- Judul Buku: Ritus Panjang Untuk Simon (sebuah novel).
- Penerbit: Samalaing
- Tempat Terbit: Jakarta.
- Tahun Terbit: 2023.
- Jumlah Halaman: 107.
Apabila terbiasa membaca karya-karya Pramoedya Ananta Toer, membaca karya Martin Aleida ini akan terasa kemiripannya. Selain mengangkat tema orang tertindas, khususnya akibat rezim penguasa yang melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
Dalam buku novel terbarunya yang diluncurkan hari Jum'at (15/12/2023) kemarin, Martin Aleida masih mengangkat tema serupa. Dan Martin memang mengkhususkan diri pada pelanggaran HAM berat yang dilakukan penguasa Orde Baru sejak awal berkuasanya: "Peristiwa 1965".
Karakter utama dalam novel Martin ini bernama Simon. Dia seorang aktivis yang kerap membantu warga di Adonara (p. 15, p. 26), satu pulau di Nusa Tenggara Timur (p. 107). Latar waktunya menjelang, saat, dan setelah Peristiwa 1965. Pemaparan tentang latar waktunya tidak tertera gamblang. Pembaca meraba dari penggambaran penulis tentang situasi. "Ada kabar yang kurang baik dari Jawa" (p. 27), atau "Sebab perintah yang berkuasa, dengan mengacungkan senjata di Jakarta, adalah "penumpasan sampai ke akar-akarnya."" (p. 30).
Dan makin jelas ketika seseorang menyatakan, "Di sini tidak ada komunis yang tidak punya agama... Cuma BTI yang ada di sini, setahu saya. Dan dia itu tidak jahat. PKI tidak laku di sini. Itu partai di Jawa sana. Simon BTI." (p. 41). Dan memang "ke-BTI-an" Simon itulah yang membuatnya dijadikan buronan, hingga ia terpaksa bersembunyi bertahun-tahun di sebuah gua.
Ada beberapa detail yang membuat saya mengernyitkan dahi, karena menurut saya kurang akurat. Di bagian akhir novel, ada adegan karakter utama Simon yang kemudian melapor kepada Koramil. Di sana, usai melapor KTP-nya di-cap "E.T." (p. 102). Apabila merunut jangka waktu Simon keluar dari persembunyian setelah 3 tahun terjadinya Peristiwa 1965 (p. 96), saat itu berarti tahun 1969.
Saya meragukan pen-cap-an "E.T." itu di dunia nyata. Karena"E.T." adalah singkatan dari "Eks Tapol". Sementara, karakter Simon tak pernah menjadi "Tahanan Politik" alias "Tapol". Andaikata memang namanya masih ada di daftar buronan yang diduga terkait PKI, klasifikasinya paling "Daftar C".
Buku ini juga "tidak biasa". Karena ia langsung mulai begitu saja setelah halaman sampul dalam dan halaman katalog. Tidak ada pengantar, tidak ada daftar isi. Hanya di bagian akhir ada biografi sangat singkat pengarangnya, dimana tercantum juga sekelumit keterangan tentang latar lokasi novel dan narasumbernya.
Karena saya tipe pembaca sastra populer, terus terang membaca buku berukuran kecil dengan ketebalan tipis ini sudah terasa cukup menyulitkan. Gaya bahasanya berat dan berbelit. Alurnya kurang mengalir, bahkan kadang melompat. Khas sastra berat. Sebagai pembanding, terus-terang, saya juga bukan penikmat karya-karya Pramoedya, walau punya bukunya untuk sekadar punya.
Rasanya agak sulit buku terbaru Martin yang diterbitkan oleh penerbit indie ini mampu menjangkau khalayak luas. Walau begitu, Martin sudah punya segmentasi pembaca sendiri. Dan bagi mereka yang hendak menyelami dunia para penyintas "Peristiwa 1965", buku ini cukup mewakili rasa teror yang diakibatkan penguasa.
Di akhir resensi sederhana yang singkat ini, saya ingin menyitir satu pernyataan dari Pramoedya Ananta Toer. Rasanya tepat untuk mewakili kisah dalam novel Martin Aleida ini. "Ada yang membunuh. Ada yang dibunuh. Ada peraturan. Ada undang-undang. Ada pembesar, polisi, dan militer. Hanya satu yang tidak ada: keadilan." (Larasati, 1960).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H