Hal itu kelak terus berlangsung setidaknya hingga medio 1990-an. Meskipun ada beberapa kali letupan seperti G.A.K.3) atau Malari4), tapi itu tak berarti banyak. Rezim tetap berdiri tegak. Barulah sejak meletusnya Kudatuli5), Orde Baru mulai "goyah".
Bahkan sebenarnya, narasi resmi itu tetap bertahan meskipun Soeharto sudah berhenti sebagai Presiden sejak 1998 dan kemudian wafat pada 2008. Sejak beberapa waktu lalu, malah narasi-narasi glorifikasi atas diri Soeharto mulai kembali didengungkan pengikut setianya.
Sebenarnya, jelas ada efek positif dari reformasi 1998, yaitu dibukanya keran kebebasan dan demokrasi. Dengan begitu, masuklah berbagai literatur yang berisikan berbagai narasi alternatif selain versi resmi rezim Orde Baru. Ada yang lebih mirip "curhat" seperti Aku Bangga Jadi Anak PKI (2002) oleh Ribka Tjiptaning Proletariyanti. Namun, justru banyak yang serius karena berlandaskan penelitian ilmiah dan akademis. Untuk sekedar menyebutkan, ada dua buku yang pernah direkomendasikan sejarawan Dr. Asvi Warman Adam. Pertama adalah Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto oleh John Roosa (2008). Kedua berjudul Musim Menjagal: Sejarah Pembunuhan Massal di Indonesia 1965-1966Â (2018) oleh Geoffrey Robinson.
Sejarah Harus Ditulis UlangÂ
Dalam beberapa kesempatan, Asvi Warman Adam menyerukan bahwasanya sejarah harus ditulis ulang. Terutama sekali seputar peristiwa 1965. Ia pernah mengatakan: "Sejarah yang selama ini dipergunakan sebagai alat penindas perlu diubah menjadi medium pembebasan".6) Sayangnya, upayanya yang juga dilakukan oleh sejumlah pihak lain belum membuahkan hasil. Penulisan ulang Sejarah Nasional Indonesia yang sudah dimulai sejak era Presiden Megawati Soekarnoputri misalnya, hingga kini belum selesai.
Bagaimanapun, narasi alternatif atas sejarah resmi Orde Baru harus terus disuarakan. Masalahnya, narasi resmi yang masih dianut oleh negara itu seringkali dijadikan justifikasi bagi sebagian masyarakat untuk bertindak sesuai seleranya sendiri. Misalnya saja menghakimi orang lain dan mencapnya sebagai "PKI" apabila pendapatnya bertentangan dengan dirinya.
Pengikut Orde Baru sejatinya masih banyak. Hal itu tercermin dari Pemilu 2014 dan 2019, terutama sekali Pilpres. Kemenangan Jokowi di dua Pemilu itu tipis-tipis saja. Bisa dibilang, pendukung lawannya kebanyakan adalah pengikut Orde Baru. Karena kita semua tahu, bahwa Letjen TNI (Purn.) Prabowo Subianto dahulu pernah menjadi menantu Soeharto.
Meski secara eksplisit mereka menolak kembalinya Orde Baru, namun di hati kecilnya masih tertanam semacam rasa hutang budi. Penolakan itu antara lain mengemuka dari gagalnya Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto menjadi Ketua Umum DPP Golkar dalam Munaslub 2016. Tercermin juga dari kecilnya perolehan suara partai politik yang didukung kakaknya Siti Hardiyanti dalam Pemilu 2004 dan 2009.
Akan tetapi, dukungan terhadap Orde Baru muncul dalam berbagai kesempatan. Terutama sekali melalui nilai-nilainya. Pernyataan mantan Panglima TNI Jenderal TNI (Purn.) Gatot Nurmantyo yang mempersoalkan keberadaan patung Soeharto dalam kanal Youtube Karni Ilyas menunjukkan hal itu. Ia menyatakan, "Di mana-mana patung Bung Karno ada, bahkan nama Soekarno-Hatta jalan ada, Pak Harto mantan presiden ada jasanya juga, mana sih ada patung? Hanya patung kecil seperti itu pun musnah."7)
Selain pernyataan seorang mantan petinggi negara seperti itu, di masyarakat masih terjadi intimidasi dan persekusi di mana-mana. Bahkan, dalam penyelenggaraan webinar organisasi yang saya pimpin saja, kami pun menerima intimidasi.
Ironisnya, intimidasi saat ini dilakukan oleh pihak yang sebagian besar menentang atau minimal tidak sehaluan dengan pemerintah yang sah. Mereka bahkan tega menuduh Presiden Joko Widodo sebagai PKI. Padahal, di tahun 1965, beliau masih berusia 3 tahun!