Mohon tunggu...
Bhayu MH
Bhayu MH Mohon Tunggu... Wiraswasta - WIrausaha - Pelatih/Pengajar (Trainer) - Konsultan MSDM/ Media/Branding/Marketing - Penulis - Aktivis

Rakyat biasa pecinta Indonesia. \r\n\r\nUsahawan (Entrepreneur), LifeCoach, Trainer & Consultant. \r\n\r\nWebsite: http://bhayumahendra.com\r\n\r\nFanPage: http://facebook.com/BhayuMahendraH

Selanjutnya

Tutup

Politik

Penundaan SBY ke Belanda & Penangkapan Kepala Negara

6 Oktober 2010   06:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:40 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SBY saat mengumumkan pembatalan kunjungan kenegaraan di ruang tunggu VVIP Bandara Halim P.K. (Foto: adityawarman/presidensby.info)

Ditundanya kunjungan kenegaraan Presiden R.I. ke Belanda memicu beragam reaksi baik di Indonesia sendiri maupun di Belanda. Umumnya, reaksi itu bernada menyayangkan hingga kecaman, meski ada pula yang mendukung. Di Belanda, reaksi keras muncul di media massa. Kemarin, sempat muncul tajuk rencana dari redaksi media berpengaruh di Belanda, de telegraaf. Namun, ketika hal itu menjadi pemberitaan di media massa Indonesia terutama di internet, halaman situs bersangkutan dihapus.

Pada intinya, isi tajuk rencana itu –yang kolom aslinya bernama “Hoofdredactioneel commentaar”- itu menyatakan tindakan SBY itu sebagai penghinaan kepada Kerajaan Belanda dan Ratu Beatrix. Bahkan judulnya singkat saja, tapi provokatif: “Belediging” yang dalam bahasa Indonesia artinya “Penghinaan”.

Sebenarnya, tindakan SBY itu tidak perlu disambut dengan caci-maki, hanya saja barangkali terjadi kesimpang-siuran informasi ditambah ketidakmengertian orang-orang dekat beliau sehingga berakibat tindakan itu diambil. Sayang sekali ahli hukum internasional seperti Dr. Hikmahanto Juwana berada di luar lingkaran beliau. Terlebih lagi pakar hukum tata negara Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra justru dijadikan tersangka dalam kasus Sisminbakum dan jelas menjadi 'berseberangan'. Padahal andaikata berkonsultasi dulu dengan kedua beliau, mungkin problema ini tidak akan terjadi.

Masalahnya memang di ranah hukum, bukan diplomasi internasional. Marty Natalegawa sebagai Menteri Luar Negeri yang sudah makan asam-garam –sebelumnya pernah menjadi Duta Besar RI di PBB-, tentunya mengerti prosedur kunjungan kenegaraan dalam ranah hubungan bilateral internasional. Yang tampaknya kurang dimengerti adalah kadar tuntutan yang diajukan oleh RMS yang diwakili oleh seseorang yang mengaku sebagai “Presiden di pengasingan”, yaitu John Wattilete. Karena tuntutan “kort geding” itu cuma semacam pra-peradilan. Apa pun putusannya, tidak akan berpengaruh karena secara hukum akan “overstegen” dengan hukum internasional. Lagipula, pengadilan tempat tuntutan itu diajukan adalah pengadilan lokal, yang yurisdiksinya terbatas.Jadi, tanpa adanya jaminan kekebalan hukum penuh yang telah disampaikan Menteri Kehakiman Belanda Hirsh Balin dan Menteri Luar Negeri Belanda Maxime Verhagen pun, hukum internasional sudah menjamin seorang diplomat –apalagi Kepala Negara- memiliki diplomatic immunity. Bahkan bila melakukan tindakan pidana sekali pun, hanya bisa di-persona non grata-kan. Apalagi ini seorang kepala negara. Sangat tidak mungkin pemerintah kerajaan Belanda akan membiarkan tamu sang ratu ditangkap.

Bayangkan saja, kalaupun pengadilan memutuskan SBY harus ditangkap, siapa yang harus mengeksekusi? Pastinya polisi. Meski pengadilan berada dalam ranah yudikatif yang tak bisa dicampuri pemerintah, namun kepolisian adalah aparat negara yang berada di bawah pemerintah selaku eksekutif. Kalau tidak ada yang mengeksekusi, perintah pengadilan pun cuma akan jadi pepesan kosong. Kalau ada oknum polisi yang nekat melakukan penangkapan, apakah bisa dibayangkan Paspampres Indonesia dan Pengawal Ratu akan diam saja? Pasti akan terjadi baku tembak. Dan bila itu terjadi apalagi berakibat Presiden RI terbunuh, maka hasil akhirnya bisa berujung pada perang. Seperti pernah terjadi pada Perang Dunia I (1914-1918) yang pemicunya adalah terbunuhnya Archduke Franz Ferdinand dari Austria oleh seorang nasionalis Yugoslavia.

