Mohon tunggu...
Bacho HR
Bacho HR Mohon Tunggu... Administrasi - Pembina KNPI-USA

mantan bagian penggandaan, distribusi dan penulis agitasi-propaganda Famred 98'

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Malin Kundang dan Dwi Kewarganegaraan

4 Juli 2023   06:52 Diperbarui: 4 Juli 2023   06:55 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

4th of July merupakan perayaan hari kemerdekaan di Amerika Serikat, peringatan hari penanda tanganan deklarasi kemerdekaan 1776 dari pemerintahan kerajaan inggris. 247 tahun kemudian hari independence day di rayakan cukup meriah, pesta kembang api menjadi simbol perayaan, dan di berapa kota-kota di rayakan meriah dengan konser-konser akbar di hadiri banyak pemusik terkenal. Hampir semua lapisan masyarakat mengambil hari libur, dan mengadakan pesta barbeque, baik untuk keluarga, teman kerja atau di lingkungan masyarakat. Mendadak semua laki-laki dewasa, menjadi chef barbeque of the day, berkomentar tentang daging, bumbu, atau kompor bakar, arang, dan minuman yang pas untuk menemani daging bakar.

Biasanya di berbagai kota, peringatan 4th of July di awali dengan Parade, yang menampilkan marching band, pawai militer, dan beberapa pimpinan politisi wilayah melakukan parade keliling kota, untuk kembali menyemangati patriotism, nasionalisme, dan refleksi akan perjuangan para leluhur dalam menggapai kemerdekaan, hampir seluruh wilayah penuh dengan bendera, dan simbol-simbol nasionalisme dan patriotism, dan masyarakat mengenakan busana dan assesoris yang mendukung simbol-simbol Negara.

Para pendiri bangsa Amerika dengan seksama mencoba menjadikan hari kemerdekaan nya tidak hanya menjadi alat pemersatu bangsa, tapi juga sebagai contoh buat dunia dan pendidikan kebangsaan bagi para penduduk immigrant di Amerika Serikat. Melukiskan perjuangan yang tak terhenti hingga terciptanya masyarakat yang bebas, damai, adil dan makmur. 50 juta masyarakat immigrant di AS, di suguhi sebuah refleksi kebangsaan, tentang apa kontribusi yang sudah anda berikan untuk AS sebagai immigrant atau apa yang AS sudah berikan untuk anda sebagai immigrant, apakah nilai-nilai kebebasan dan demokrasi AS juga merupakan aspirasi kita bersama dan akankah para immigrant bergabung dengan nasionalisme & patriotism AS, dan menjadikan AS sebagai tempat tinggal permanent dan tanah tumpah darah mereka.

Dari 50 juta-an populasi immigrant di AS, setiap tahun nya sekitar rata-rata 600-800ribu orang mendapatkan kewarga-negaraan AS selama 20 tahun terakhir. Mereka yang telah menjadi warga Negara AS, tetap menjaga identitas kebangsaan mereka, dan timbulah istilah double identitas kebangsaan, seperti: Italian- American, Irish-American, Cuban-American, Mexican- American, Chinese-American, Korean-American, Arab-American, Russian-American, termasuk juga istilah INDONESIAN-AMERICAN.

Menurut data yang tertulis di Year book of Immigration statistic di AS, angka warga Negara Indonesia yang menjadi warga Negara AS setiap taunnya ada di angka kisaran 1359-2190 orang selama 20 tahun terakhir. Sementara kelompok immigrant dari Negara lain ada di angka puluhan ribu, menurut data terakhir yang di himpun contoh Negara

Mexico
113,200 orang

India
56,800 orang

Philippines
48,200 orang

Cuba
47,600 orang

China
56.300 orang

Semakin berkembang pesat nya metropolis city seperti NYC dan LA, membuat trend jalur perpindahan penduduk global mayoritas mengarah ke dua kota ini, banyak lapangan pekerjaan dengan skill- skill khusus di bidang financial, technology dan entertainment di ikuti kebebasan berekspresi dan kebebasan politik, membuat kota-kota metropolis ini menjadi final destination bagi skill-worker yang berefek pada brain drained di Negara-negara asal.

