Mohon tunggu...
Bhayu MH
Bhayu MH Mohon Tunggu... Wiraswasta - WIrausaha - Pelatih/Pengajar (Trainer) - Konsultan MSDM/ Media/Branding/Marketing - Penulis - Aktivis

Rakyat biasa pecinta Indonesia. \r\n\r\nUsahawan (Entrepreneur), LifeCoach, Trainer & Consultant. \r\n\r\nWebsite: http://bhayumahendra.com\r\n\r\nFanPage: http://facebook.com/BhayuMahendraH

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Massa & Politik

24 Februari 2014   09:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:31 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Menyaksikan tayangan Metro TV kemarin terkait dengan acara “Apel Siaga Perubahan” Partai Nasional Demokrat (Nasdem), saya prihatin kepada Surya Paloh atau siapa pun yang mendanai acara itu. Kenapa begitu? Karena tampaknya harapan membirukan Jakarta kandas. Meski berupaya disiasati dengan menutupi bendera besar dan mengarahkan kamera ke bagian yang dipenuhi massa, namun mata pemirsa tak bisa dibohongi: Stadion Utama Gelora Bung Karno (SU GBK) hanya terisi sepertiganya. Dengan kapasitas 100.000 orang, berarti massa yang hadir hanya sekitar 30.000 orang.

Tentu saja, angka itu bukan berarti sedikit. Itu sama saja dengan meletakkan semangkuk nasi di atas wajan. Sebenarnya memadai, tapi terasa sedikit karena wadahnya besar.

Saya tidak tahu di mana letak kesalahan penggalangan massanya. Akan tetapi saya coba menyoroti dari faktor kesadaran massa pemilih sendiri.

Sejak Reformasi 1998, Indonesia memasuki masa demokrasi baru. Banyak yang mengatakan demokrasi kita sekarang sudah lebih liberal daripada Amerika Serikat. Banyak yang lebih kompeten daripada saya untuk memberi pernyataan seperti ini.

Hanya saja kita bisa melihat bahwa partai politik (parpol) makin ‘ada-ada saja akalnya’ dalam meraih simpati rakyat. Kita kesampingkan dahulu kemungkinan permainan jual-beli suara atau kecurangan apa pun. Kita anggap Pemilu di Indonesia 100 % bersih, jujur, dan adil.

Andaikata ini yang benar terjadi, sebenarnya masyarakat pemilih kita masih memilih pemimpin berdasarkan faktor like and dislike dan bukan obyektivitas. Pemilu 2009 adalah contoh. Secara faktual, Wakil Presiden incumbent yang bertarung sebagai calon Presiden adalah yang paling nyata kerjanya. Beliau paling kompeten dan juga paling terlihat pintar saat debat di mana pun. Tapi berapakah perolehan suaranya? Paling kecil. Namun statistik menunjukkan, beliau unggul di wilayah urban perkotaan atau di tempat di mana tingkat pendidikan pemilihnya tinggi seperti di area sekitar kampus.

Faktor identifikasi kesamaan antara calon dengan pemilih juga penting. Kesamaan itu termasuk apa yang disebut SAR minus A, yaitu Suku, Agama dan Ras. Antar-Golongan tidak termasuk karena pemilih justru berasal dari lintas-golongan. Menjelang Pemilihan Gubernur DKI 2013 lalu, kebetulan adalah bulan Ramadhan menjelang Idul Fitri, saya sempat berkeliling ke berbagai kota di Jawa Tengah dan melihat sendiri faktor kesukuan digunakan oleh Jokowi dan PDIP. Saya sempat memotret spanduk-spanduk di berbagai kota di Jawa Tengah terutama di Solo dan sekitarnya mengingatkan warga Jakarta yang sedang mudik untuk mencoblos Jokowi.

Kembali ke acara Nasdem kemarin, bisa jadi sepinya massa karena memang massa pemilih kurang menaruh simpati pada parpol baru tersebut. Atau bisa jadi 'sesederhana' koordinator lapangan kurang mampu mengoptimalkan simpul-simpul massa. Tugas petinggi Nasdem-lah untuk mengevaluasi hal ini. Apalagi Pemilu 2014 sudah dekat.

Fenomena ini berbeda dengan saat Partai Demokrat masuk ke kancah perpolitikan Indonesia 2004. Bisa jadi saat itu mereka juga terdongkrak oleh Pemilu Presiden di Amerika Serikat yang melambungkan nama Barack Obama. Terpilihnya Obama yang pernah tinggal di Indonesia itu membuat Fox Indonesia sebagai success centre team SBY banyak meniru konsepnya. Sekali lagi dengan mengabaikan faktor-faktor X lainnya, saat itu pemilih begitu antusias karena partai baru tersebut menjanjikan sesuatu yang baru: janji perubahan. Dan memang akhirnya secara mengejutkan mereka bisa mengharu-biru jagat perpolitikan Indonesia. (Sekali lagi, kita harus mengesampingkan di kemudian hari terbukti parpol ini pun mencederai janjinya).

Saya rasa ada beberapa faktor yang bisa membuat satu parpol menarik massa pemilih untuk datang ke acara yang mereka selenggarakan, sekali lagi dengan menganggap semuanya natural tanpa rekayasa, yaitu:

  1. Ideologi partai
  2. Keterikatan dan keterkaitan –termasuk kesamaan faktor sosiologis- dengan pemilih
  3. Kharisma pemimpinnya
  4. Kemampuan partai politik dalam mengelola isyu nasional menjadi simpati rakyat
  5. Janji politik yang dilontarkan, termasuk program perbaikan di masa depan

Silahkan Anda nilai sendiri faktor mana yang kiranya membuat acara Nasdem kemarin kurang memenuhi ekspektasi dalam hal penggalangan massa. Saya pikir kita sudah lebih dewasa secara politik sekarang bukan?

Tulisan lain dengan tema senada bisa dibaca di http://lifeschool.wordpress.com

Foto: metrotvnews.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun