Mohon tunggu...
Bhanu Bhadrika
Bhanu Bhadrika Mohon Tunggu... -

Mencintai trotoar jalanan, lampu merah, pedagang kaki lima dan gunung.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketegangan Soegija

18 Juni 2012   14:15 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:49 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa yang bisa saya ambil setelah saya melihat film Soegija ? film ini, sulit dimengerti. Tidak seperti film film bioskop yang digambarkan secara gamblang dan mudah ditebak jalan ceritanya, film Soegija ini saya rasa cukup sulit ditebak, dengan jalan cerita yang melompat ke sana sini. Lebih jauh dari itu, saya merasa tertipu melihat judul ‘Soegija’ di dalam film ini, melihat sedikitnya proporsi tokoh Mgr. Soegijapranata sebagai uskup pribumi pertama di Indonesia, di dalam film dengan judul ‘Soegija’ sendiri.

Dalam rasa sedikit kecewa …‘wah kok koyo ngene film e’ (lhaa, kok seperti ini filmnya)… saya dikagetkan dengan pengalaman yang saya dapatkan setelah menyelesaikan film ini. Saya merasa tidak dibiarkan sedikitpun mengalami peristiwa klimaks, entah itu tentang perjuangan bangsa, tentang kesedihan, tentang kesetiaan bahkan tentang cinta. Semuanya mengantung (seperti disengaja), dengan lihai Garin Nugoho bisa mematahkan imajinasi penonton yang mulai klimaks terhadap suatu scene dan alur cerita, sebelum penonton bisa memaknai suatu alur cerita, scene sudah melompat ke alur cerita yang lain, sehingga sebagai penonton saya dibuat semakin frustasi, karena kegagalan saya memaknai suatu scene.

Menurut saya, film ini jika diibaratkan lukisan, maka yang paling cocok adalah lukisan Affandi. Dengan corak yang abstrak sekilas terlihat tidak terkonsep, awut awutan, namun ada atmosfer yang berhasil digarapnya, dibangun sebagai sebuah makna yang melampaui permainan warna warna di kanvas film, makna yang melampaui keterbacaan teks, di Jawa bisa disebut dengan ‘sasmita’ atau ‘sanepa’ makna yang secara gamblang tidak mudah ditemukan, kecuali dengan ketajaman logika dan batin. Atmosfer yang dibangun adalah rasa Frustasi itu sendiri, pengalaman pengalaman yang tegang yang benar benar menggambarkan perjuangan Mgr. Soegijapranata dalam kurun waktu 1942 – 1955 , masa peralihan Indonesia, masa masa yang menegangkan.

Kita diajak memahami, bahwa ada kalanya tiba sebuah situasi, yang begitu padat, begitu sibuk, sehingga serasa kita tidak diberi ruang untuk sekedar memaknai. Kita tidak bisa mengambil sedikit ruang kosong, dengan kemudian duduk tenang, santai lalu ber-refleksi dan menggali nilai dari segala yang kita lakukan. Namun dipaksa oleh keadaan, untuk terus bergerak, terus berkarya, ditengah beban ribuan pertanyaan dan kehampaan nilai nilai. Di jaman perjuangan yang dilakukan oleh Mgr. Soegijapranata, sebagai uskup pertama Indonesia yang secara langsung menghadapi Kolonialisme Belanda, kemudian datangnya Jepang yang mencoba membuat benteng Asia Timur Raya, Agressi militer Belanda 1, berdirinya Republik Indonesia yang masih sangat sangat muda, pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Vatican, dan perannya dalam menyiapkan berbagai fasilitas kesehatan, keagamaan, dan logistic para pengungsi perang, gerilyawan. Sungguh sebuah jaman dengan permasalahan dan penderitaan yang memacetkan pikiran dan memanaskan hati. Jaman yang begitu frutasi. Kekacauan datang berpindah pindah dengan begitu cepat, situasi tidak jelas mengarah kemana.

Ada patah hati, ada cinta, ada tangis, ada desingan peluru, ada misi kemanusiaan, ada politik, segalanya itu menjadi scene scene di dalam alur cerita yang berputar putar, mengitari sosok Mgr. Soegijapranata. Sosok yang di dalam film dengan judul namanya sendiri, justru tidak diberikan 80% porsi shoot kamera ke jalan ceritanya sendiri. Mungkin hanya 30% sosok Romo Kanjeng Soegija di shoot oleh kamera. Tidak ada dominasi tokoh di film ini. Semuanya memiliki prosentasenya yang unik, berimbang secara unik, yang justru dari situ timbul atmosfer yang lain. Bahwasanya film ini, tidak memajang tokoh “Soegija” di showroom dengan tagline “Inilah salah satu pahlawan besar Indonesia !” . Film ini memberikan kita ketegangan – ketegangan yang sama dengan jaman perjuangan yang dilalui Romo Kanjeng Soegija. Permasalahan yang berjibun, dan bagaiman frustasinya di jaman itu. Tidak ada kepuasan, semua anti klimaks, digantung, sampai pada puncaknya seperti yang Beliau katakan kepada koster pribadinya, “ada kalanya kita tidak bisa melakukan apapun lagi …. Dan membiarkan semuanya terjadi…”

Garin Nugroho, sebaga sutradara seperti sengaja membuat tokoh Soegija, tidak dapat ditemukan di dalam film ini. Tidak semudah itu. Karena kita tidak mendapatkan sosok, tapi diberikan atmosfer dan semangat yang melingkupi sosok itu. Justru dari situ kita bisa belajar, karena tidak ada sosok pahlawan yang menyilaukan mata kita.

Dan nyatanya, kefrustasian jaman Soegija itu, sangat dekat dan sangat ditemui di jaman globalisasi sekarang ini. Artinya kita ditantang, mampukah kita, aku dan kamu.. menemukan sosok Soegija di dalam diri kita sendiri ? ditengah kehidupan dan kefrustasian jaman ini ?

Yang menjadi subjek, justru penonton. Bukan Romo Kanjeng Soegijaprata.

Justru semangat kemanusiaan yang utama, buka siapa pahlawannya.



@BanuSangBadrika

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun