(Bagian 70)
[Rumah orangtua Milly. Jakarta Timur.]
Milly bingung dengan keadaan yang belum pernah dihadapinya.
Pacaran.
Mungkin Milly memang tergolong kuper. Tetapi selama itu, ia tak peduli. Selain karena keluarganya tidak mempermasalahkan, Milly masih cukup punya teman. Demikian pula kakak-kakaknya siap menemaninya dalam beragam aktivitas. Bahkan kebersamaan itu terus terasa hingga mereka sudah menikah dan memiliki anak sekali pun. Milly yang menyukai anak-anak malah seperti mendapatkan teman-teman kecil baru. Kesibukannya pun bertambah menjadi seperti tante asuh bagi keponakan-keponakannya. Dan ia dengan senang hati melakukannya.
Tetapi saat ini ia ditambah lagi dengan masalah yang dihadapi dua sahabatnya, Cinta dan Carmen. Duo C itu mengalami “perang dingin” diakibatkan salah satunya dianggap memacari pria yang ditaksir yang lain. Secara mudah, Cinta dianggap memacari pria yang ditaksir Carmen.
Apakah itu salah?
Jawaban dari pertanyaan itulah yang tidak diketahuinya. Karena Milly sama sekali belum pernah berpacaran. Tetapi, kini ia malah seperti pelanduk yang mati di tengah saat dua gajah bertarung. Ia yang sama sekali tidak berpengalaman dalam soal hubungan antar pasangan malah jadi pihak yang dilibatkan dalam “cinta segitiga” Cinta-Borne-Carmen.
Karena itulah dengan paniknya ia mencoba mencari ‘bantuan’ kepada Maura. Pikirannya praktis dan logis. Maura sudah menikah. Tentunya dalam soal ini ia jelas lebih berpengalaman dari mereka semua. Dan di sisi lain, ia malah tidak terlibat sama sekali masalah ini. Jadi, kemungkinan ia bisa lebih netral. Sementara Alya, semua tahu kalau ia paling dekat dengan Cinta dibandingkan yang lain dari mereka berempat. Oleh karena itu, Milly menduga, andaikata terjadi permusuhan antara Cinta dan Carmen, sudah pasti Alya akan memihak Cinta. Dan, Milly bingung. Haruskah ia sendiri memihak Carmen?
Bila itu terjadi, maka geng mereka akan terpecah dua. Cinta dan Alya di satu pihak, sementara Carmen dan Milly di pihak lain. Dan tentunya tinggal tersisa Maura yang diharapkan netral dan jadi penengah. Oleh karena itu, Milly sangat mengharapkan Carmen segera membalas pesan singkatnya tadi siang. Pesan yang dikirimnya segera setelah ia menerima telepon dari Cinta dua kali. Satu kali Cinta sendiri seperti meminta informasi darinya, dan kedua di sore hari malah bersama Alya kedua sahabatnya itu seperti menginterogasinya. Dan Milly dengan polosnya menceritakan semua hal yang diketahuinya tanpa filter. Setelah melakukannya, ia baru sadar kalau Carmen bisa saja marah karena dianggap membocorkan rahasianya. Kepada Milly, Carmen memang mengakui kalau ia menyukai Borne. Dan Carmen menyadari, bahwa ternyata Borne malah mencintai Cinta. Dan besar kemungkinan mereka sudah ‘jadian’ karena ia melihat dengan mata kepala sendiri kedua temannya itu jalan berdua.
Milly makan malam dengan tidak nyaman. Di rumah itu, tinggal ia sendirian yang masih ada bersama orangtuanya. Kakak-kakaknya yang sudah menikah sudah pindah ke rumah sendiri. Dan ia tak mungkin ‘curhat’ kepada orangtuanya. Apakah mungkin Milly bisa menelepon kakak-kakaknya? Atau… Bowo?
Ide itu tiba-tiba saja muncul di benak Milly. Ia merasa kalau Bowo yang seusia kakaknya mungkin bisa membantu memberikan solusi. Milly pun bersemangat dengan ide itu. Ia pun menyegerakan menyelesaikan makan malamnya.
Setelah mencuci piring, Milly menuju ke kamarnya. Ia hendak menelepon Bowo. Seperti biasa, Milly musti mencari-cari dulu di mana ia meletakkan handphone-nya tadi. Karena sepulang kantor, ia ingat mengeluarkannya dari dalam tas kerjanya. Ia tadi sempat bertelepon lagi dengan Carmen. Setelah mencari di meja tidak ada, Milly menemukannya di tempat tidur. Ia mengambilnya dan mengaktifkannya. Ternyata baterainya sudah kosong sehingga ia harus menancapkan kabel pencatu daya. Menunggu beberapa menit, Milly tiduran menatapi langit-langit kamarnya.
Ia membayangkan seperti apakah sebenarnya pacaran itu. ia agak heran dengan kedua sahabatnya. Kalau memang pacaran asyik, kenapa musti bertengkar satu sama lain seperti itu? Ia tidak habis pikir, apa sih bagusnya Borne. Bukankah ia cuma teman SMA belaka? Ia juga heran denganCinta, wanita secantik dia bisa dengan mudah mendapatkan banyak pilihan pria, tapi kenapa harus merebut pria yang ditaksir Carmen? Secara fisik, Carmen pasti kalah kalau dibandingkan dengan Cinta. Di antara mereka berlima, Cinta memang paling cantik dan tubuhnya juga proporsional. Apalagi kini setelah mereka menjadi wanita dewasa. Hanya Alya satu-satunya di antara mereka berempat yang bisa menandingi penampilan fisik Cinta. Dan mereka berdua justru paling dekat satu sama lain. Dengan mengecualikan Maura yang sudah menikah, kalau saja ada pertandingan memperebutkan pria, sudah pasti kelompok Cinta-Alya yang akan menang bila melawan Carmen-Milly.
Sekitar lima menit melamun dan berpikir ngalor-ngidul, Milly pun mengaktifkan telepon genggamnya yang masih terhubung ke pencatu daya. Segera setela menyala, Milly membaca adanya pesan masuk. Ia mengabaikan dua pesan dari teman kantornya dan membuka pesan dari Cinta.
-Milly, please stay with us…-
Milly tidak mengerti esensi pesan Cinta itu. Tetap tinggal bersama kami?
“Memangnya gue mau ke mana?” pikir Milly. “Terus, gue suruh ke rumahnya? Atau gimana sih maunya si Cinta itu? Ah, auk ah, gelap!” Milly malah ber-soliloquy.
Milly meneruskan mencari pesan yang belum terbaca. Ia mendapati ada pesan dari Carmen, tapi pesan itu malah dari sebelum ia menelepon sekitar satu jam lalu. Pesan untuk ingin meneleponnya. Karena tadi Carmen sudah meneleponnya, maka pesan itu tentunya sudah basi.
Pesan berikutnya terbaca dari Maura. Raut wajah Milly seketika gembira. Pesan itu baru masuk sekitar sepuluh menit lalu. Berarti saat ia masih mencuci piring.
-Milly, lu mau ngomong sama gue? Ditelepon dulu bisa? Kalo bisa, ksh tau gue pas lu bisa ditelepon-
Milly pun membalas SMS itu singkat.
-Maura, ditelepon boleh banget. Gue tunggu sekarang ya.-
Setelah membalas pesan Maura, Milly membaca pesan dari teman kantornya yang sekedar berbasa-basi menanyakan kabar. Dan… ternyata ada pesan dari Bowo. Mata Milly berbinar.
-Milly, jam berapa sampe rumah dari kantor biasanya?-
Milly memperhatikan jam kirim pesan itu. Sudah dua jam lalu, saat ia masih di perjalanan pulang. Mungkin Bowo hanya ingin tahu kebiasaannya sehari-hari. Milly pun membalasnya dengan hati riang.
-Mas Bowo, Milly udah di rumah dari sejaman lalu kali…-
Saat selesai mengetikkan pesan, telepon berdering. Nadanya mengagetkan sampai membuat Milly terlonjak karena terkejut dan nyaris melemparkan telepon genggamnya. Untung saja ia sedang berada di tempat tidur, karena telepon genggamnya memang benar-benar terlepas dan jatuh di kasur. Milly buru-buru mengambilnya dan menekan tombol untuk menjawab.
“Halloooo… halloo…. Milly di sini…”
Suara di ujung sana bertanya dengan heran, “Heh! Kenapa lu? Kok kayak buru-buru gitu?”
Milly mengenali suara itu dan nyaris memekik karena gembira, “Maura! Hai-hai! Aduuuh… Gue kaget tadi denger suara telpon, jadi telponnya jatoh deh…”
“Lah, emang tuh telepon lagi lu apain?” Maura heran dengan detail cerita Milly.
“Lagi dipegang… abis SMS Mas Bowo…” jela Milly polos.
“Mas Bowo? Siapa tuh… hayo! Ada yang Milly belum cerita ya?” Maura menggoda Milly yang memang dianggap adik bungsu di antara mereka berlima.
Milly ling-lung, ia memang sering lupa pada banyak hal. Termasuk sudah atau belum bercerita apa kepada siapa. “Eh, emang Maura belom tahu siapa Mas Bowo?”
“Ya belom lah….. Kapan Milly ceritanya coba? Lu cerita ke yang laen kali?”
“Yang laen…?”
“Iya… Cinta… Alya… atau mungkin Carmen?”
Mendengar nama Carmen disebut, Milly lantas teringat pada apa yang hendak diceritakannya kepada Maura. Cepat-cepat Milly menukas agar tidak lupa lagi.
“Carmen. Carmen. Iya Carmen…”
“Tuh kan? Lu cerita sama Carmen… bukan gue…”
“Iya Carmen, gue mau cerita soal Carmen….”
Mendengar kalimat itu, Maura heran, “Lu mau cerita soal Carmen? Maksudnya lu cerita soal Mas Bowo whoever he is itu sama Carmen kali?”
Milly keukeuh dengan ucapannya sebelumnya, “Nggak… gue nggak cerita ke Carmen… Eh, maksudnya, bener, gue emang cerita soal Mas Bowo ke Carmen… Tapi… sekarang gue mau cerita soal Carmen….”
Maura bingung mendengar ucapan Milly yang berantakan itu. Ia pun mencoba menenangkan, “Iya Milly… tenang dulu… gue dengerin deh…”
Tergesa, Milly menukas, “Iya, lu dengerin… soal Carmen…”
“Iya…?”
“Carmen… Carmen… berantem sama Cinta!” akhirnya Milly mempersingkat penjelasan dengan kesimpulan lebih dulu. Itu agar ia tidak lupa karena kalau sudah bicara panjang, Milly seringkali melantur dan keluar dari fokus pembicaraan.
Kali ini, giliran Maura yang terkejut. “Apa? Kenapa? Kok bisa gitu? Giman ceritanya? Kok bisa gue gak tau?”
Milly bingung diberondong dengan pertanyaan oleh Maura. “Maura… Maura…. Milly bingung….”
Barulah Maura tersadar sedang bicara dengan siapa. Sahabatnya Milly memang terindikasi pernah menderita disleksia sewaktu kecil, sehingga fungsi kebahasaannya termasuk pencerapan kalimatnya agak terganggu. Tetapi bukan berarti ia lantas jadi abnormal, karena bahkan Albert Einstein saja diindikasikan pernah menderita penyakit itu sewaktu kecil.
“Milly sayang… Maura… minta maaf… maaf… Milly tenang ya… sayaaang…,” Maura kembali mengendalikan diri. Ia berupaya menenangkan sahabatnya yang jadi bingung karena panik mendengar berondongan pertanyaannya. Maura tahu, ia yang salah dalam hal itu.
“Milly boleh minum dulu ya Maura… Nanti Milly telepon lagi… bye…,” Milly pun menutup telepon. Melemparkan telepon genggamnya ke kasur dan setengah berlari keluar kamar. Ia membuka kulkas dan meraih minuman dalam kemasan botol. Membukanya dan meneguk isinya sambil berdiri dengan pintu kulkas masih terbuka. Ia baru saja terserang panick attack sebagai bagian dari anxiety disorder yang memang dideritanya. Serangan panik sebagai bentuk dari kecemasan Milly bila tiba-tiba menghadapi kondisi atau situasi di luar kendalinya atau mengejutkannya. Bagi orang yang tidak memiliki symptom psikologis tersebut, seringkali keliru menanggapi hal itu dengan melecehkan, karena menganggap penderita sebagai “orang aneh”. Padahal, sama saja dengan penyakit fisik, penyakit psikologis bukanlah sesuatu untuk dihina atau ditertawakan. Karena ia jelas satu “pemberian Tuhan” yang harus diatasi dengan jiwa besar. Dengan kemauan untuk sembuh dan pulih dengan dukungan penuh dari keluarga.
Ibunya yang tengah menyaksikan televisi di samping ayahnya yang sedang membaca majalah melihat tindakan Milly. Ia tahu apa yang terjadi. Dan dengan segera ia pun bangkit dari duduknya dan menuju ke arah kulkas. Milly masih berdiri termangu di depan pintu kulkas yang masih terbuka dan sebotol minuman di tangannya. Matanya menatap nanar dan kosong ke arah dinding. Dengan penuh kasih sayang, ibunya perlahan merengkuh bahu Milly dan memeluknya. Putri bungsunya itu pun balas memeluk ibunya dan di bahu ibunya Milly menitikkan air mata.
“Ibuuu…. Milly bingung…”
Dengan penuh kasih-sayang, ibunya memeluk putri bungsunya yang sudah dewasa itu bak induk ayam melindungi anaknya. Ia hanya memeluk dan menepuk-nepuk punggungnya tanpa berkata apa-apa. Membiarkan perasaan anaknya kembali tenang dan batinnya terlindungi.
(Bersambung…)
Catatan Khusus:
Kisah “Ada Asa Dalam Cinta: Episode 1” ini akan segera berakhir… beritahukan teman-teman Anda agar segera turut membacanya di Kompasiana ya… ;)
Segera setelah pemuatan di Kompasiana ini berakhir, akan masuk tahap penyuntingan (editing) akhir dalam proses pencetakan menjadi buku. Versi buku akan berbeda dalam beberapa detail dibandingkan versi di Kompasiana ini. Karena itu, tetap beli bukunya nanti saat sudah terbit ya :)
Catatan Tambahan: Karena sempat terjadi kegagalan pengunggahan beberapa kali, maka untuk memenuhi target pemuatan, mulai hari ini Minggu, 1 Februari 2015 hingga Jum’at, 6 Februari 2015 serial novel AADC akan dimuat dua kali sehari.
———————————————————————————————————————-
Cerita bersambung ini dimuat setiap hari di laman penulis http://kompasiana.com/bhayu
Untuk membaca kisah seluruh bagian yang lain, dapat mengklik tautan yang ada dalam daftar di:
Ada Asa Dalam Cinta (Sinopsis & Tautan Kisah Lengkap)
———————————————————————
Foto: Antono Purnomo / Reader’s Digest Indonesia (Femina Group)
Grafis: Bhayu M.H.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H