Mohon tunggu...
Bhaskoro Yunanto
Bhaskoro Yunanto Mohon Tunggu... Mahasiswa - hukum pidana

fakta realita

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Dapat Terjerat Pidanakah Anak yang Melakukan Pencabulan?

17 Maret 2022   17:30 Diperbarui: 17 Maret 2022   18:14 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh : Bhaskoro Yunanto ( MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG SEMARANG )

Dosen   : Dr. Ira Alia Maerani, S.H., M.H.

DAPAT TERJERAT PIDANAKAH ANAK YANG MELAKUKAN PENCABULAN

Ada anak laki-laki serta wanita masih di bawah 18 tahun melakukan korelasi suami istri. Perbuatan dilakukan sebab si laki-laki merayu si perempuan , keduanya melakukannya secara senang sama senang. namun, ada orang lain yang melaporkan peristiwa ini.

Pertanyaan;

  • Kasus ini pada kategori masalah pelecehan atau pencabulan?
  • Ancaman dari perbuatan tersebut pada pasal berapa?

Perbuatan Cabul Terhadap Anak

Sebelumnya, kami sampaikan bahwa ke 2 laki-laki serta perempuan tersebut masih digolongkan menjadi anak berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 perihal perlindungan Anak ("UU proteksi Anak") sebagaimana yang sudah diubah oleh Undang-Undang nomor 35 tahun 2014 perihal Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang proteksi Anak("UU 35/2014") dan diubah ke 2 kalinya dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 wacana Perubahan kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 wacana perlindungan Anak ("Perpu 1/2016") sebagaimana yg sudah ditetapkan sebagai undang-undang menggunakan Undang-Undang angka 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 perihal Perubahan kedua Atas Undang-Undang angka 23 Tahun 2002 perihal perlindungan Anak sebagai Undang-Undang ("UU 17/2016"). Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih pada kandungan.

Sebagaimana pernah dijelaskan pada artikel yang berjudul Jerat Hukum dan Pembuktian Pelecehan Seksual, Ratna Batara Munti dalam artikel berjudul "Kekerasan Seksual: Mitos dan Realitas"menyatakan diantaranya pada pada kitab Undang-Undang aturan Pidana tidak dikenal istilah pelecehan seksual. kitab undang-undang hukum pidana, menurutnya, hanya mengenal kata perbuatan cabul, yakni diatur dalam Pasal 289 hingga dengan Pasal 296 KUHP. Mengutip kitab "KUHP serta Komentar-komentarnya" karya R. Soesilo (hal. 212), Ratna menyatakan bahwa istilah perbuatan cabul dijelaskan menjadi perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan, atau perbuatan lain yang keji, serta semuanya pada lingkungan nafsu berahi kelamin. contohnya, cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, serta sebagainya; termasuk jua persetubuhan namun pada undang-undang disebutkan sendiri.

Menurut Ratna, pada pengertian itu berarti, segala perbuatan bila itu sudah dianggap melanggar kesopanan/kesusilaan, bisa dimasukkan sebagai perbuatan cabul. Sementara itu, kata pemerkosaan mengacu pada sexual harassment diartikan sebagai unwelcome attention (Martin Eskenazi and David Gallen, 1992) atau secara aturan didefinisikan sebagai "imposition of unwelcome sexual demands or creation of sexually offensive environments".

Bila memang perbuatan yg dilakukan oleh anak laki-laki serta perempuan itu berupa perbuatan cabul yg diawali menggunakan rayuan terlebih dahulu, maka perbuatan tadi melanggar Pasal 76E UU 35/2014 yg menyatakan:

Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.

Hukuman atas perbuatan tersebut diatur dalam Pasal 82 Perpu 1/2016 sebagai berikut:

  • Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
  •  Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
  • Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E.
  • Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
  • Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku.
  • Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (4) dapat dikenai tindakan berupa rehabilitasi dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.
  • Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diputuskan bersama-sama dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan.
  • Pidana tambahan dikecualikan bagi pelaku Anak.

             Anak yg Melakukan Pencabulan tidak bisa Dipidana tetapi karena yang melakukan perbuatan cabul tadi masih anak (masih pada bawah 18 tahun), maka ia tak bisa dipidana, hal yang sama jua pernah dijelaskan pada artikel  Hukumnya Bagi Anak yang Mencabuli Balita. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak ("UU 11/2012"), mempunyai prinsip yaitu menjauhkan anak dari penjara. Tindak pidana yang dilakukan oleh anak tak bisa disamakan layaknya tindak pidana yg dilakukan oleh orang dewasa. Pendekatan restorative justice wajib dikedepankan, yaitu sebagaimana diklaim pada Pasal 1 angka 6 UU 11/2012:

Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.

             Inti berasal keadilan restoratif adalah penyembuhan, pembelajaran moral, partisipasi dan perhatian rakyat, rasa memaafkan, tanggungjawab dan membuat perubahan yang seluruh itu ialah panduan bagi proses restorasi dalam perpektif keadilan restoratif. penerangan lebih lanjut perihal pendekatan ini dapat Anda simak Restorative Justice Lebih Adil Buat Anak dan Mengenal Konsep Diversi dalam Pengadilan Pidana Anak.

Lebih lanjut tentang hal ini berdasarkan Pasal 21 ayat (1) UU 11/2012 diatur seperti berikut:

Dalam hal Anak belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil keputusan untuk:

menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun