Mohon tunggu...
Bhayu MH
Bhayu MH Mohon Tunggu... Wiraswasta - WIrausaha - Pelatih/Pengajar (Trainer) - Konsultan MSDM/ Media/Branding/Marketing - Penulis - Aktivis

Rakyat biasa pecinta Indonesia. \r\n\r\nUsahawan (Entrepreneur), LifeCoach, Trainer & Consultant. \r\n\r\nWebsite: http://bhayumahendra.com\r\n\r\nFanPage: http://facebook.com/BhayuMahendraH

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Ada Asa Dalam Cinta - Bagian 23

17 Desember 2014   01:15 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:10 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kisah sebelumnya: (Bagian 22)

(Bagian 23)

[New York city]

Rangga berdiri terpaku di tangga teratas kompleks apartemen kelas atas di kawasan Chelsea. Matanya tak berkedip menatap sosok gadis yang membuka pintu. Ia tampak berbeda sekali dalam balutan gaun malam warna hitam. Bahan satinnya yang halus seakan melengkapi kehalusan kulit pemakainya. Potongan sackdress gaun yang pas di badan menonjolkan lekuk-liku tubuh seksinya yang tinggi semampai. Rambut pirangnya digelung ke atas, seakan hendak mempertontonkan lehernya yang jenjang. Belahan dada V-nya yang rendah tersamarkan oleh untaian kalung mutiara yang indah. Belum lagi gaun itu juga sleeveless dan backless, membuat siapa pun lelaki yang melihatnya akan terpana.

“Shall we?” sapa Jeanette sambil mengerling.

Rangga tergeragap. “Oh, yeah. Of course. May I?”

Jeanette tidak menjawab, tetapi gesture-nya menunjukkan ia tidak keberatan pada apa pun yang dimintakan izin oleh Rangga. Ternyata, Rangga meraih tangan kanan Jeanette dan mencium punggung tangannya. Hidung Rangga mencium aroma rempah mewangi dari parfum yang ditaburkan Jeanette di sekujur tubuhnya. Gayanya begitu aristokrat bak pangeran dalam dongeng. Jeanette tersenyum melihatnya. Ia membiarkan tangannya dicium oleh rekan kerjanya yang sehari-hari berpembawaan cuek itu.

Rangga sendiri tampil tidak mengecewakan sore itu. Ia mengenakan setelan tuxedo lengkap yang membuatnya bak berasal dari kalangan berada. Tak akan ada yang mengira kalau keduanya adalah jurnalis. Karena penampilan mereka bak sepasang selebritis.

Dalam beberapa menit, mereka sudah sampai di Museum of Modern Arts. Di museum yang menyimpan koleksi seni modern terbesar di dunia itu, sudah ramai hadirin lain yang sudah datang lebih dulu. Taksi eksklusif yang disewa Rangga berhenti di depan pintu, memberi kesempatan penumpangnya untuk turun. Karena itu bukan acara pemberian penghargaan, maka tidak ada red carpet yang dipenuhi fans dan fotografer. Meskipun tetap ada karpet merah sekedar untuk pemanis di pintu masuk.

Rangga menuntun Jeanette menuju pintu masuk. Di sana, ia menyerahkan undangan kepada maître d’ yang lantas mengecek daftar tamu. Begitu menemukan kecocokan, ia memberikan bunga korsase untuk dikenakan oleh Rangga. Ia pun memasang penitinya di kelepak kerah tuxedo sebelah kiri. Dengan tersenyum bak pengantin, keduanya memasuki museum yang telah dihias khusus untuk acara malam itu.

*******

[Jalan Raya T.B. Simatupang, Jakarta Selatan]

“Eh, kita mau ke mana nih?” Cinta bertanya kepada Borne yang tampak menyetir tanpa ragu.

Borne melirik sepintas, dan ia menjawab santai, “Kamu ada usul tempat tertentu?”

Cinta berpikir sesaat, dan menoleh ke arah temannya yang sedang mengemudi, “Nggak sih. Terserah kamu aja.”

“Bukannya terserah yang ngajak?”

“Yang ngajak?”

“Ya, kan kamu yang ngajak kemarin… sekalian mau nraktir kan?” Borne menggoda lagi.

“Eh, kalau ngajak sih iya. Tapi kalau nraktir… duh, takut… Apa iya aku bisa nraktir Pak Borne yang sudah sukses ini?” Cinta balas menggoda.

“Hahaha… Jadi, maunya gimana?”

“Mmm…. Kita ke mall aja kali ya… Kalau pun aku harus nraktir, gak mahal-mahal amat…,” pinta Cinta.

Borne cepat menyahut, “OK. Setuju. Kita ke mall dekat sini ya? Biar cepet dan gak terlalu capek.”

“Sip!”

*******

[Museum of Modern Art, Manhattan-New York city]

Rangga sudah beberapa kali mendatangi museum tersebut, tetapi belum pernah saat ada acara khusus seperti ini. Warna merah-putih-biru khas bendera Amerika Serikat menghiasi pita dan bendera yang dipasang. Tentu saja tak lupa taburan bintang-bintang putihnya melengkapi elemen dekorasi di auditorium. Mereka berdua bukanlah tamu VIP, bahkan sebenarnya kalau tidak mengajak teman, Rangga mungkin bingung hendak mengobrol dengan siapa.

Ia merasa beruntung ‘dipaksa’ Emily pergi berdua dengan Jeanette, selain karena jadi ada teman ngobrol, entah kenapa ia merasa nyaman pergi bersama rekan kerjanya itu. Sehari-hari, Jeanette tidak pernah tampil seperti malam ini. Tentu saja, karena pakaian casual yang dikenakannya lebih mengutamakan kepraktisan daripada penampilan. Dan Rangga heran sendiri kenapa ada perasaan berdesir di hatinya tiap kali ia bersentuhan dengan Jeanette.

“Rangga, let’s come to that bar, we must got some refreshment first,” ajak Jeanette. Bak kerbau dicocok hidungnya, Rangga menurut saja.

“What do you want, Sir and Madame?” sapa bartender ramah begitu keduanya mendekat.

Cepat, Jeanette menjawab cepat, “Scotch, double.”

“Yes Ma’am. And you, Sir?”

“Me? Mmm… could you get me some Corona?”

“Right away, Sir.”

Bartender pun menyiapkan minuman yang diminta. Di kota ‘bule’ seperti ini, sudah sejak lama Rangga harus menyesuaikan diri. Meski bukan pecandu minuman beralkohol, ia musti jadi ‘social drinker’, minum di saat diperlukan. Seperti saat ada acara seperti ini. Karena minum bagi masyarakat barat adalah semacam pencair suasana dalam bersosialisasi.

Cuma sekitar dua-tiga menit, pesanan mereka berdua datang. Tanpa ragu, Jeanette menyesap pesanannya. Sementara Rangga, tampak masih mengocok-ocok botolnya. Ia memanggil seorang pelayan yang beredar membawa baki makanan kecil dan mencomot dua potong crab cake dari sana. Rupanya, perut Rangga masih bernuansa Indonesia. Ia tidak ingin menenggak minuman beralkohol dengan perut kosong sama sekali. Mereka memang belum makan malam. Karena acara makan malam biasanya dilangsungkan setelah seremonial.

Setelah menghabiskan setengah gelas minumannya, Jeanette mengajak Rangga berkeliling. Pemuda itu setuju dan meletakkan botol minumannya di meja bar. Mereka pun menikmati foto-foto yang dipajang sebagai bagian pameran itu. Museum of Modern Art atau biasa disingkat MoMA sendiri punya bagian khusus yang mengkoleksi seni fotografi. Selain fotografi, ia juga menyimpan ribuan karya seni kontemporer lainnya termasuk lukisan, patung, film, instalasi, karya arsitektur dan desain. Koleksinya mencapai ratusan ribu artefak yang tak ternilai harganya. Sekedar menyebutkan, untuk lukisan saja di sana tersimpan karya terkenal Pablo Picasso, Vincent van Gogh, Henri Matisse dan Paul Cézanne. Bila dijumlah nilai total seluruh koleksinya bisa jadi melebihi APBN Indonesia.

Berbeda dengan museum di Indonesia yang tampak suram dan tak terurus, MoMA sangatlah sophisticated. Penataan ruangannya sangat berkelas dan modern, penuh ornamen indah dan tata-cahaya yang menawan. Selain koleksi seninya, desain interiornya sendiri adalah sebuah seni tersendiri. Arsitektur gedung yang sekarang dipakai adalah karya Yoshio Taniguchi yang renovasinya dilakukan pada 2002 hingga 2004. Biayanya konon mencapai US$ 858 juta atau sekitar 8,5 trilyun rupiah!

Tidak ada kata bosan menikmati sajian keindahan di museum ini. Malah, bagi pasangan muda seperti Rangga dan Jeanette, menyusurinya terasa lebih romantis. Mereka bisa melihat-lihat koleksi sambil berdiskusi panjang. Mengeksplorasi wawasan, mengasah kecerdasan sekaligus menbelai keindahan.

Sesekali, keduanya saling berpandangan dan bersentuhan satu sama lain. Terbawa oleh suasana nyaman ditingkahi musik lembut dan aliran makanan-minuman ringan tanpa henti. Katalog pameran di tangan menjadi pedoman untuk membahas koleksi yang dipamerkan.

“Hello, good evening. Sorry for disturbing, are you Jeanette?” terdengar suara seorang pria beraksen non-Amerika menyapa. Sontak keduanya menoleh ke arah sumber suara. Seorang pria muda tampan berambut pirang dan berdagu lancip tampak berdiri di sana. Jeanette mengernyit, ia tampak berhati-hati sebelum menjawab. Tetapi diputuskannya tak mungkin ada orang jahat di tempat seprestisius ini.

“Yes, that’s my name. Beg me pardon Sir, have we ever met?” jawab Jeanette yang langsung disusul dengan pertanyaan balik.

Lelaki itu meraih tangan Jeanette dan menunduk untuk menciumnya, sebuah kelaziman dalam tata-krama pergaulan di pesta seperti itu. Sambil membiarkan tangannya dicium oleh lelaki itu, mata Jeanette meneliti sosok pria di hadapannya. Ingatannya kabur, tetapi lamat-lamat ia teringat bahwa mereka memang pernah saling mengenal.

Seusai mencium tangan Jeanette, lelaki itu kembali berdiri tegak. Dengan tangan kanan berada di dada, ia lantas mengatakan sesuatu yang tak dimengerti Rangga, “Heureux de vous rencontrer ici, ce soir, Mademoiselle Jeanette.”

Jeanette pun membalas santun, “C'est un plaisir de vous rencontrer trop. Mais je m'excuse, qui êtes-vous ?

Lelaki itu tampak tersenyum maklum, dan menjawab, “Je suis désolé, vous devez être oublié moi. Je suis Adrien, Adrien Dubois, votre collège de l'ami.”

Jeanette tampak berpikir sesaat, lalu ia pun seperti teringat koneksivitas antara nama yang disebutkan dengan memorinya. “Ah,. Adrien, le président d'étudiant du sénat!”

Pria tampan itu tampak sumringah, sambil tertawa ia berkata, “C'est juste!” Disambut tawa renyah pula oleh Jeanette.

“Ehem!” Rangga sengaja pura-pura berdeham. Ia sudah tidak sabar selama beberapa menit dicuekin oleh Jeanette yang berbicara menggunakan bahasa Prancis yang sama sekali tidak dimengertinya.

Seketika, Jeanette tersadar pada kondisi yang kurang nyaman bagi Rangga. Ia pun memperkenalkan pasangannya malam itu kepada Adrien. “Oh, sorry. Adrien, please meet Rangga. Rangga, this is Adrien, my campus mate. He is our student senate president at that time. The one and only!” ujar Jeanette memperkenalkan keduanya. Kedua lelaki itu pun bersalaman sambil tersenyum.

“Ah, Monsieur Rangga. Nice to meet you,” sapa Adrien.

“Nice to meet you, Master Adrien,” balas Rangga sopan.

“I think I disturb your enjoyment here. Please forgive me, I think I must leave now…,” Adrien berpamitan. Jeanette tampak keberatan, tetapi sebelum berkata apa-apa, terdengar denting gelas dan suara microphone meminta hadirin berkumpul di depan panggung. Rupanya, acara resmi segera dimulai. Rangga menggamit lengan Jeanette untuk mendekat. Sambil ikut bersama kedua orang itu, Adrien sempat membisikkan kalimat tanya ke telinga Jeanette, “Votre mari ou fiancé?”

Dengan senyum, tanpa menjawab Jeanette menunjukkan jari-jari tangannya yang menari-nari, bersih dari cincin di jari manisnya. Masih penasaran, Adrien mengejar, “Spécial petit ami?”

Jeanette tetap tidak menjawab, tangannya kirinya kini melingkar di siku Rangga dan mengikutinya berjalan. Tetapi tangan kanannya terangkat dengan telunjuk di depan bibir. Memberi kode kepada Adrien agar tidak bertanya lagi.

*******

[Mal terbesar di kawasan Jakarta Selatan]

Borne rupanya sedang tak ingin repot mencari parkir, sehingga memilih menggunakan jasa valet parking. Apalagi di malam Minggu seperti itu, sudah pasti pusat perbelanjaan akan penuh. Berbeda dengan di negara maju dimana warganya sangat mengapresiasi budaya dan seni, di negara berkembang seperti kita malah gila belanja. Warga negara Indonesia sudah dikenal “shopping maniac” di luar negeri. Kalau pun ada yang mengalahkan hanya kemampuan ekonomi warga China dan Korea Selatan saja. Sementara orang Jepang kini sudah lebih mengerem nafsu memborongnya.

Baik Cinta maupun Borne malam itu tidak bermaksud belanja, tetapi karena di pusat perbelanjaan telah menjadi serba ada dan lengkap, maka mereka pun memilih mencari tempat makan malam di sana. Kelas makanannya pun beragam, mulai dari fast-food yang murah-meriah hingga fine-dining yang harganya tentu saja sesuai dengan sajiannya. Borne mempersilahkan Cinta memilih tempat. Tetapi Cinta malah bingung, sehingga Borne kemudian memilihkan satu restaurant fine-dining yang terhitung baru.

Memasuki tempat itu, Cinta sempat kuatir. Ia menyenggol lengan Borne, “Borne, aku nggak bisa nraktir kalau tempatnya begini…”

Dengan ringan Borne menjawab dengan nada menenangkan, “Santai aja… aku yang handle.  Yuk, masuk…”

Suasana langsung berubah begitu memasuki ruangan restaurant. Hiruk-pikuk pengunjung mall di luar seperti menghilang di dalam. Sistem peredam suaranya membuat suasana tenang. Akustik dari musiknya pun terdengar jelas. Alunan melodi musik klasik membuai telinga yang mendengar. Mereka berdua diantarkan hingga ke tempat duduk, sofa empuk berwarna merah marun. Pelayan yang mengenakan seragam rompi dengan dasi kupu-kupu murahan mengangsurkan menu, lantas mundur beberapa langkah, memberikan kesempatan kepada tamunya untuk membaca.

Sepintas, Cinta terbelalak. Ia melihat menu di kiri dan padanan harganya di kanan. Meski bukan lagi anak SMA atau kuliahan, tetapi gaji Cinta sebagai jurnalis tidaklah besar. Maka, ia hampir tidak pernah makan di tempat semahal ini. Deretan angka nol di kolom harga sempat membuat rona wajahnya pias. Borne melirik dan memahami situasinya, tetapi ia tidak ingin mempermalukan wanita teman SMA-nya itu. Maka, dengan santai ia bertanya kepada Cinta, “Kamu suka apa? Ayam, sapi, ikan… itu banyak pilihan…”

Cinta membolak-balik menu dengan bingung. Ia tahu Borne yang mentraktir, tapi rasanya tak pantas bila terlalu mahal. Akhirnya, Cinta pun berkata perlahan, “Borne, boleh nggak kalau aku minta dipilihin?”

Borne memandang wanita di hadapannya. “Kamu punya alergi?”

Cinta menggeleng.

Borne bertanya lagi, “Ada pantangan atau diet tertentu? Cewek biasanya punya…”

Cinta berpikir sesaat, lalu ia menjawab mantap, “Untuk malam ini, nggak.”

Borne tampak tersenyum, “Lho, memangnya kalau tidak malam ini gimana?”

Sambil menelengkan kepala, Cinta menjawab, “Yah… aku jarang makan daging merah sih…”

“Oh woke kalo begitu…,” kata Borne sambil kembali meneliti menu. Ia tampak membolak-balik beberapa halamannya dan menimbang-nimbang. Lalu menunjukkan beberapa kepada Cinta yang mengangguk setuju. Tak lama setelahnya, ia memanggil waitress dan memesan sejumlah menu.

(Bersambung besok)

Cerita bersambung ini dimuat setiap hari di laman penulis http://kompasiana.com/bhayu

Untuk membaca kisah seluruh bagian yang lain, dapat mengklik tautan yang ada dalam daftar di:

Ada Asa Dalam Cinta (Sinopsis & Tautan Kisah Lengkap)

———————————————————————

Foto: Antono Purnomo / Reader’s Digest Indonesia (Femina Group)

Grafis: Bhayu MH

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun