Mohon tunggu...
Bhayu MH
Bhayu MH Mohon Tunggu... Wiraswasta - WIrausaha - Pelatih/Pengajar (Trainer) - Konsultan MSDM/ Media/Branding/Marketing - Penulis - Aktivis

Rakyat biasa pecinta Indonesia. \r\n\r\nUsahawan (Entrepreneur), LifeCoach, Trainer & Consultant. \r\n\r\nWebsite: http://bhayumahendra.com\r\n\r\nFanPage: http://facebook.com/BhayuMahendraH

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Ada Asa Dalam Cinta - Bagian 66

2 Februari 2015   22:15 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:56 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14217582741237221344

Kisah sebelumnya (Bagian 65)

(Bagian 66)

Minggu malam menjadi malam panjang bagi Carmen, Cinta, dan Milly dengan cara berbeda. Mereka semua mendadak menjadi insomnia.

Sulit tidur.

Gelisah.

[Kawasan Kuningan. Jakarta Pusat]

Carmen mengantarkan Milly pulang lebih dulu. Barulah setelah itu ia meneruskan perjalanan menuju rumah kontrakannya. Ia mampir lebih dulu ke sebuah pusat perbelanjaan di kawasan itu, mencoba mengusir penat. Meskipun sesiangan tadi ia sudah pergi bersama Milly ke pusat perbelanjaan, tetapi ia mengobrol saja di sebuah restoran. Kini, Carmen memerlukan “me-time”, sendirian saja. Lagipula waktu masih jam sembilan malam. Belum terlalu malam untuk kota yang tidak pernah tidur seperti Jakarta. Tetapi sayangnya, pusat perbelanjaan itu mulai sepi selepas jam sembilan malam. Dan benar-benar tutup total pada jam sepuluh.

Terpaksalah Carmen mencari tempat alternatif lain untuk nongkrong. Ia menyetir mobilnya keluar kawasan Kuningan. Dan entah kenapa, pada jam sepuluh malam, ia terpikir untuk menuju ke kawasan Kota. Ia merasa, di sana banyak tempat yang bisa dikunjunginya.

Karena sudah malam, ia bisa mencapai kawasan itu dalam setengah jam kurang beberapa menit saja. Padahal di siang hari, jarak Kuningan-Kota bisa ditempuh lebih dari satu jam. Malah, terkadang hingga dua jam kalau lalu-lintas sedang macet parah.

Akhirnya Carmen memutuskan menepi di kawasan Pecenongan. Ia hendak mencoba bakmi kepiting yang katanya enak itu. Benar saja, pengunjung cukup banyak, walau tidak sampai terlalu mengantri. Ia yang sendirian masih bisa mendapatkan tempat duduk dan dilayani cukup cepat. Walau sebenarnya Carmen tak ingin terlalu cepat karena justru ingin membuang waktu di sana.

Pesanan bakmi dan es teh manisnya datang. Carmen menyantapnya perlahan sambil memainkan smartphone-nya. Ia browsing di internet, membacai berita-berita paling update. Beberapa kali ia melihat pula update status teman-temannya di beberapa aplikasi social media. Dari situ ia tahu kalau Alya sedang gembira, dan demikian juga Cinta. Tetapi tidak ada tanda apa pun dari account Borne. Meski memiliki juga account socmed, tetapi Borne tergolong pribadi yang jarang sekali meng-update status.

Melihat status Cinta yang ditulisnya di Path, ia melihat ada tiket bioskop yang dipotret di sana. Sepasang tiket dari bioskop yang terletak di pusat perbelanjaan yang sama yang dikunjunginya bersama Milly tadi siang. Tiket itu malah dari jam pertunjukan siang hari. Artinya, sejak siang, mereka berempat telah berada di tempat yang sama, hanya di area berbeda. Dan Carmen tambah jengkel melihat apa yang ditulis Cinta dalam caption foto-nya:

“First movie with my new lover… so sweet… xoxo”

Carmen pun memilih menutup aplikasi socmed itu dan mereguk sisa terakhir es teh manisnya. Ia tidak hendak menangis. Malah hendak membanting gelas rasanya. Ia begitu marah kenapa sahabatnya mengkhianati dirinya begitu rupa. Padahal, persahabatan mereka telah lebih dari dua belas tahun lamanya. Dan itu malah gara-gara seorang pria dari masa lalu!

Lebih dari jam dua belas malam sekarang. Sejak bakmi kepitingnya habis jam setengah dua belas lebih sedikit tadi, Carmen sudah pindah tempat. Agar tidak perlu memindahkan parkir mobilnya, Carmen berjalan kaki beberapa meter ke sebuah warung kopi. Ia memesan kopi kental manis di sana, disertai sepotong roti bakar. Entah kenapa saat sedang galau, nafsu makannya justru membuncah.

Cuma dalam sepuluh menit setelah dihidangkan, setangkup roti bakar dan segelas kopi itu tandas tak bersisa. Ia membayar sejumlah harga atas pesanan yang disantapnya. Begitu uang kembalian datang, terasa olehnya smartphone di genggamannya bergetar. Tanda ada pesan masuk. Tanpa berpikir panjang, ia menekan layar sentuh dan segera muncul pesan dari Cinta.

-Carmen, apa kabar lu… Sori baru bales SMS sekarang. Kalo ada apa2, bilang ya…-

Kali itu, Carmen benar-benar ingin membanting smartphone-nya. Untung saja ia bisa menahan diri. Jari jemarinya terkepal. Ia memukulkan genggaman tangannya ke pahanya. Matanya bersinar penuh amarah. Nafasnya mendengus cepat. Sekuat tenaga Carmen menahan diri agar tidak marah di tempat asing itu. Ia pun bangkit dari tempat duduk dan menuju ke mobilnya. Di dalam mobil, setelah menyalakan mesin dan AC, ia menyandarkan kepala dan memejamkan mata. Air matanya mengalir.

******

[Rumah orangtua Cinta. Jakarta Selatan.]

Cinta menuju ke rak buku pribadi yang lama tak dikunjunginya. Ia melihat-lihat judul-judul buku di sana. Entah mengapa, tangannya tergerak mengambil buku kumpulan sajak-sajak “Bentara” Kompas edisi 2003 yang bertajuk “Puisi Tak Pernah Pergi”. Tangannya membolak-balik halaman demi halaman buku puisi itu. Kumpulan puisi yang pernah dimuat di rubrik "Bentara" harian Kompas edisi Minggu selama tahun 2002 itu pastinya sudah merupakan pilihan terbaik. Sastra sendiri adalah puncak dari literasi. Dan puisi bak memahkotai.

Tangannya tanpa diduga menuju ke halaman 26. Di sana terpatri sebuah puisi. Matanya membaca karya Budy Utamy tersebut dengan perlahan. Otaknya mencerna, batinnya meresapi.

Surat Perempuan Kepada Kekasihnya

Ketika kutitipkan cinta padamu

Bersamanya turut gerimis dan halimun pudar

Awan ungu memayungi aku yang telanjang

Dibalur harap yang perlahan luntur menjadi anak sungai,

mengalir mengikutimu, entah kemana


Ketika jemari merekah dan kekupu pun terbang

Kukalungkan seuntah bunga lily dihangat matahari

Yang menguapkan segala prasangka, selain pasungan ketulusan


Ketika kuberikan sekeping rindu padamu

Kuberi pula sebutir mimpi

Yang didalamnya aku lelap, pulas

Abadi


Bersamamu, sehelai sepinggang

Seikat cinta, seperca kenangan


Ketika kutitipkan cinta padamu,


Hujan jugakah dihatimu?

{Pekanbaru, 15 Januari 2002}

Cinta termenung membacanya. Puisi itu ditulis tahun 2002. Tahun perpisahannya dengan Rangga. Tahun dimana Rangga berjanji akan menghubungi dan kembali dalam satu purnama setelah kepergiannya. Dan kini, 12 tahun kemudian, ia tahu janji itu gagal dipenuhi Rangga.

Dan kini, ada serunai yang mengisi relung hatinya. Dendangnya lembut mengalun bak sebulir embun jatuh di pagi hari. Membelitnya dalam nelangsa tanpa gulana. Jalinan asa yang terbalut rapat dalam untaian nada sanubari.

Hujan masih menyisakan tetesan terakhirnya. Cinta pergi ke teras. Duduk melamun di hadapan taman, yang bak lirik lagu kanak-kanak, basah semua. Bau tanah basah dihirupnya dengan dahaga. Seakan sudah berabad lamanya tubuhnya tak disentuh kehalusan jemari ilahi. Bak padang pasir mendamba sapa getir dari sang air.

Dalam damai malam yang temaram. Cinta menghanyutkan diri dalam gelimang kenangan. Baluran benaknya menjelajah mengalir mengikuti ruang waktu semesta. Dua belas tahun yang terasa begitu lekat seperti kemarin. Dan beberapa jam lalu yang terasa seperti telah berlangsung selamanya.

Cinta memejamkan mata. Ia memutuskan meraih smartphone-nya. Dilihatnya waktu di layar smartphone-nya, menunjukkan tengah malam lewat beberapa menit. Nama pertama yang terpikir olehnya justru Carmen. Ia mengirimkan SMS singkat kepada sahabatnya itu.

-Carmen, apa kabar lu… Sori baru bales SMS sekarang. Kalo ada apa2, bilang ya…-

Ia lalu mengirimkan SMS kepada Milly dengan hati-hati.

-Milly, gue perlu ngomong sama lu. Kapan ada waktu pas pulang kantor? ASAP ya-

Cinta lantas teringat kepada Maura. Ia ingat sahabatnya itu justru paling tenang karena sudah berkeluarga. Maka, ia pun mengetikkan SMS untuk meminta waktu bertemu juga. Mungkin saja Maura bisa memberikannya saran. Atau, kalau memungkinkan malah jadi penengah antara dia dan Carmen. Cinta tahu, walau belum terungkap ke permukaan, tetapi sejatinya sudah terjadi konflik antara mereka berdua. Dan itu disebabkan oleh hal yang terlihat sepele: rebutan cowok. Maka, Cinta pun mengirimkan SMS kepada Maura.

-Maura sayang… sori gak kontak beberapa hari… Gw mo minta tolong… boleh? Ketemuan ya dlm 1-2 hari ini… Boleh ya? Gw tg kabarnya. Ty-

Cinta menghela nafas. Mengirimkan SMS kepada tiga orang bak mengangkat sekarung beras baginya. Karena ada beban emosional yang menyertainya, maka terasa sekali kalau SMS itu bukan sekedar SMS biasa bagi Cinta.

Sekonyong-konyong, sudut matanya melihat sekelebat ada tikus lewat.

Alangkah enaknya jadi tikus, pikir Cinta. Tidak perlu rumit memikirkan berbagai hal seperti manusia. Eh, tapi, justru gak enak deh, mana ada tikus romantis? Cinta tertawa geli sendiri memikirkan perubahan pikrannya yang sedang kalut itu. Cepat sekali berganti haluan cuma dalam beberapa kerjap.

Cinta menatap kembali layar smartphone-nya. Ia memikirkan satu lagi sahabatnya untuk dikirimi SMS. Ya, satu-satunya yang belum hanya Alya, dan Cinta pun mengetikkan SMS bernada ceria.

-Alya, gw seneng banget hari ini ketemu lu… Cari waktu ngobrol b2 ya dlm bbrp hr ini-

Selesai mengetikkan SMS kepada Alya, suasana hatinya terbawa ceria. Ia tersenyum sendiri. Menghela nafas sebentar, Cinta meramu kata-kata di kepalanya untuk dikirimkan kepada orang berikutnya, kekasihnya saat ini: Borne.

-Borne… terus terang aneh buat gw kita punya status baru begini. But fyi, I really appreciate your treatment to me today. U’re so sweet… Tapi jangan harap gw bakal manggil lu Mas kayak maunya nyokap! He!-

Cinta tak bisa membayangkan apa reaksi Borne saat membaca SMS-nya. Karena dalam satu SMS terdapat nuansa gembira, aneh dan nakal sekaligus. Sambil tersenyum, Cinta bangkit dari duduknya. Tetapi ia lantas teringat satu nama lagi yang hendak dikiriminya SMS: Rangga Ia melihat ke layar smartphone-nya lagi, sudah jam setengah satu malam, dinihari Senin. Berarti di New York jam setengah satu siang, masih hari Minggu tanggal sehari sebelumnya. Dua belas jam mundur.

Ia meneruskan langkah memasuki pintu ke ruang tamu dari teras. Dan di ruang tamu yang kosong, ia kembali duduk. Menggigit bibirnya, Cinta memikirkan beberapa kalimat untuk diketikkannya kepada Rangga. Setelah sekitar lima menit berpikir, Cinta malah mengetikkan SMS yang sangat sederhana.

-Hi Rangga. How’s ur day?-

Sambil mengedikkan bahu seolah ada orang lain di hadapannya, Cinta pun bangkit dari duduknya daan menuju ke kamar. Sebelum digeletakkan di meja riasnya, Cinta mematikan smartphone-nya dan menancapkan kabel catu daya ke sana. Cinta pun menuju ke kamar mandi, hendak mencuci muka dan kaki sebelum bersiap merebahkan diri di tempat tidur. Walau ia sama sekali belum mengantuk dan belum berniat tidur.

*******

[Rumah orangtua Milly. Jakarta Timur.]

Milly mematut-matut wajahnya di hadapan cermin. Bukannya berdandan atau merias diri agar terlihat cantik, tetapi ia malah membuat aneka wajah konyol di sana. Lagipula, saat itu tengah malam. Dan Milly sendirian saja di kamarnya.

Entah kenapa, ia bête. Satu kondisi yang jarang terjadi pada dirinya. Karena selama ini, ia selalu menganggap mudah berbagai hal dalam hidup. Tetapi kali ini, tampaknya ada sesuatu yang besar bakal terjadi di antara dirinya dan para sahabatnya. Tetapi apa, ia tidak tahu.

SMS-nya tadi sore dengan Cinta, ditambah SMS Cinta yang masuk barusan membuatnya gelisah. Belum lagi SMS dari Bowo yang menyatakan kecewa karena tidak bisa bertemu Milly Minggu siang tadi. Memang sejak kemarin Bowo mengajak Milly pergi. Tetapi karena Carmen mendadak meminta bertemu dengannya dan sepertinya mendesak, maka Milly memilih membatalkan janji dengan Bowo. Ia lebih suka menemani sahabatnya yang dirasanya membutuhkan dirinya lebih daripada Bowo yang baru dikenalnya.

Dan pilihan itu tepat. Meski tidak mengatakan dengan jelas, tampak kalau Carmen sedang dilanda masalah hati. Milly tidak bisa menebak siapakah gerangan pria yang telah membuat Carmen yang biasanya tegar itu menjadi seperti rumah pasir tersiram air, merapuh.

Milly menggembungkan pipinya. Mendelikkan matanya. Memeletkan lidahnya. Memainkan jari-jemarinya di wajah. Andaikata cermin bisa berkomunikasi, ia pasti sudah tertawa terbahak-bahak menyaksikan aneka mimik jenaka yang dibuat Milly.

Memang sedari kecil, begitulah cara Milly yang anak bungsu mengusir rasa gelisah yang disebut bête itu. Ia tidak terbiasa bermanja-manja pada kakak-kakaknya. Karena ia malah seringkali jadi bahan ledekan. Akibatnya ia terbiasa memendam masalahnya sendiri.

Begitu pun kali itu. Setelah lelah memainkan wajahnya sendiri, Milly menuju tempat tidur. Ia memasang earphone mendengarkan musik dari MP-4 player, sembari menatapi langit-langit kamarnya yang dihiasi ornamen glow in the dark, memendarkan warna hijau fluorescent. Sekitar setengah jam melamun sendirian, akhirnya lewat setengah satu malam Milly tertidur. Membiarkan masalah yang sama sekali belum bisa dipecahkannya larut dalam gelapnya malam.

*******

(Bersambung dalam beberapa jam...) --> Lanjutan Kisah (Bagian 67)

Catatan Khusus:

Kisah “Ada Asa Dalam Cinta: Episode 1” ini akan segera berakhir... beritahukan teman-teman Anda agar segera turut membacanya di Kompasiana ya… ;)

Segera setelah pemuatan di Kompasiana ini berakhir, akan masuk tahap editing akhir dalam proses pencetakan menjadi buku.

Catatan Tambahan: Karena sempat terjadi kegagalan pengunggahan beberapa kali, maka untuk memenuhi target pemuatan, mulai hari ini Minggu, 1 Februari 2015 hingga Jum’at, 6 Februari 2015 serial novel AADC akan dimuat dua kali sehari.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Cerita bersambung ini dimuat setiap hari di laman penulis http://kompasiana.com/bhayu

Untuk membaca kisah seluruh bagian yang lain, dapat mengklik tautan yang ada dalam daftar di:

Ada Asa Dalam Cinta (Sinopsis  & Tautan Kisah Lengkap)

———————————————————————

Foto: Antono Purnomo / Reader’s Digest Indonesia (Femina Group)

Grafis: Bhayu M.H.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun