[caption id="attachment_149176" align="alignleft" width="300" caption="Tengkorak korban kejahatan melawan kemanusiaan"][/caption] Dua kalimat di atas terkesan pengulangan. Ada dua kali kata melawan. Barangkali dalam bahasa Inggris lebih baik: Fighting "Crime Against Humanity".
Tanpa kita sadari, sebenarnya di berbagai belahan dunia terus terjadi apa yang dinamakan "Kejahatan Melawan Kemanusiaan". Bahkan di negeri kita, di era yang katanya demokratis hasil reformasi 1998, ternyata terus terjadi tindakan ini. Bukan hanya yang masih terjadi, tapi juga yang sudah terjadi. Pemerintah kita seakan melakukan "pembiaran" atas berbagai tragedi kemanusiaan, terutama yang masih baru dan pelakunya masih ada yang hidup (bahkan berkuasa).
Dirunut ke belakang, terjadi sejumlah peristiwa yang bisa disebut "kejahatan melawan kemanusiaan". Di masa Soekarno, terjadi penumpasan terhadap sejumlah peristiwa pemberontakan. Namun, secara umum negara dianggap melakukan secara sewajarnya. Sementara di era peralihan ke masa Soeharto dengan Orde Barunya, disinyalir terjadi pelanggaran HAM berat. Tak kurang dari 2 juta orang diduga tewas atau hilang. Sementara, pemerintah Soeharto tak pernah mengakui adanya pembantaian itu.
Hari ini dan besok, di Hotel Atlet Century Park Jakarta, diadakan sebuah seminar dan simposium internasional. Tajuknya "Regional Seminar and Expert Symposium about Prosecuting Serious Crimes: Challenges and Lessons Learned in Asia." Saya diundang dalam acara seminar yang dibuka dengan keynote speaker Jaksa Agung Basrief Arief. Namun karena bukan terhitung "expert", saya tidak diundang mengikuti simposium yang diikuti peserta dari sejumlah negara. Acara tersebut dihelat oleh International Centre for Transnational Justice (ICTJ), Komite Indonesia untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), Indonesia Coalition for ICC dan Universitas Paramadina.
Menurut artikel Usman Hamid Ketua KontraS di Jakarta Post hari ini, Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma tentang International Criminal Court (ICC). ICC sendiri -menurut Usman- adalah peradilan internasional permanen yang memiliki mandat untuk menyelidiki dan menghukum kejahatan internasional yang paling serius, yang dinamakan "Kejahatan Melawan Kemanusiaan", kejahatan perang dan genosida.
[caption id="attachment_149178" align="alignright" width="300" caption="Nick memutarkan video korban kejahatan melawan kemanusiaan di Liberia (Foto: Bhayu MH)"][/caption] Menurut Nick Koumjian (Defense Counsel at ICC, ICTJ, Criminal Justice Unit) dalam sesi kedua menjawab pertanyaan saya mengenai batasan wewenang ICC dan peradilan internasional, adalah justru dari negara bersangkutan sendiri. ICC akan masuk bila negara bersangkutan "unable and unwillingness" untuk mengadili para pejabatnya yang terlibat "kejahatan melawan kemanusiaan". Di Liberia misalnya, ICC masuk untuk mengadili mantan Presiden Charles Taylor. Salah seorang saksi korban yang berhasil lolos yaitu Mustapha Mansaray sempat ditunjukkan videonya oleh Nick (walau tidak tampil sempurna di proyektor). Ia yang petani biasa ditangkap dan disiksa oleh aparat keamanan rezim Taylor hingga kedua pergelangan tangannya putus.
Dalam hal peradilan ini, apabila negara bersangkutan mampu mengadili sendiri, maka bisa dipastikan ICC tak akan turut campur. Dalam hal ini, menurut Muladi, Indonesia berhasil mencegah dunia internasional turut campur dalam kasus pengadilan HAM ad-hoc di Timor-Timur. Komite Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dibentuk bersama antara pemerintah Republik Indonesia dan Republik Demokratik Timor Leste direstui PBB dan persoalan dianggap selesai. Meski tidak memuaskan banyak pihak terutama keluarga korban dan aktivis HAM, namun dihukumnya Abilio Soarez (Gubernur terakhir Timor-Timur sebagai provinsi ke-27 Indonesia) dan Eurico Guterres (Wakil Panglima Laskar Merah Putih Pro Integrasi) sudah dianggap cukup. Sementara, yang dianggap aktor utama seperti para komandan militernya yang dianggap terlibat sama sekali tidak "tersentuh hukum".
Menurut Patrick Burgess dalam sesi pertama, sebenarnya ada beberapa jenis peradilan. Pertama adalah penuntutan internasional, kemudian peradilan campuran, peradilan lokal oleh negara bersangkutan dan yurisdiksi universal. Namun ada juga alternatif selain peradilan, yaitu membentuk komisi kebenaran (seperti Komite Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia-Timor Leste), komisi berdasar permintaan kebutuhan, proyek pencarian fakta tidak resmi (seperti oleh lembaga HAM internasional) dan usaha-usaha masyarakat sipil lain. Termasuk hal terakhir adalah proses edukasi dan promosi seperti seminar yang diadakan tadi pagi.
Satu yang bagi saya pribadi masih kurang, sepertinya "kejahatan melawan kemanusiaan" masih difokuskan pada kejahatan yang terkait penghilangan nyawa manusia, penghilangan fisik manusianya (diculik), penyiksaan atau tindakan lain yang mengakibatkan kecacatan dan tindakan fisik lain. Sementara untuk "kematian perdata" yang banyak diderita oleh korban politik penguasa masih belum tersentuh. Sebutlah seperti diderita oleh para penandatangan "Petisi 50". Padahal, lolos dari tahanan atau kamp konsentrasi bukan berarti bisa hidup bebas dari ketakutan.
Ayah saya misalnya, berhasil lolos dari kejaran aparat Soeharto pada tahun 1965. Sementara teman-temannya ditangkapi tanpa proses hukum yang benar. Beliau dan teman-temannya bukan PKI atau pendukung komunis, namun anggota PNI dan pendukung Soekarno (Soekarnois). Namun pembelaan terhadap mereka amat minim. Yang kini lantang bersuara justru eks anggota PKI atau keluarganya yang merasa dizalimi rezim Soeharto.
Saya merasa, seharusnya lingkup "kejahatan melawan kemanusiaan" juga mencakup penindasan non-fisik. Di masa Orde Baru, selain aktivis Petisi 50, orang-orang yang KTP-nya diberi label "ET" (Eks Tapol-Tahanan Politik) pun mengalami "kematian perdata". Mereka sulit menghidupi diri sendiri dan keluarganya, semua orang menjauhi apalagi ketika ia dilepas dari tahanan. Kenalan, keluarga dan kerabat yang tidak mau terlibat menjauh. Sementara teman-teman seperjuangan menuding yang bersangkutan berkolaborasi dengan penangkapnya karena telah dilepaskan. Serba salah.
Karena itu, apapun bentuknya, "kejahatan melawan kemanusiaan" haruslah dilawan. Caranya aneka ragam. Tidak hanya dengan berdemonstrasi, tapi juga di ruang-ruang intelektual. Karena hukum dan politik justru dibuat di ruang-ruang mewah ber-AC. Jadi, siapapun kita, jangan cuma diam, lawan!
Catatan Penulis: Tulisan lain tentang acara yang sama ada di Politikana.
[caption id="attachment_149179" align="aligncenter" width="512" caption="Para pembicara & moderator di dua sesi seminar berfoto bersama (Foto: Bhayu MH)"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H