Apa tolak ukur yang kita berikan terhadap komunitas Indonesia di luar negri dalam upaya mereka mengusung budaya bangsanya, menjadi duta bagi budayanya, menjadi penggerak sosial-ekonomi bagi komunitasnya, menjadi perekat bagi kelompoknya, dan menjadi jembatan bilateral bagi negara kelahirannya?Â
Jauh di tahun-tahun sebelumnya dalam kurun 25 tahun terakhir, berbagai diskusi tentang festival Indonesia sering menitikberatkan keragaman kulinari Indonesia, berbagai peragaan budaya, dan tari-tarian. Namun, tiap tahunnya berbagai festival Indonesia sering mencari tema-tema pembeda. Tahun ini pembeda itu adalah tema "Indonesia the Islands Country" atau dalam bahasa Indonesia disebut "Negara Kepulauan".
Tema "Negara Kepulauan" di tahun ini tidak hanya menjadi pembeda, melainkan menjadi milestones yang mana masyarakat Indonesia di USA, yang mencoba menjadi duta budaya Indonesia bagi sekitarnya, mulai mengusung "kesetaraan budaya bagi setiap pulau" sehingga kekaguman masyarakat internasional tidak lagi harus terpaku pada budaya satu Pulau Dewata, yang telah menjadi perhatian dunia internasional sejak zaman kolonial Belanda.Â
Berbagai budaya kepulauan dijadikan persembahan, mulai tarian yang umum seperti adat jawa-Sunda, Sumatera-Aceh, namun yang paling menarik adalah kehadiran tari-tarian Papua dan Sulawesi Tengah, Poso.
Hal ini menarik sehingga persembahan Indonesia ke dunia internasional menjadi komplit, Papua tak hanya mempersembahkan hasil bumi tembaga dan emasnya, tetapi juga dunia internasional harus belajar mengenal siapa orang Papua dan bagaimana budaya mereka. Begitu pula untuk Sulawesi tengah, diharapkan dunia internasional tidak hanya menikmati tambang Nickel Morowali, tapi juga mulai mengenal dan mempelajari budayanya.Â
Dalam keramaian pengunjung yang berdesak-desakan dan hilir-mudik di antara stand-booth tenda makanan, hiruk-pikuk sorak penari Papua dan alunan berbagai lagu tradisional Indonesia yang mewarnai suasana Downtown Philadelphia, tepatnya di muka gedung institusi dan akademi seni Fleisher art Memorial, yang telah berdiri sejak 1898.Â
Timbul pertanyaan yang amat sangat sederhana, mengapa tak ada satu pun logo ataupun spanduk sponsor dari brand ternama Indonesia ,baik yang telah meraup keuntungan besar di Philadelphia maupun brand yang menjadi simbol kebanggaan bangsa, seperti Indofood, Sampoerna, Sosro, Mustika Ratu, Sido Muncul, BCA, BNI, XL, Telkomsel, Bakrie, Ultramilk, Gramedia, dan Mayora.Â
Lantas layakkah kita bersuka ria di depan kemegahan panggung, yang kita khawatirkan terwujud oleh upaya mandiri para seniman budaya ini, atau mereka-mereka yang datang dari berbagai penjuru kota dan negara dengan dana pribadi, bermodalkan tekad ingin menjadi duta dunia bagi budayanya? Layakkah kita berbangga hati dan bergembira di atas jerih payah rekan-rekan seniman, mereka harus banting tulang dan peras otak untuk menjunjung budayanya?
Di sisi lain, di berbagai diskusi masa depan Indonesia 100 tahun menuju 2045, para podcaster politik sibuk melukiskan terdapat beberapa faktor yang akan menghantar Indonesia menjadi negara terbesar secara ekonomi nomor empat di dunia, dan faktor tersebut sering ditujukan pada kehebatan diaspora Indonesia, dengan istilah bagai pembalap ulung Formula 1.Â
Diaspora sudah terbiasa menghadapi dan ahli tikungan tajam, belum lagi harapan Prsiden Jokowi agar penerima beasiswa LPDP lekas pulang hingga kita bisa ikut berharap akan terlahir "The Next Habibie" di antara para pelajar Indonesia atau negotiator dan diplomat ulung yang akan menghantarkan Indonesia ke "globalisasi-meja bundar" yang setara antarnegara.Â
Di semua podcast atau seminar, baik itu versi Arsjad Rasjid, Arcandra Tahar, atau Dino Patijalal, seolah-olah diaspora dilukiskan sebagai elemen bangsa yang super seksi, yang akan memikat hati pemilih dan menopang cita-cita pembangunan 100 tahun Indonesia. Namun, semua jargon-jargon politik indah tentang diaspora tidak akan bermakna apa-apa jika tidak ada seorang pun diplomat, politisi, ekonom, maupun negarawan yang mencoba memahami aspirasi dan kondisi diaspora itu sendiri.
Ketika masyarakat diaspora Philadelphia menanyakan keberadaan mereka terhadap konsulat mereka, contoh jawaban mantan Konsulat Jendral New York Bapak Arifi Saiman, melukiskan permasalahan diaspora Philadelphia dalam perspektif beliau adalah permasalahan "over stay" yang berujung pada berbagai masalah perlindungan hukum imigrasi dan tunjangan kesehatan. Sedkit berbeda dari pandahulunya, sore tadi Bapak Winanto Adi Selaku Konsulat Jenderal NY menggantikan Bapak Arifi menegaskan bahwa banyak permasalahan masyarakat mayoritas berkaitan masalah aduan dan perdata.Â
Namun, kedua jawaban tersebut mungkin bukanlah kondisi kekinian masyarakat Philadelphia yang sebagian besar telah bermukim lebih dari 20 tahun, membangun masyarakatnya dan mendirikan berbagai rumah ibadat Indonesia dan bisnis-bisnis sebagai upaya berasimilasi dengan warga lokal. Hal yang perlu dicermati dan menjadi perhatian bagi duta official dari Deplu adalah telah lahirnya berbagai kelompok masyarakat yang tiap dari mereka berusaha maksimal untuk menjadi duta budaya bagi bangsanya.Â
Dan 25 tahun kemudian ketika pemerintah lokal Philadelphia telah memberikan berbagai kemudahan kerja sama budaya, semestiya ada akselarasi upaya seimbang dari kita untuk membangun kerja sama antarpemerintah, dimulai tingkat seni dan budaya. Untuk akademi seni semacam Fleisher Art, perlu juga ada kerja sama pendidikan di luar kerja sama seni dan budaya sehingga akan terlahir percepatan dalam membangun komunitas Indonesia Global yang diharapkan menjadi "the X-factor" percepatan pembangunan 100 tahun Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H