Dalam sejarah modern pasca Perang Dunia II, penangkapan seorang kepala negara oleh negara lain hanya pernah terjadi dua kali. Saya sebut jangka waktunya “pasca Perang Dunia II” karena sebelum itu terutama di abad pertengahan, penangkapan kepala negara oleh negara lain justru sering terjadi. Itu karena peperang antar bangsa demi perluasan wilayah dan pengaruh memang kerap berkobar. Satu yang paling terkenal adalah penangkapan Raja Inggris legendaris, Richard I “the Lion Heart” (1157-1199) saat berkuda pulang dari Yerusalem usai kekalahan dalam Perang Salib III. Ia ditangkap di tengah jalan oleh Leopold V-Duke of Austria pada 1192, membuat pemerintah kerajaan Inggris yang dipimpin Eleanor of Aquitaine pada tahun 1194 terpaksa harus membayar tebusan sebesar 150.000 mark kepada Raja asal Jerman Henry VI yang saat itu bertahta sebagai Kaisar Tahta Suci Romawi untuk membebaskan rajanya. Ini karena pada 1193 Richard I diserahkan penahanannya kepada sang Kaisar.

Sementara pasca Perang Dunia II, kejadian itu hanya terjadi pada pemimpin Panama Manuel Antonio Noriega Moreno atau lebih dikenal sebagai Noriega “Si Muka Nanas” yang ditangkap oleh Amerika Serikat dalam sebuah operasi pasukan khusus US Navy SEAL tahun 1990. Operasi SEAL yang diberi sandi“Operation Nifty Package“ itu merupakan “operasi dalam operasi”, karena sebelumnya A.S. sudah melakukan invasi militer di Panama dengan sandi “Operation Just Cause“. Itu pun sebenarnya kontroversi karena A.S. menganggap Noriega bukan Kepala Negara sah Panama, walau secara de facto ia adalah penguasa negeri itu. Hingga kini, Noriega masih ditahan di penjara A.S. dan baru akan bebas pada 2022 karena vonis 30 tahun –pengurangan dari 40 tahun- yang dijatuhkan United States District Court for the Southern District of Florida yang dikuatkan oleh the United States Court of Appeals for the Eleventh Circuit pada tahun 1992. Kini ia ditahan di Prancis setelah permintaan ekstradisinya dikabulkan pemerintah A.S. pada bulan April 2010 lalu. Ini karena pengadilan Prancis juga memvonis Noriega secara in-absentia sebelumnya.

Tentu saja, selain Noriega kita masih ingat pada nasib Presiden Irak Saddam Hussein yang ditangkap saat ia sedang bersembunyi pasca negerinya di-invasi A.S. tahun 2003. Alasannya tentu saja Anda semua tahu, karena Irak dituduh memiliki senjata pemusnah massal, yang kemudian ternyata tak terbukti. Namun negeri itu sudah terlanjur diinvasi dan Saddam sudah terlanjur ditangkap bahkan dihukum mati.

Akan halnya SBY, saya pikir ia tak perlu kuatir akan bernasib seperti Noriega atau Saddam. Karena tidak mungkin sebuah kita sebagai negara yang nota bene sekutu A.S. akan mendapatkan perlakuan seperti keduanya. Lagipula, apa sih kesalahan SBY? Tidak ada satu pun vonis dari pengadilan internasional (International Court of Justice) yang pernah memvonis beliau. Jadi, walau sama-sama berada di Den Haag, namun pengadilan tempat tuntutan RMS diajukan itu bukan “international tribunal” yang keputusannya mengikat internasional dan berprinsip “erga omnes” (berhubungan dengan semua orang). Kekuatan hukumnya lemah dan mustahil dilaksanakan, bahkan andai diputuskan Presiden Indonesia harus ditangkap sekali pun.

Jadi, berangkatlah Pak Beye. Ratu sudah menunggumu. Ini demi kehormatan bangsa kita juga. Lagipula, akan ada peristiwa bersejarah berupa pengakuan resmi dari kerajaan Belanda yang akan dilakukan langsung oleh Ratu Beatrix terhadap kemerdekaan kita 17 Agustus 1945. Di mana selama ini sebagai bekas penjajah mereka hanya mengakui kita merdeka dalam momentum “Penyerahan Kedaulatan” (soevereiniteitsoverdracht) di Istana Dam-Amsterdam pada 27 Desember 1949. Meski Menteri Luar Negeri Belanda Bernard Rudolf Bot pernah berpidato tentang pengakuan kemerdekaan 17 Agustus 1945 itu pada tahun 2005, namun pengakuan oleh Ratu tentu jauh lebih tinggi bobotnya.

Ayo, Pak Presiden. Tunjukkan jati dirimu sebagai seorang prajurit pemberani! Jangan biarkan segelintir kelompok separatis tak eksis mendapatkan promosi gratis!

Penulis adalah pengelola blog LifeSchool (the 1st Daily Updated Indonesian blog). Tulisan ini eksklusif untuk Kompasiana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun