Mohon tunggu...
Bhayu MH
Bhayu MH Mohon Tunggu... Wiraswasta - WIrausaha - Pelatih/Pengajar (Trainer) - Konsultan MSDM/ Media/Branding/Marketing - Penulis - Aktivis

Rakyat biasa pecinta Indonesia. \r\n\r\nUsahawan (Entrepreneur), LifeCoach, Trainer & Consultant. \r\n\r\nWebsite: http://bhayumahendra.com\r\n\r\nFanPage: http://facebook.com/BhayuMahendraH

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Film Bulan Terbelah di Langit Amerika: Harapan Terbeban Pesan

19 Desember 2015   14:44 Diperbarui: 20 Desember 2015   09:47 690
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Video "curhat" Sarah Hussein. (Foto: muvila.com)"][/caption]

Menyaksikan film ini setelah membaca novelnya lebih dahulu tentu saja menimbulkan ekspekstasi tersendiri. Apalagi secara pribadi saya sudah menghadiri diskusi panel terbatas dengan produser dan beberapa artisnya. Pertemuan itu menghasilkan tulisan pratinjau (preview) sebelum filmnya ditayangkan perdana. Tulisan ini sempat menjadi HeadLine (Kepala Berita) di Kompasiana pada hari Minggu (6/12) dengan judul "Bulan Terbelah di Langit Amerika: Film Bernas Bagi Penonton Cerdas" (untuk membacanya silahkan klik judulnya). Jadi, sebelum masuk ke gedung bioskop (sesuai kebijakan situs http://resensi-film.com, saya tak pernah menghadiri "nobar" alias "nonton bareng" saat "premiere" yang disediakan gratis oleh produser dan exhibitor), saya sudah punya bayangan di benak mengenai film yang "ideal". Karena itu, saya menyiapkan diri dengan cermat saat tayangan film dimulai.

Di awal film, karakter Azima Hussein alias Julia Collins yang muncul lebih dulu. Pada tahun 2001, ia digambarkan tengah berbelanja di sebuah minimarket yang berada di New York-Amerika Serikat saat televisi setempat menayangkan berita yang kini dikenal sebagai "9/11 Tragedy". Adegan lantas meloncat ke Wina-Austria di tahun 2014, dimana Hanum mendapatkan tugas dari atasan di media tempatnya bekerja bernama Gertrude Robinson untuk mekakukan liputan soal peristiwa itu. Sudut pandangnya adalah dari kalangan muslim yang disudutkan akibat peristiwa itu. Adanya video yang diunggah di situs berbagi video Youtube dari seorang anak bernama Sarah Hussein mengharuskan Hanum untuk mewawancarai anak itu yang merupakan putri tunggal dari Azima.

Tugas itu membuat pasangan suami-istri Rangga dan Hanum sempat berkonflik karena Rangga sendiri ditugaskan Profesor Reinhard untuk mewawancarai Philipus Brown dan mengundangnya berceramah di kampus mereka. Karakter ini digambarkan sebagai milyarder (atau milyuner) Amerika Serikat yang berubah dari seorang yang misterius dan enggan berderma menjadi seorang filantropis. Ia bahkan punya anak angkat asli dari Afrika dan menulis buku "The Power of Giving". Di bagian akhir film, penonton akan tahu kalau ia ternyata mendapatkan pencerahan setelah bertemu Ibrahim Hussein. Pria ini adalah suami dari Azima alias Julia Collins.

Namun, sebelum itu, karena ikut tewas di WTC, Ibrahim yang akrab dipanggil Abe -bahasa Ibrani untuk Ibrahim yang merupakan bahasa Arab adalah Abraham, biasa dipanggil Abe- dituduh sebagai teroris. Karena itulah Sarah sampai membuat video "curhat" yang diunggah di Youtube. Bahkan tetangga mereka pun ikut memusuhi, walau Hanum yang akhirnya mendatangi rumah mereka sudah berusaha membela. Walau semula Azima menolak diwawancarai, akhirnya ia bersedia terutama setelah Sarah sendiri malah ingin diwawancara.

Dalam perjalanan dari bandara setibanya di New York, saat Rangga dan Hanum masih berada di taksi menuju rumah sahabatnya Stefan yang lupa menjemput, map berisi data milik Hanum tertinggal. Ndilalah, penemunya adalah Michael Jones. Dia adalah pemimpin kelompok garis keras yang menentang pembangunan masjid di "Ground Zero". Ini adalah tempat bekas gedung WTC yang konon ditabrak pesawat itu. Dalam rangka meminta kembali map miliknya itu, Hanum kemudian menemui Jones. Sayangnya, unjuk rasa yang dihadiri Hanum berakhir rusuh hingga wanita itu pun mengalami luka-luka. Di bagian ini, saya merasa penggambaran demonstrasi itu "konyol". Kenapa? Adegan saat mereka dikejar-kejar polisi -hanya dilafalkan oleh karakter figuran saja dengan ucapan "Police!"-, justru sama sekali tidak ada polisinya! Apalagi kemudian mereka masuk gang sempit, yang agak aneh bagi yang tahu, karena tempat itu terlihat jauh dari "Ground Zero" yang berada di pusat (mid-town) kota New York.

Kebetulan demi kebetulan terus-menerus terjadi seperti sinetron. Kesaling-terkaitan antar karakter menjadi jelas di bagian tengah-akhir film. Tetapi, relasinya terkesan dipaksakan. Semua seolah selesai dengan mudah cuma dengan pidato Brown di acara "The Heroes" di akhir film. Sebuah acara yang juga ridiculous, karena disebutkan Brown menerima penghargaan, tapi dari siapa tidak jelas. Jones digambarkan "insyaf" setelah mendengar pidato itu. Istrinya Anna ternyata adalah sekertaris Brown yang terjun dari lantai atas WTC dan tewas. Peran Abe yang berusaha menolong Anna itulah yang dijelaskan Brown, menggambarkan kalau pria itu bukanlah teroris. Di bagian ini juga ada kejanggalan, karena terlihat jelas jendela kaca kantor Brown adalah jendela geser. Sementara saat Anna jatuh, diperlihatkan kantor berada di lantai yang cukup tinggi. Mana ada jendela kaca di gedung pencakar langit yang bisa dibuka?

Maka, pertanyaan berat: "Apakah dunia akan lebih baik tanpa Islam?" dijawab dengan amat sangat terlalu mudah: "Tidak". Dengan dalih pembenaran semata dari pengalaman pribadi Brown yang merasa diselamatkan Abe. Dan film diakhiri dengan Brown dan Jones secara terpisah menemui Hanum di sebuah taman. Jadi mirip "Srimulat" yang di akhir pentas semua pemain berkumpul di panggung.

Well, saya tahu pertanyaan yang jadi premis utama film ini yaitu "Would the world be better without Islam?" terinspirasi dari buku karya Graham E. Fuller berjudul A World Without Islam (2010). Ya, dan tak satu pun penulis resensi atau kritik film menyebutkan ini karena memang mereka tidak tahu. Dan pembahasan buku setebal 336 halaman itu komprehensif serta berimbang. Sementara di film ini, dengan mudah selain melalui karakter Brown, juga Stefan yang dengan santai bilang "dunia akan lebih baik tanpa Islam, Christian, Catholic, Hindu dan Buddha". Agak bias ke-Indonesia-an karena itu lima agama yang diakui resmi di negara ini, yang pada era Gus Dur lantas ditambah Konghucu, plus aliran kepercayaan yang sudah diakui sejak Orde Baru. Padahal, di dunia banyak sekali agama lain seperti Yahudi, Jainisme, Baha'isme termasuk aliran dan sektenya. Bagi saya, akan lebih manis kalau saja Stefan dan Rangga malah menyanyikan lagu Imagine-nya John Lennon. Tapi mungkin itu terkait hak cipta yang mahal jadi sulit digunakan.

Omong-omong, lagu tema film ini lumayan. Ada lagu yang dinyanyikan Arkarna, rock band asal Inggris lho. Lagu yang dinyanyikan bersama Andini ini berjudul "Jangan Salahkan Cinta". Sayangnya, lagu tema lain yang dinyanyikan Ridho Rhoma feat. Fazura berjudul "Bulan Terbelah di Langit Amerika" terdengar di telinga bernuansa Melly Goeslaw, walau ternyata pengarangnya berbeda. Bagaimanapun, kedua lagu ini nikmat didengar tersendiri.

Cerita sampiran berupa konflik antara Stefan dan Janet pacarnya yang meski telah tinggal serumah tapi belum dinikahi juga menjadi "bumbu tersendiri". Bagi yang pernah menonton film sebelumnya yaitu 99 Cahaya di Langit Eropa, sudah pasti akan tahu kebengalan karakter Stefan ini. Karakter keduanya cukup baik tergambar walau sekedar peran pendukung.

Penggambaran karakter paling lemah justru di Brown. Karena terbiasa menyaksikan film-film Hollywood, maka penggambaran seorang milyarder di benak minimal seperti Jordan Belfort di film The Wolf of Wall Street (2013). Sementara Brown di film ini terlihat sederhana sekali. Baik dari pakaian maupun asesoris yang dikenakannya, apalagi penampakan mobilnya yang cuma sepintas saja. Rumah dan kantornya pun tak terlihat mewah. Sebagai perbandingan, meski cuma ditampilkan selintas, kantor Christian Grey di Fifty Shades of Grey (2015) terlihat sekali mewahnya bukan?

Karakterisasi tampaknya jadi problem di film ini. Mungkin mengangkat karakter dari novel agak sulit ke layar perak. Karakter Abe dan istrinya Azima juga lemah. Sempat terdengar dialog mereka berdua diucapkan dalam bahasa Indonesia. Apalagi Azima kemudian juga berbahasa Indonesia dengan Hanum. Tetapi, sebenarnya mereka itu berkebangsaan apa? Karena justru digambarkan Julia Collins-lah yang muallaf ketika akan menikah dengan Abe. Meski Rianti Cartwright memang berdarah Inggris, tetapi penonton Indonesia jelas bingung. Kalau memang karakternya "bule", lebih baik memakai artis asing bukan? Padahal, anaknya yaitu Sarah diperankan oleh artis asli Amerika sendiri.

Judul film ini yaitu "bulan terbelah" yang berasal dari sebuah hadits mengenai mukjizat Rasulullah SAW yang "membelah bulan" saat ditantang kaum kafir Quraisy untuk membuktikan dirinya benar utusan Tuhan juga tak tergambar sama sekali di filmnya. Hanya ada satu adegan saat Hanum untuk sementara tinggal di rumah Azima dan keluar di teras rumahnya memandang bulan. Tapi sama sekali tak ada dialog tentang mukjizat yang dipercaya terbesar kedua setelah Al-Qur'an itu. Beberapa harapan saya akan mendapatkan penggambaran dari buku juga tidak terwujud. Salah satunya justru yang dituliskan di sampul belakang novelnya yaitu relief patung Nabi Muhammad SAW di lobby gedung Mahkamah Agung Amerika Serikat (United States Supreme Court). Bisa jadi pihak pembuat film menghindari kontroversi karena adanya anggapan di sebagian masyarakat bahwasanya figur Sang Kekasih Tuhan itu haram digambarkan.

Selain itu, secara keseluruhan film ini masih menarik untuk disaksikan. Cukup memberikan pencerahan terutama bagi penonton awam. Walau tentu saja kualitasnya masih sangat jauh dari film-film Michael Moore yang jelas "mengguncang dunia" karena mengungkapkan "Teori Konspirasi" di balik peristiwa 11 September 2001. Cukup bagus bagi keluarga, terutama penonton cerdas yang mencari film bernas. Film yang tidak sekedar mengajak tertawa atau mengumbar tangis, tetapi mengelaborasi nurani dan pikiran. Walau lebih terasa bak harapan terbeban pesan.

 

*) Penulis adalah pemilik situs http://resensi-film.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun