Mohon tunggu...
Bhaswara Rahmadani
Bhaswara Rahmadani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Halo saya Bhaswara Rahmadani atau akrab disapa "bhas",saya mahasiswa UIN Jakarta jurusan pendidikan Bahasa Inggris.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pengaruh Kepercayaan Publik terhadap Pemerintah dalam Terwujudnya Demokrasi

9 Desember 2022   14:30 Diperbarui: 9 Desember 2022   14:37 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Konsep demokrasi secara sederhana adalah menempatkan rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Berdasarkan KBBI, demokrasi adalah bentuk atau sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya; pemerintahan dan rakyat. Jika ditinjau penafsiran demokrasi dari para ahli, Abraham Lincoln mendefinisikan demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut sistem demokrasi. Pelaksanaan demokrasi di Indonesia secara langsung dilaksanakan melalui pemilihan umum. Pada saat ini kita sudah melalui banyak periode sehingga sekarang sudah dalam masa periode "reformasi". Selama kurun waktu 55 tahun berjalan, masalah pokok demokrasi yang di hadapi bangsa Indonesia yaitu bagaimanakah kita dapat menemukan jawaban dari "apakah demokrasi sudah terwujud di Indonesia?". 

Dalam berusaha dalam mewujudkan demokrasi, tentu saja pemerintah dan rakyat berperan penting dalam menyelenggarakan demokrasi. Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah adalah salah satu indikator dalam demokrasi. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dipengaruhi oleh bagaimana sikap pemerintah terhadap masyarakat. Namun, belakangan ini perilaku pemerintah membuat masyarakat menurun kepercayaannya. Begitu banyak terjadinya korupsi, kemiskinan, hingga berbagai kasus-kasus yang disebabkan oleh alat-alat negara yang belakangan ini menjadi topik hangat.

Kepercayaan publik kembali menurun saat ini. Munculnya isu hangat yang sering dibahas saat ini yaitu Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang sudah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam Rapat Paripurna ke-11 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2022-2023. Dalam draft terbaru RKUHP versi 30 November 2022, terdapat pasal-pasal bermasalah yang bertentangan dengan demokrasi,

pasal bermasalah seperti pasal pidana mati, dan penyebaran marxisme dan leninisme, serta paham yang bertentangan dengan Pancasila, maupun tindak pidana terkait agama. Pasal-pasal ini merupakan pasal yang dianggapnya bertentangan dengan demokrasi. Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhamad Isnur menerangkan bahwa isi RKUHP terkait pidana mati ini bertentangan dengan konstitusi, yakni Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28I dan 28J. Menurut Isnur, adanya pertentangan dalam aturan ini menunjukkan adanya ketidakkonsistenan. Padahal, aturan yang ada seharusnya bisa sejalan dan tidak saling bertentangan.

Menurut saya, pemerintah seharusnya meninjau lebih lanjut pasal-pasal yang bermasalah yang tentu saja bertentangan dengan demokrasi. Contoh lainnnya ada di pasal 240 tentang Penghinaan pemerintah dan Lembaga Negara. Urgensi pemerintah dalam merumuskan pasal tersbut harus  dipertanyakan, karena pasal tersebut bukan hanya untuk melindungi institusi, namun ada orang yang mungkin akan memanfaatkan pasal tersebut untuk kebutuhan pribadi. 

Pasal 256 RKUHP tentang larangan unjuk rasa tanpa pemberitahuan yang mengakibatkan terganggunya pelayanan publik dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak Rp 10 juta. Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Arif Maulana mengatakan "Pasal ini jauh lebih kolonial dari hukum buatan kolonial, asal pasal ini dari Pasal 510 KUHP yang ancaman pidananya hanya pidana penjara 2 minggu, sedangkan dalam Pasal 256 RKUHP menjadi 6 bulan pidana penjara,"

"RUU KUHP merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menyusun suatu sistem rekodifikasi hukum pidana nasional yang bertujuan untuk menggantikan KUHP lama sebagai produk hukum pemerintahan zaman kolonial Hindia Belanda" ujar Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharif Hiariej. Jika tujuan dari RKUHP itu adalah dekolonialisasi, tujuan pemerintah merumuskan pasal 256 KUHP perlu dipertanyakan. 

Mengacu pada permasalahan di atas. Kita sebagai rakyat tentu harus lebih memperhatikan kinerja-kinerja pemerintah serta tetap memberi kritik dan masukan kepada pemerintah. Dalam hal RKUHP, kita bisa terus mendampingi dan memperhatikan terus permasalahan ini. RKUHP punya masa transisi 3 tahun sebelum dapat digunakan. Oleh karena itu, kita dapat merubah dan mengawasi sebelum dapat digunakan. 

Diharapkan wujudnya demokrasi dapat terlaksana secara menyeluruh di Indonesia. Peran rakyat dan pemerintah saling berkaitan satu sama lain. Banyak yang masih perlu dilakukan pemerintah dan rakyat untuk Bersama-sama mewujudkan demokrasi. Pemerintah bisa mulai meningkatkan Kembali kepercayaan publik serta membenahi permasalahan-permasalahan. Rakyat juga harus tetapn mengawasi pemerintah dalam menjalankan bangsan ini melalui banyak cara seperti, mengawasi dan memberi masukan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun