Hari ini tanggal 11 September. Tepat 20 tahun lalu, dunia dikejutkan dengan peristiwa penabrakan pesawat ke dua gedung pencakar langit di New York, Amerika Serikat. Menara kembar World Trade Centre (W.T.C.) pun runtuh dengan membawa korban lebih dari 3.000 jiwa. Pesawat lain juga menabrak gedung Pentagon di Virginia. Sementara satu pesawat lagi jatuh di sebuah lapangan di Pennsylvania, diduga hendak menuju Gedung Capitol. Namun, tidak memakan korban jiwa sebanyak di W.T.C. Selain dua menara kembar itu, beberapa gedung lain di sekitarnya juga ikut runtuh.
Amerika Serikat segera menuding Al-Qaeda yang dipimpin oleh Osama bin Laden sebagai dalangnya. Dan gerak cepat pembalasan pun dilakukan. Pada 7 Oktober 2001 sebuah serangan udara dilancarkan ke Afghanistan, menandai dimulainya operasi militer bersandi "Operation Enduring Freedom". Â
Sebuah operasi militer skala penuh tanpa mandat P.B.B. yang kemudian menjadi jalan bagi okupasi A.S. atas Afghanistan. Baru pada 31 Agustus 2021 lalu A.S. secara resmi mengakhiri pendudukannya. Dan Taliban, yang dituding bekerjasama dengan Al-Qaeda, kembali menguasai negara di Asia Selatan tersebut.
Kehebohan terjadi. Kepanikan di dalam negeri Afganistan. Kecemasan bagi negara-negara tetangga. Dan tentu juga keterkejutan dari sejumlah negara terkait lain. Tidak terkecuali Indonesia.
Efek 9/11 Bagi Indonesia
Kebetulan, kejadian pada 2001 itu hanya berselang 3 tahun setelah Indonesia mengalami reformasi. Iklim politik di Indonesia jelas berubah. Rezim yang semula otoriter berubah perlahan tapi pasti menjadi demokratis.
Ada efek sampingnya memang, yaitu berkurangnya pengawasan negara atas infiltrasi pengaruh asing. Apalagi Indonesia masih trauma dengan tudingan H.A.M. yang antara lain membuat Timor-Timur terpaksa dilepaskan.
Longgarnya pengawasan ini dimanfaatkan sejumlah orang Indonesia yang "menimba ilmu" di Afghanistan untuk pulang. Apalagi saat itu belum ada B.N.P.T.Â
Pasca berakhirnya perang Soviet-Afghan yang berlangsung 1979-1989, Mujahidin seolah menjadi "guru besar" bagi para gerilyawan dan para combatant, tentu saja yang beragama Islam. Dan kepulangan para "alumni Afghan" itulah yang antara lain memicu rangkaian peledakan bom di sejumlah tempat umum di Indonesia. Satu yang paling besar terjadi di Bali, pada 12 Oktober 2002 yang menewaskan 204 orang.
Pelakunya orang Indonesia tentu saja. Namun karena ledakannya menewaskan juga warga negara asing, maka Amerika Serikat pun ikut turun tangan mencari otaknya. C.I.A. kemudian menangkap salah satu otaknya yaitu Hambali yang bernama asli Encep Nurjaman. Ia dibawa ke Guantanamo, sebuah penjara khusus bagi narapidana terorisme milik A.S. yang berada di Kuba.Â