Mohon tunggu...
Bhayu MH
Bhayu MH Mohon Tunggu... Wiraswasta - WIrausaha - Pelatih/Pengajar (Trainer) - Konsultan MSDM/ Media/Branding/Marketing - Penulis - Aktivis

Rakyat biasa pecinta Indonesia. \r\n\r\nUsahawan (Entrepreneur), LifeCoach, Trainer & Consultant. \r\n\r\nWebsite: http://bhayumahendra.com\r\n\r\nFanPage: http://facebook.com/BhayuMahendraH

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Apa Alasan Rakyat Memilih Calonnya?

12 Februari 2024   20:05 Diperbarui: 12 Februari 2024   21:24 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana TPS saat Pemilu terdahulu. (Foto: Bhayu M.H.)

"Kalau gue suka, lu mau apa?" begitulah sepotong kalimat Kafi Kurnia yang saya ingat saat ia menjadi pembicara di pertemuan terbatas anggota IYE! (Indonesia Young Entrepreneurs) di mana saya menjadi anggotanya. Waktu itu kira-kira tahun 2000-an, sebelum Pemilu dilaksanakan secara langsung untuk memilih Calon Presiden dan Wakil Presiden (CPWP) di tahun 2004. Karena kami para usahawan, maka konteks kalimatnya tentu dalam soal penawaran dan penjualan barang dan jasa. Apalagi profil Kafi Kurnia adalah pakar pemasaran dan periklanan.

Meski begitu, sebenarnya baik penjualan, pemasaran, perdagangan barang dan jasa komersial maupun politik praktis tidak begitu berbeda. Karena semuanya sama-sama menjual sesuatu. Politik praktis, selain menjual ide berupa visi, misi, dan program kerja, juga "menjual orangnya". Tentu bukan dalam arti "trafficking" atau "perdagangan orang", melainkan meminta agar pemilih memilih orang tersebut. Yang dipilih juga bukan orangnya secara fisik, pemilih tentu tidak bisa membawa pulang calon yang dipilihnya. Melainkan sekadar pencitraannya saja. Ya. Pencitraannya. Bahkan bukan sosok aslinya. Karena sesungguhnya yang tahu sosok asli lengkap dengan kepribadian, karakter, sifat, dan kebiasaannya itu ya hanya dirinya sendiri dan Tuhan. Bahkan keluarga terdekat pun bisa saja keliru menilainya.

Di dalam tulisan singkat ini, saya mencoba menelaah, apa alasan rakyat memilih calonnya. Maaf saya tidak memakai rujukan dari para ahli atau daftar pustaka, semata berdasarkan observasi dan pemikiran saya sendiri. Silakan disimak satu per satu.

Suka, Senang atau Cinta

Perasaan suka adalah satu hal yang kuat dalam diri manusia. Bila mengutip judul lagu karya Gombloh, suka atau cinta membuat "taik kucing rasa coklat". Senang di sini juga dalam konteks menyenangi, bukan senang setelah mendapat hadiah misalnya. Bila seseorang sudah suka, senang, atau cinta kepada seseorang lainnya, maka segala kelemahan dan kekurangannya akan menjadi kabur atau malah jadi nihil. Seperti orang memakai kacamata kuda, apa yang di kanan dan kirinya tidak tampak. Ia hanya fokus ke depan.

Barang atau jasa pun demikian. Dalam konteks pemasaran, keputusan konsumen untuk membeli barang secara mendadak disebut "impulse buying". Karena impulsif, maka tindakan tersebut tanpa perencanaan sebelumnya. Biasanya, kalau dalam pembelian barang atau jasa, ada faktor seperti potongan harga, saran dari teman, atau bentuk promosi lainnya. Namun, seperti kata Kafi Kurnia yang saya kutip di awal tulisan di atas, kalau pembeli sudah menyukai sesuatu dan memutuskan membelinya, maka tidak ada yang bisa menghalangi. Protes pun tak berguna.

Maaf, biasanya yang melakukan ini adalah kaum perempuan. Emak-emak. Mereka sering tak tahan melihat discount, sale, cuci gudang, dan sebagainya. Padahal, kerap kali barang yang dibeli ya tidak butuh-butuh amat. Malah, bisa jadi ada yang malah sudah punya di rumah. Impulse buying ini didasarkan pada emosi, sehingga memang meniadakan akal sehat. Para pedagang seringkali menjadikannya metode dalam strategi pemasaran dan penjualan.

Dalam konteks politik praktis, para Calon Legislatif (Caleg), Calon Presiden dan Wakil Presiden (CPWP), Calon Kepala Daerah (Cakada) sebagai individu perorangan, hingga Partai Politik (Parpol) sebagai badan, juga kerapkali memakai strategi ini. "Like and dislike" memang bisa membuat seseorang "choose or not choose" sesuatu. Bukan tidak mungkin malah membabi-buta. Bila sudah memihak satu calon perorangan atau partai politik, fanatisme sang pemilih tak jarang menjadikannya sebagai "perkara hidup-mati".

Elektabilitas dan Popularitas

Elektabilitas adalah tingkat keterpilihan. Popularitas adalah tingkat kepopuleran atau kemasyhuran. Khusus untuk CPWP dan Parpol di tingkat nasional, lazimnya ada sigi dari lembaga survei secara teratur. Bisa dimulai 1-2 tahun sebelum Pemilu diadakan. Sementara bagi yang lain, bisa juga memesan dengan biaya sendiri. Tingkat elektabilitas penting untuk mengukur seberapa besar kemungkinan satu calon dipilih oleh rakyat pemilih.

Sementara popularitas bisa dipakai untuk menakar seberapa populernya satu calon di satu wilayah tertentu. Umumnya, tokoh publik lebih mudah populer di kalangan masyarakat. Termasuk juga di sini para pegiat dunia hiburan. Di Indonesia, kita biasa menyebutnya artis atau selebritas. Baik itu dari dunia perfilman, komedi, musik, nyanyi, tari, dan seni-budaya lainnya. Makanya, beberapa Parpol dengan sengaja menggaet para artis ini untuk mengisi jajaran Caleg-nya. Dalam dunia politik praktis, mereka disebut "vote getter", para "pendulang suara". Kompetensi di bidang politik praktis kurang diperhitungkan, yang penting populer hingga bisa meraih banyak suara.

Namun harus diingat, populer tak menjamin berhasil terpilih bila mencalonkan diri. Kasus Andre Taulany yang gagal saat mencalonkan diri sebagai Wakil Walikota Tangerang Selatan di tahun 2010, maupun Helmy Yahya yang tidak menang saat mencalonkan diri sebagai Gubernur Sumatera Selatan pada 2008, bisa jadi pelajaran. Helmy bahkan masih kalah dua kali lagi kala mencalonkan diri sebagai Bupati Ogan Ilir, yaitu pada 2010 dan 2015.

Dikenal atau Terkenal

Samakah populer dengan dikenal atau terkenal? Mirip, serupa tapi tak sama. Saya jabarkan pemahaman saya ya. Bagi saya, populer atau masyhur itu cakupannya nasional, atau minimal luas. Karena kita orang Indonesia, dan bahasannya tentang politik Indonesia, maka kita tidak singgung soal internasional di sini. Seorang yang populer itu haruslah tokoh publik. Kalau misalnya tidak sampai nasional, populer bisa di satu wilayah atau dunia tertentu. Dan, ada konteks disukai di sana. Seorang yang populer adalah seorang yang juga disukai oleh para penggemarnya.

Sementara, terkenal belum tentu populer. Kita mungkin pernah ingat kasus anak yang diisyukan mampu menyembuhkan segala penyakit dengan hanya menggenggam sebongkah batu saja. Atau kasus kakek menikah dengan gadis. Atau malah kriminal, pembunuh yang memutilasi korbannya. Mereka itu terkenal. Tapi jelas tidak populer.

Terkenal dalam konteks positif juga bisa terjadi di dunia tertentu. Maksudnya dunia bukan Bumi, kalau dalam filsafat ada istilah "lebenswelt", maksudnya lingkungan tempat kita hidup dan beraktivitas. Misalnya ada dunia militer, dunia film, dunia RT kita, hingga dunia rumah tangga tiap orang. Nah, terkenal di dunia tertentu misalnya ada seorang professor fisika, tentu dia dikenal di dunia para akademisi dan ilmuwan fisika. Seberapa luas cakupannya, tergantung kepakarannya. Bisa hanya di kampusnya saja, seprovinsi, atau malah senegara.

Dalam soal politik, hal ini seringkali menjebak. Para calon merasa dirinya terkenal karena pakar, kerap menulis opini di media massa, sering diundang wawancara di televisi atau radio, atau viral di media sosial. Padahal, rakyat tidak benar-benar mengenalnya. Dalam dunia pemasaran, dikenal istilah STP (Segmenting, Targeting, Positioning). Saat mencalonkan diri, STP-nya meleset. Ia malah kurang terkenal di Daerah Pemilihan (Dapil) - nya. Salah satu contoh nyata adalah kawan seperjuangan saya sendiri, Indra Jaya Piliang. Ia pernah mencalonkan diri sebagai calon anggota DPR RI, Walikota, dan Gubernur. Ketiganya gagal. Padahal, selain aktif di Partai Golkar, mantan aktivis mahasiswa tersebut juga terkenal pakar dan kerap tampil maupun menulis di media massa.

Kalau dikenal, lebih sempit cakupannya. Ini biasanya dikenal pemilih secara pribadi. Jadi, di dunia nyata sang pemilih benar-benar kenal dengannya. Harap bedakan antara kenal dengan tahu ya. Kenal itu timbal-balik. Kedua pihak saling kenal. Sementara tahu searah. Misalnya saya tahu siapa Pevita Pearce. Tapi Pevita jelas tidak tahu siapa saya.

Faktor dikenalnya calon -terutama perorangan- oleh pemilih membuatnya lebih mudah terpilih. Namun juga bisa untuk Parpol, karena bila Parpol tidak dikenal, ia tidak akan dipilih. Bisa juga terjadi salah pilih. Pada Pemilu 1999, karena diikuti oleh 48 Parpol, ada sejumlah Parpol bernama atau bertanda gambar mirip. Bila pemilih tidak diedukasi, sangat mungkin terjadi salah pilih di bilik pemungutan suara. Parpol yang kurang dikenal berpotensi mendapatkan lebih sedikit suara daripada yang dikenal luas pemilih.

Hubungan Di Dunia Nyata

Di sini konteksnya antara pemilih dan calon perorangan memiliki hubungan di dunia nyata. Bukan saja saling mengenal, tapi juga ada hubungan. Misalnya hubungan keluarga atau kekerabatan. Bisa juga hubungan pertemanan, tetangga di lingkungan, alumni sekolah atau kampus, teman organisasi, kolega profesi, rekan bisnis, atau hubungan langsung lain. Di sini, pemilih dan calon perorangan selain benar-benar saling kenal di dunia nyata, juga harus punya hubungan baik. Tidak ada permusuhan atau hal-hal negatif yang diketahui pemilih dari calon perorangan. Apabila ada sesuatu yang meragukan, calon pemilih bisa bertanya langsung untuk mengklarifikasinya.

Bagi Parpol, hubungan di dunia nyata biasanya terjadi bila seorang pemilih adalah kader atau pengurusnya. Bisa di organisasi Parpol sebagai induk, atau di organisasi sayap maupun bawahannya. Bisa pula keluarga atau kerabat dari kader atau pengurus tersebut. Seorang anak dari anggota DPR RI asal Parpol tertentu, biasanya akan sangat mudah juga memilih Parpol orangtuanya, bahkan meskipun orangtuanya tidak dicalonkan di Dapil tempat mereka tinggal.

Kesamaan atau Perasaan Satu Pihak

Kesamaan di sini serupa dengan impersonifikasi. Pemilih mengidentikkan diri dengan calon yang dipilihnya. Maka, tak heran, Joko Widodo banyak dipilih oleh orang yang berada di pedesaan dengan segmentasi sosial menengah bawah. Jargon "Jokowi adalah kita" di Pemilu 2014 membuat rakyat merasa dekat. Dan ia jadi orang yang tidak pernah kalah Pemilu karena tepatnya memilih STP dan strategi pemenangan.

Kesamaan bisa dibangun dengan profiling. Bagaimana seseorang ingin dirinya dipersepsi pemilih. Ada yang mencitrakan dirinya agamis, ada yang nasionalis, ada yang demokrat, ada yang pintar, dan sebagainya. Tapi ingat, pencitraan yang terlalu jauh dengan aslinya bisa berakibat fatal. Misalnya bila sudah mencitrakan diri agamis, jangan pernah terlihat di tempat hiburan malam. Sekali saja ada foto atau video tersebar, hancur sudah semuanya.

Perasaan satu pihak agak mirip, tapi konteksnya lebih ke nilai. Kesamaan misalnya sama-sama berasal dari suku tertentu, atau alumni kampus yang sama. Lebih faktual. Sementara perasaan satu pihak di sini lebih abstrak. Misalnya perasaan sebagai pihak yang anti pemerintah. Atau perasaan sebagai pihak yang anti korupsi. Jadi, ini lebih terkait dengan sikap dan positioning. Di mana calon memposisikan dirinya untuk suatu masalah atau kasus. Bila pemilih merasa selaras, ia akan memilih calon bersangkutan. Contoh konkretnya proyek pembangunan Bendungan Beres di Desa Wadas, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Bagi yang setuju atau pro, tentu akan mudah memilih Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah yang kini dicalonkan sebagai Presiden RI mendatang. Sementara bagi yang tidak setuju atau kontra, tentu sebaliknya.

Nilai, Rasa, dan Hal-hal Tak Terlihat

Di sinilah visi, misi, dan program memainkan peran. Otak kanan yang disentuh. Emosi dan imajinasi disasar. Pemilih diajak membayangkan hal-hal tak terlihat, tapi bukan hantu. Karena calon belum terpilih, maka semua visi, misi, dan program kerja masih di awang-awang, belum terjadi. Di sinilah kerapkali terjadi penyalahgunaan dan kesalahpahaman pada janji kampanye. Karena janji kampanye tidak sama dengan janji atau perikatan perdata antara dua pihak. Janji kampanye itu bisa terlaksana, tidak terlaksana, atau terlaksana sebagian. Namun, pemilih biasanya menganggap semua janji kampanye itu harus dilaksanakan bila calon terpilih.

Kasus "tampang Boyolali" yang terjadi pada Pemilu 2019 lalu, membuat Prabowo Subianto sebagai capres mendapatkan suara 0 hampir di seluruh TPS di wilayah Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Karena ucapan Prabowo tersebut dianggap menghina warga di daerah itu. Emosi kemarahan mereka tersulut. Itu adalah contoh negatif bagaimana perasaan bisa mempengaruhi pilihan.

Karena jelas pemilih beraneka ragam faktor geografis, demografis, dan sosiografisnya, maka harus dipilih dengan cermat. Dalam pemasaran, menargetkan segmentasi pembeli seluas mungkin justru sama saja dengan tidak memilih satu pun. Artinya, malah menyulitkan pemasaran. Maka, nilai, rasa, dan hal-hal tak terlihat dari pemilih yang hendak disentuh dengan visi, misi, program kerja, dan janji kampanye haruslah ditetapkan secara tepat.

Jasa dan Kontribusi

Ini bukan mengajarkan "politik uang" atau "menyogok" pemilih ya. Tapi saya mengemukakan, betapa jasa dan kontribusi calon secara nyata kepada pemilih dan/atau keluarga dan/atau lingkungannya, bisa membuat pemilih menjatuhkan pilihan padanya. Saya ambil contoh saya sendiri. Sewaktu ayah saya wafat, ada seorang anggota DPRD di wilayah saya yang datang langsung ke rumah. Selain melayat, ia juga memberikan kontribusi uang tunai berjumlah cukup besar sebagai bantuan uang duka. Dan itu dilakukan tahun 2019, kebetulan setelah Pemilu. Karena beliau berjasa membantu keluarga kami, maka kami berencana mencoblos nama beliau pada Pemilu mendatang.

Jasa-jasa itu tidak bisa disebar tiba-tiba seperti "Serangan Fajar". Malah lebih baik sejak jauh-jauh hari. Sebagian besar orang Indonesia paham artinya "balas budi". Karena mereka jelas tidak mau "hutang budi".

Kontribusi kepada lingkungan juga bisa dilakukan. Misalnya dengan memberikan bantuan berupa sarana atau prasarana bagi warga. Contoh saya ambil langsung dari kompleks perumahan tempat saya tinggal. Ada satu anggota DPRD yang memberikan sumbangan berupa pompa air banjir, karena saat hujan deras dalam waktu lama, air kerap kali menggenang. Saya yakin, banyak warga di kompleks perumahan kami yang tergerak untuk memilih beliau di Pemilu mendatang.

Dua hal itu menurut hemat saya bukanlah "politik uang". Karena tidak secara langsung dilakukan pada hari pencoblosan dengan pesan untuk memilihnya. Jasa dan kontribusi itu malah sebaiknya dilakukan sebelum Pemilu. Pemilih akan ingat, dan akan membalasnya dengan memilih calon bersangkutan.

Dalam hal Parpol juga begitu. Apabila ada masalah misalnya konflik antara pedagang pasar dengan Pemerintah Daerah (Pemda), akan teramati dengan jelas Parpol mana yang membantu mengadvokasi atau menjembatani. Apalagi bila sampai memihak kepada warga, tentunya simpati pemilih mudah sekali teraih.

Pilihlah Sesuai Hati Nurani, Fakta, dan Data 

Pada akhirnya, saya mengajak siapa pun yang membaca tulisan ini untuk memilih sesuai hati nurani. Karena faktor "suka" itu memang yang paling utama. Hanya saja, akan lebih baik bila kita melengkapinya dengan fakta, dan data. Di era internet ini, sangat mudah mencari informasi. Bahkan seperti banjir atau meluap saja layaknya. Namun harus diperhatikan, apakah sumber informasi itu bisa dipercaya. Jangan begitu saja menelan informasi hoaks. Apalagi yang sampai menyentuh emosi seperti ujaran kebencian atau fitnah, itu biasanya malah mudah viral.

Periksa rekam jejak calon perorangan. Cek juga perjuangan Parpol. Apakah mereka benar-benar seperti dicitrakannya? Atau malah pura-pura saja? Makin asli seseorang, makin terbuka suatu Parpol, makin tuluslah ia. Karena dunia politik praktis memang penuh "tikus", dan seringkali janji jadi basi. Kita sebagai pemilih lah yang harus cermat dan jeli. Pilihlah wakilmu yang dapat dipercaya!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun