Mohon tunggu...
sebastian waru
sebastian waru Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ramadan, Moment Refleksi dan Intropeksi Diri

22 Juni 2017   19:36 Diperbarui: 23 Juni 2017   11:11 576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

                                                                                                     

         Bulan suci Ramadhan kian mencapai puncak. Tibalah waktunya bagi umat muslim untuk merayakan hari kemenangan setelah Tiga Puluh hari menjalani puasa sebagai bentuk persiapan menyongsong puncak dari bulan suci ini. Sejuta harapan pun bergentayangan di langit. Harapan pribadi, komunitas, maupun bangsa dan negara. 

         Baik dari umat muslim itu sendiri maupun yang non-muslim, dengan harapan sang Khalik mengabulkan segala harapan yang diujudkan.  Fakta diataslah yang membuat wajah Indonesia begitu disegani negara-negara di dunia. Di tengah situasi bangsa yang mengalami disintegritas akibat  berbagai persoalan yang muncul belakangan, tidak membuat masyarakat Indonesia larut dan akhirnya mengabaikan keindahan bulan suci ramadhan. Seperti tahun-tahun sebelumnya dimana bulan suci ramadahan ini merupakan kesempatan bagi masyarakat Indonesia untuk melakukan intropeksi diri, membangun kembali kesadaran berbangsa yang sempat vakum dari pikiran dan kembali ke jalan yang benar. Maka, harapan yang sama pun tentu menjadi kerinduan bersama bagi segenap masyarakat Indonesia (bukan hanya umat Islam) di bulan suci ramadhan ini.

Membangun Kesadaran Berbangsa.

          Melihat dinamika bangsa belakangan, tidaklah heran ketika ratusan juta masyarakat Indonesia menjadikan bulan suci ramadhan kali ini sebagai moment yang tepat bagi kita semua (bukan hanya umat Islam) untuk mengintropeksi diri, merefleksikan segala dosa dan kesalahan kita baik terhadap sesama, kelompok, bangsa dan negara maupun terhadap Sang Empunya dunia. Pada poin ini saya lebih menekankan kondisi kebangsaan kita yang keutuhanya perlahan melebur layaknya kristal dan membutuhkan magnet untuk kembali menarik empati dan simpati guna membangunkan kembali komitmen, dan amnesia yang melanda bangsa kita belakangan. 

Fakta membuktikan, hampir Dua tahun belakangan kondisi kemajemukan bangsa kita mengalami ujian yang luar biasa sulit. Pasang surut kenyamanan yang diakibatkan oleh wacana yang bervariatif  membuat bangsa ini hampir letih. Isu Separatisme di Papua, melonjaknya harga BBM, PKI, dan penistaan agama yang mengakibatkan demonstrasi diberbagai daerah di Indonesia muncul yang  menyebabkan keamanan negara terganggu, serta tercorengnya integritas bangsa ini dimata dunia.

         Berpatokan pada sebab-akibat diatas, maka perbaharui diri, pertobatan melalui intropeksi dan refleksi merupakan konsekuensi logis yang diharapkan oleh bangsa ini di moment ramadhan tahun ini, agar kesadaran berbangsa kembali terbangun atau terwujud. Merekonstruksi pikiran yang sempat menyimpang dan rekonsiliasi personal terhadap sesama, bangsa, maupun sang Khalik perlu di lakukan dengan jujur dan khuzuk. Ungkapan mohon maaf lahir dan batin tidak hanya dijadikan sebagai slogan semata atau ekstrimnya jangan sampai kalimat ini dipolitisasikan agar kita tergesan religius di mata publik (khusus elite politik).

         Untuk membangun kesadaran berbangsa, perlu diawali dari kesadaran personal (diri sendiri). Intropeksi diri pun menjadi tanggung jawab moral pribadi setiap warga negara agar kesadaran berbangsa terbangun kembali.  Paradigma kita terhadap pluralitas perlu diperbaharui agar kita lebih paham substansi dari pluralitas yang sesungguhnya.

Ramadan dan Keutuhan NKRI

         Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi topik hangat disetiap diskusi, talkshow dan seminar nasional belakangan. Suatu kewajaran jika masalah ini menjadi Tranding Topic sebab "keutuhan " merupakan sasaran empuk bagi oknum-oknum yang menginginkan perpecahan (separatis) untuk di hancurkan  selain "sosok" tertentu. Kendalanya ialah masyarakat tidak mampu menganalisis persoalan ini sehingga menimbulkan ketidakyakinan terhadap bangsa kita sendiri.

          Optimisme serta pesimisme ialah diksi yang tepat untuk menafsirkan raut wajah seluruh tatanan masyarakat negeri ini. Di satu sisi rasa optimisme akan keutuhan NKRI tidak dapat dipecabelahkan oleh apa dan siapa pun, namun disisi lain tak bisa dipungkiri, tidak sedikit masyarakat Indonesia yang merasa pesimis dengan keutuhan bangsa kita. Melihat berbagai persoalan yang terjadi belakangan membuat masyarakat yang pesimis tersebut meyakini suatu ketika bangsa ini bernasib sama seperti Uni soviet. 

          Namun bagi masyarakat yang tetap optimis, berpendapat bahwasannya bangsa kita terbentuk setelah melewati berbagai banyak persoalan yang rumit dan sulit, tumpahan darah yang banyak, namun pada akhirnya kita  tetap mampu keluar dan memperoleh kemerdekaan. Dalam perjalannanya yang begitu panjang pun bangsa kita mengalami persoalan yang serius meskipun kita telah menikmati kemerdekaan. Kembali lagi melalui kita semua (rakyat) kita mampu keluar dari dua rezim yang berbeda gaya. Fakta sejarah inilah yang membuat masyarakat yang optimis meyakini keutuhan NKRI tidak dapat digoyahkan.

          Dua keyakinan di atas merupakan persoalan yang serius dan menjadi tantangan tersendiri bagi kita semua. Memulihkan keyakinan bukanlah pekerjaan yang mudah. Butuh kerja keras dari semua komponen bangsa untuk meyakinkan mereka yang tidak yakin dengan bangsanya sendiri. Oleh sebab itu, moment ramadhan kali ini penting bagi kita semua, untuk mulai membenah diri, berintrospeksi untuk kembali ke jalan yang benar.  

           Setelahnya, mari kita bahu membahu membangkitkan rasa optimisme mereka yang pesimis terhadap keutuhan bangsa ini. Membangun kembali kesadaran berbangsa dan bernegara tanpa ragu sedikit pun yang tersisa di ruang imajinasi dengan cara membangun dialog sehingga bisa menciptakan kepercayaan (trust) satu sama lain sesama anak bangsa tanpa membeda-bedakan.

Bastian Waru, Mahasiswa SI Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UNIPA Surabaya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun