Pelakunya diklaim adalah I.S.I.S.-K, semacam sayap I.S.I.S. di Khurasan. A.S. kemudian membalas dengan serangan udara menggunakan drone nir-awak pada hari Minggu (29/8). Serangan itu diklaim menargetkan mobil berisi bom bunuh diri. Walau kemudian ternyata juga menewaskan seorang operator yang bekerja untuk militer A.S. dan seorang pekerja kemanusiaan.
Amerika Serikat menggelar "Global War on Terrorism". Sayangnya, niat yang terkesan mulia itu tercederai banyak hal. Seperti dilansir oleh Michael Moore, banyak kebohongan dalam administrasi pemerintah A.S. Terutama tuduhan kepemilikan "Weapons of Mass Destruction" (W.M.D.) terhadap Irak yang tak pernah terbukti.
Hingga kini, terorisme masih menjadi masalah kita semua. Dipandang dari sisi negara-negara demokratis pada umumnya, tentu teroris jelas bengis. Akan tetapi, kita juga harus mampu menyelami alam pikiran teroris. Karena bagi mereka, tindakannya dapat dibenarkan.
Untuk bisa mengalahkan teroris, tidak cukup dengan perang belaka. Karena akar masalahnya -sependek pengamatan saya- adalah masalah kesejahteraan dan perspektif keadilan. Ada sekelompok masyarakat yang tidak mendapatkan keduanya. Lantas sebagai "kambing hitam" paling mudah adalah menyalahkan mereka yang dianggap "merampas hak" mereka.
Persoalan ini tentu akan terlalu panjang bila dibahas di tulisan ini. Di sini, saya hanya mengingatkan, bahwa meskipun jauh, baik peristiwa 9/11 di A.S. maupun berkuasanya Taliban di Afghanistan, bisa berdampak bagi Indonesia. Setidaknya, kita bisa melihat meningkatnya "ghiroh jihad" bagi sekelompok penganut Islam garis keras di sini. Tak sedikit yang memandang "terusirnya" A.S. dari Afghanistan dan berkuasanya kembali Taliban di "negeri para mullah" itu sebagai fajar baru kebangkitan Islam di dunia.Â
Apalagi ada yang "cocoklogi" dengan hadits eskatologis yang diriwayatkan Tirmidzi: "Bendera hitam akan muncul dari Khurasan. Tak ada kekuatan yang mampu menahan laju mereka dan mereka akhirnya akan mencapai Yerusalem. Di tempat itulah mereka akan mengibarkan benderanya." Ini seolah legitimasi bagi ISIS-K, dengan mengklaim diri sebagai pasukan penyelamat dunia Islam.
Meskipun geografis, budaya, dan sosiologis Indonesia berbeda dengan Afghanistan, kita tetap harus waspada dan ekstra hati-hati. Karena negara kita yang terdiri dari multi agama, ras, suku, dan golongan, sangat rentan dipecah-belah. Kita harus berpegang teguh pada Pancasila yang terbukti mampu menyatukan kita semua yang beragam menjadi satu bangsa. Â
Bagi Muslim, Islam wasathiyah haruslah dijadikan jalan hidup. Karena Islam sejatinya ramah, bukan marah. Apalagi Islam di Nusantara yang terbukti mampu berasimilasi dengan budaya lokal yang telah ada sejak purbakala. Hingga Indonesia kini menjadi negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia yang menjadi contoh toleransi dalam kemajemukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H