Fenomena brain drain, dimana semua orang-orang yang cerdik pandai di serap oleh kota-kota metropolis besar dan di berikan imbalan dan tunjangan hidup diatas rata-rata, merupakan masalah kompleks global yang masih sulit untuk di pecahkan, dan untuk mengurut akar permasalahan nya pun juga sulit, apakah permasalahan nya ada di nasionalisme para pekerja asing, atau permasalahan ada di Negara kelahiran pekerja asing karena tidak tercipta infra- struktur yang sehat untuk mengembangkan kemampuan dan prestasi-nya, atau iklim politik yang penuh konflik dan perpecahan, atau system ekonomi yang tidak ada apresiasi terhadap kelompok skill worker tersebut, atau sekedar terlampau, terbelakang secara teknologi.

Lantas dalam situasi yang kompleks ini, ketika genderang marching band menggemuruhi pesta, dan letupan kembang api memenuhi angkasa, sorak-sorai gembira masyarakat dengan bendera dan umbul-umbul memeriahkan suasana, dan para pekerja immigrant di paksa untuk berefleksi tentang arti perbedaan antara tanah air dan tanah kelahiran, refleksi tentang sumbangsih kita terhadap bumi yang kita pijak dan sumbangsih kebijakan Negara timpat tinggal kita terhadap kelangsungan hidup kita. Dan sebagian mereka telah berasimilasi dengan warga local, dan memiliki istri dan anak-anak kelahiran negri sebrang, dan mereka di hantui pertanyaan, "where is home, is it here or there or both".

Sebagian memilih untuk berpindah kewarga negaraan dan di hantui rasa bersalah, sebagian tetap menjaga kewarga negaraan dan di ikuti rasa menyesal, dan sebagaian sudah meninggalkan tanah air terlalu lama sudah terlalu bingung untuk mencerna makna rasa bersalah atau penyesalan.

Buat bangsa pengelana dan para musafir, pola perpindahan penduduk dan perpindahan pengabdian pada wilayah-wilayah baru adalah hal yang biasa, namun untuk bangsa Indonesia hal-hal ini masih mengundang berjuta tanda tanya. Kita tak henti-henti nya melantunkan slogan tentang nenek moyangku seorang pelaut, dan para pelaut bugis telah menciptakan kampung bugis di berbagai wilayah dunia, atau perginya berapa sheikh-sheikh asal tanah air ke kerajan-kerajaan timur tengah dan mengabdi di sana, dan banyak dari kita mengagung-agungkan mereka bagai pahlawan.

Namun usai penjajahan belanda, ketika muncul karya-karya sastra semacam "salah asuhan" karya Abdul Muis, cerita melayu klasik Malin kundang yang di release, atau cerita Tanduk Majeng asal Madura. Ada kesan di nilai-nilai masyarakat bahwa kepergian mereka yang merantau dan tak kembali adalah sebuah fenomena kisah Malin Kundang dan pengkhiantan terhadap ibu pertiwi.

Ketika stigma-stigma ini yang terbangun namun di balik stigma tersebut ada sumbangan devisa yang cukup besar dari mereka-mereka yang menamai dirinya pekerja migrant dan diaspora, mungkin perlu ada kajian lebih lanjut apakah tindakan mereka adalah sebuah pengkhiantan atau kepahlawanan, dan mereka yang tiap tahun mencoba melobby para pengambil kebijakan untuk di terbitkannya kewarganegaraan ganda, mungkin juga perlu di tinjau kembali, sehingga permasalahan stigma, brain drain, dan investasi diaspora bukanlah permaslahan yang mengguncang nasionalisme.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun