingkat literasi di Indonesia. Pesannya adalah kita harus waspada sebagai bangsa. Islah menggarisbawahi bahwasanya Pancasila sudah terbukti berhasil mempersatukan bangsa dan menangkis serangan ideologi asing. Jadi, kita musti mempertahankan Pancasila. Sementara Musdah mengingatkan bahwa beragama itu harus dengan nalar kritis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun