Mohon tunggu...
Bhayu MH
Bhayu MH Mohon Tunggu... Wiraswasta - WIrausaha - Pelatih/Pengajar (Trainer) - Konsultan MSDM/ Media/Branding/Marketing - Penulis - Aktivis

Rakyat biasa pecinta Indonesia. \r\n\r\nUsahawan (Entrepreneur), LifeCoach, Trainer & Consultant. \r\n\r\nWebsite: http://bhayumahendra.com\r\n\r\nFanPage: http://facebook.com/BhayuMahendraH

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

{Rudy Habibie}: Romansa Habibie Muda (Ulasan Film)

1 Juli 2016   16:25 Diperbarui: 4 April 2017   18:10 17639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karakter dari kiri ke kanan: Peter, Liem Keng Kie, Rudy, Mami Habibie, Ayu, Poltak (Sumber foto: posbali.id)

Satu kelemahan fatal dari wardrobe adalah busana Bung Karno. Well, digambarkan Bung Karno pernah mengunjungi Jerman. Pakaian sang Bung Besar digambarkan di film begitu kedodoran dan tak pas di badan. Jahitannya pun tak rapi. Saya agak heran dengan kelemahan detail itu. Padahal, Bung Karno terkenal dandy dan trendy. Agak sulit dipercaya pakaian jas yang dikenakan seorang presiden seberantakan itu. Demikian pula ia tampil polos dengan jas putih saja, tanpa mengenakan atribut kemiliteran sebagai Pangti ABRI/KOTI sama sekali. Padahal, dari foto-foto sejarah, kita tahu Bung Karno selalu tampil sebagai panglima militer tertinggi lengkap dengan beragam tanda jasa di dadanya, terkadang malah dilengkapi bintang lima di pundaknya. Karakternya memang cuma sepintas tampil saja, walau malah disayangkan wajahnya yang jelas tak mirip sempat tampil. Padahal justru pengambilan gambar dari punggung dan hanya tangan saja lebih pas. Selain itu, secara umum wardrobe cukup teliti dalam memotret busana era 1960-an.

Walau begitu, detail lain saya puji, yaitu artikel di koran Jerman tentang kedatangan Soekarno di sana. Walau tentu untuk era digital printing seperti ini tak sulit membuatnya, beda kasus bila film ini dibuat 20 tahun lalu misalnya.

Terakhir, yang amat saya sayangkan, keberpihakan pembuat film ini –entah disengaja atau tidak- pada rezim Orde Baru-nya Soeharto teramat sangat terasa. Koran yang memuat berita soal Soekarno tadi misalnya, cuma dijadikan alas shalat darurat oleh Rudy, yang setelahnya jelas Rudy membuangnya begitu saja. Demikian pula di seperempat terakhir film terasa sekali nuansa anti-Soekarno digambarkan di sana. Tokoh antagonis pun disebut dari “Laskar Pelajar”, yang jelas terlalu dekat penamaannya dengan kesatuan historis “Tentara Pelajar”. Dan pertentangan terhadap penyelenggaraan Seminar Pembangunan kontra Front Nasional merupakan penggambaran yang terlalu telanjang terhadap suasana pro-kontra Soekarno dan rezim Orde Lama. Oh ya, penamaan Orde Lama dan Orde Baru pun sebenarnya bias, karena diciptakan oleh rezimnya Soeharto.

Rudy pun digambarkan berani bicara keras –bahkan sambil menudingkan telunjuk tangan- kepada Bung Karno, satu hal yang terasa mustahil benar terjadi. Bung Karno memang dikenal dekat dengan rakyat hingga siapa saja bahkan bisa masuk istana saat ia menjabat. Tapi, di era 1960-an usai ia diangkat jadi Presiden Seumur Hidup oleh MPRS pada 15 Mei 1963, posisinya sudah begitu absolut dan membuat orang takut. Tidak mungkin seorang mahasiswa –apalagi sesantun B.J. Habibie muda- berani menudingkan telunjuk kepada presiden. Apalagi B.J. Habibie digambarkan selain santun juga sangat menghormati orang yang lebih tua. Bagaimana pun, Bung Karno adalah orang tua yang kebetulan diamanatkan sebagai presiden kita saat itu.

Mengenai property, pemilihan lokasi sangat cermat. Penggambaran setting di Indonesia, Jerman dan Chekoslovakia bagus. Penonton akan dibawa ke suasana Jerman di masa 1960-an. Walau sekarang banyak kota di Jerman sudah banyak berubah, menemukan lokasi yang tepat tentu sebuah tantangan tersendiri.

Detail kecil seperti kotak telepon umum serta telepon yang nomornya diputar tentu juga merupakan sebuah kerja yang tidak mudah dari tim yang bertugas. Dan ini saya pujikan telah dikerjakan dengan baik.

Detail lain adalah pada bahasa. Saya memuji penggunaan bahasa Jerman yang cermat dan tanpa kesalahan tata bahasa. (Kebetulan saya cukup menguasai walau mungkin tak sefasih Habibie). Dalam film, tantangan terberat ada pada karakter Ilona, seorang Polandia yang mampu berbahasa Jerman, Inggris bahkan bahasa Indonesia. Dan luar biasanya, Chelsea Islan bahkan mampu memerankannya dengan sangat baik sampai saya lupa dia orang Indonesia!

Pesan & Hikmah Bagi Penonton

Seusai menonton film ini, penonton tentu diharapkan terinspirasi dari perjuangan B.J. Habibie muda. Nama Habibie sendiri sebenarnya nama keluarga, tapi kita memang mengenal Bacharudin Jusuf Habibie sebagai Habibie saja, walau ada banyak Habibie lain di keluarga beliau.

Penggambaran film biografi –sebagaimana juga buku biografi- yang dilakukan dengan supervisi pemilik riwayat hidup terkait, memang sulit untuk obyektif. Hampir pasti yang ditonjolkan adalah sisi-sisi positifnya saja. Kecil kemungkinan ada cacat dan cela yang ditampilkan. Walau masih lebih baik biografi dengan supervisi daripada otobiografi. Namun, tentu yang paling obyektif adalah biografi yang ditulis ahli tanpa supervisi. Jadi, harus dimaklumi bila sebagian besar cerita semata adalah hal positif.

Secara pribadi, saya terinspirasi oleh Rudy Habibie muda yang menghadapi tantangan tidak ringan dalam studinya. Habibie yang berkali-kali mengatakan “saya gagal” pun saya alami. Karena sebagai sesama perfeksionis, kegagalan adalah hal yang paling ditakuti. Dan Rudy Habibie muda ternyata juga sulit memperoleh teman yang percaya pada visinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun