"Gus Ketum pakai celana, saya sarungan. Berarti maqom-nya tinggi saya...," demikian seloroh Sosiawan Budi Sulistyo meledek K.H. Yahya Cholil Staquf. Para undangan dan peserta yang hadir dalam Pembukaan Muktamar Pemikiran Ke-2 Nahdlatul Ulama (NU) hari Jum'at (1/12) malam pun langsung terbahak. Penyair dan penulis asal Surakarta yang akrab disapa "Sosiawan Leak" itu didaulat menampilkan puisi berjudul "Orang-orang Sarungan" semalam. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Ketum PB NU) yang merupakan kakak kandung Menteri Agama Republik Indonesia (Menag RI) Yaqut Cholil Qoumas dalam sambutan pembukaannya pun menyinggung hal senada. Bahwasanya "stereotype" NU sebagai "kaum sarungan" sebenarnya sudah tidak tepat. Bukan saja malam tadi sebagian besar hadirin pria mengenakan celana, tapi konteks stigma itu sendiri di masa post-modernisme ini jelas tidak pas. Menurutnya, kini NU tidak hanya hadir di pedesaan, tapi di mana-mana. Dan latar belakang "orang yang merasa NU" -yang menurut klaim Denny J.A. sudah melebihi 50 % penduduk Indonesia-  juga sudah beragam, tdak semata "kaum sarungan".Â
Sebenarnya pengelompokan NU yang merupakan organisasi massa (ormas) agama Islam sebagai "kaum sarungan" dimaksudkan sebagai pembagian ke arah Islam "tradisionalis" vis a vis "modernis. Tentu saja ruang lingkupnya adalah Indonesia, bukan Islam di dunia internasional. Dalam konteks ini, NU yang lahir pada 31 Januari 1926 dikategorikan "tradisional", dengan basis massa mayoritas berada di pedesaan. Sementara Muhammadiyah yang lahir pada 18 November 1912 malah dikategorikan sebagai "modern" dengan basis massa di perkotaan.
Salah satu pola pengelompokan ini bisa dirujuk ke buku karya Clifford Geertz, "The Religion of Java" (Berkeley: The Free Press of Gloncoe, 1959). Di buku "Agama Jawa"Â tersebut, Geertz membagi "agama" masyarakat Jawa menjadi tiga: santri, priyayi, dan abangan. Santri dianggap kurang "scholar" dibandingkan yang lain. Semata karena pendidikannya tidak berbasis pola Barat.
Sementara semalam, justru kebalikannya. Ketum PB NU memberikan istilah "akademia". Sementara saya sendiri mengistilahkannya "anak sekolahan". Para peserta yang hadir semalam sebagian besar adalah "produk pendidikan modern", dalam konteks para sarjana lulusan perguruan tinggi. Konteks sarjana di sini adalah seluruh tingkatan sarjana, mulai dari S-1 hingga S-3. Itulah juga yang dikritik oleh Yahya kepada panitia yang diketuai Ketua PB NU, K.H. Ulil Abshar Abdalla, M.A.. Karena menurutnya, justru NU itu basisnya di pesantren. Dan para Kiai NU terutama yang sepuh tidaklah kalah pintar dengan para "akademia".
Namun, sebelum Yahya memberikan sambutan, dalam laporannya UIil sudah memberikan penjelasan, bahwa acara tersebut dipersiapkan hanya dalam 2 minggu. Menurutnya, ide acara tersebut justru datang dari Direktur Perguruan Tinggi Keagamaan Islam, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama, Prof. Dr. Ahmad Zainul Hamdi, M.Ag.. Dan hal tersebut juga dibenarkan oleh Ahmad Zainul Hamdi yang juga memberikan sambutan semalam. Lantas NU melalui Lakpesdam (Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia) mengeksekusinya.
Ulil juga menyebutkan, bahwa "Muktamar Pemikiran NU" ini baru 2 kali diadakan. Dan jarak dengan yang pertama cukup jauh. Karena Muktamar Pemikiran Pertama diadakan di Situbondo pada tahun 2001. Dalam era yang sudah sarat teknologi ini, tema yang diusung pun sesuai: "Imagining The Future Society".
"Muktamar ini insya Allah berlangsung damai. Karena tidak ada agenda pemilihan Ketum," begitu Ulil berseloroh disambut gelak tawa hadirin. Tentu hadirin mafhum, bahwa biasanya muktamar, kongres, rapat umum, atau nama lain yang sifatnya mengumpulkan anggota suatu organisasi lazimnya diadakan dalam rangka pergantian pengurus. Dan "hawa"-nya  pun "panas", karena adanya perebutan kekuasaan. Sementara, dalam muktamar versi pemikiran ini, para peserta "hanya" akan berdiskusi mengenai topik-topik yang telah ditentukan.
Pada hari Sabtu (2/12) ini, agenda muktamar akan dilanjutkan dengan "sidang komisi" untuk membahas sejumlah topik. Ada lima  sesi panel yang disediakan panitia: pendekatan agama, pendekatan SDM & pendidikan, pendekatan teknologi & media sosial, pendekatan ekonomi & politik, dan pendekatan budaya. Dan kemudian besok akan dilanjutkan dengan "Pleno". Acara yang dilangsungkan di Asrama Haji Pondok Gede ini menurut Ulil diikuti oleh sekitar 750 peserta.
Saya sendiri beruntung bisa terdaftar sebagai peserta, karena bisa menyaksikan NU yang tak lagi sarungan. Dan ini berarti, sesuai tekad kepengurusan PB NU saat ini, NU siap menjemput masa depan. Tentu dengan tetap mengedepankan prinsip "Hubbul Wathon Minal Iman": mencintai bangsa merupakan tanda keimanan.