Mohon tunggu...
Bellinda Aliefa Diardi
Bellinda Aliefa Diardi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Sosial dan Ilmu Politik, Prodi Hubungan Internasional, Universitas jember

akun ini dibuat untuk menginspirasi seitiap pembaca.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Di Balik '98: Kebangkitan yang Terpuruk

2 April 2023   18:47 Diperbarui: 2 April 2023   18:56 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kemelut krisis pada Mei 1998 memberikan pelajaran dan juga dampak dahsyat bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Suasana politik yang sedang memanas, krisis ekonomi, kepercayaan masyarakat kepada pemerintah yang mulai terkikis. 

Hal tersebut mengakibatkan adanya aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh mahasiswa dan buruh di seluruh wilayah Indonesia. Kemelut krisis ekonomi - politik yang terjadi pada Mei 98, menimbulkan korban baik jiwa maupun harta benda.Tewasnya empat mahasiswa Trisakti, kerusuhan pada 13 - 15 Mei 1998, penjarahan atau perampokan, hingga rasisme kepada masyarakat keturunan Tionghoa menjadi bukti chaos yang terjadi.

Kerusuhan yang terjadi pada Mei tahun 1998, merupakan puncak akumulasi antara krisis ekonomi dan politik yang tengah terjadi pada waktu itu. Krisis ekonomi Indonesia tahun 1998 ditandai dengan merosotnya nilai tukar rupiah akan dollar. 

Padahal pada bulan juni 1997, nilai tukar rupiah terhadap dollar berada di angka Rp. 2.380 per dollar. Namun, secara tiba - tiba nilai tukar rupiah pada dolar melemah hingga angka Rp. 11.000. Dilanjutkan pada Juli 1998, Rupiah kembali merosot pada angka Rp. 14.150 per US$1. 

Selain nilai tukar rupiah terhadap dolar yang melemah, krisis ekonomi diperburuk dengan adanya utang luar negeri yang harus segera dibayarkan. Tercatat pada Maret 1998, utang luar negeri mencapai angka 138 miliar dolar AS. Sedangkan, devisa yang tersedia hanya sekitar 14,44 miliar dolar AS. Akibatnya, rupiah mengalami depresi lebih dari 80% sejak rupiah diambangkan pada 14 Agustus 1997.

Krisis ekonomi yang terjadi kala itu mengakibatkan kerugian yang luar biasa bagi Indonesia. Salah satunya adalah banyaknya perusahaan yang bangkrut. Kebangkrutan perusahaan ini menimbulkan gelombang PHK yang dialami oleh jutaan pegawai. Pengangguran melonjak sekitar 20 juta orang atau sekitar 20% lebih angkatan kerja. 

Pengangguran yang meningkat berdampak langsung pada meningginya harga barang di pasar, meningkatnya penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan juga. Pendapatan per kapita masyarakat anjlok dari angka Rp. 1.150 dolar/kapita menjadi Rp. 610/ kapita. Apabila hal ini tidak segera diatasi dan menemukan solusinya dua dari tidak penduduk indonesia dalam kondisi sangat miskin (catatan ILO dalam detik.com).

Selain bangkrutnya perusahaan baik sektor kecil hingga konglomerat, sektor konstruksi, manufaktur dan perbankan merupakan sektor yang terpukul cukup parah. Dikatakan bahwa, puluhan bank kecil harus ditutup sepanjang tahun 1990-an (dilansir dari situs resmi BI dalam detik.com). Tercatat, selama periode tahun 1997 - 1998 sebanyak 16 bank ditutup, dan pada 1999 38 bank juga ikut ditutup. 

Kemelut ekonomi tersebut berlanjut dengan dicabutnya dana asing besar - besaran dari Indonesia. Runtutan kolaps yang terjadi pada perbankan Indonesia memberikan konsekuensi terhadap sistem pasar uang dan pasar modal yang ada. Pada puncaknya, krisis ekonomi ketika Presiden Soeharto menandatangani nota kesepahaman dengan IMF, 15 Januari 1998.

Untuk menyelamatkan keterpurukan kondisi ekonomi yang ada, pemerintah dengan memanfaatkan sektor ekspor. Akan tetapi, harapan bahwa sektor ekspor akan menyelamatkan krisis ekonomi yang ada ternyata gagal. 

Momentum depresi rupiah tidak dapat dimanfaatkan untuk mengatasi krisis ekonomi. Penyebab kegagalan ini karena lalu lintas bisnis sedang tercekik akibat beban utang, ketergantungan pada barang impor, trade financing yang sulit, serta persaingan ketat pasar global. Terhitung dalam kurun waktu Januari - Juni 1998, ekpor migas turun hingga 34,1, dan pertumbuhan ekspor non - migas hanya diangka 5,36%.

Kondisi ekonomi Indonesia saat itu yang melemah, diperburuk dengan pudarnya kepercayaan masyarakat dan pasar kepada kesehatan Presiden Soeharto yang kian memburuk. 

Hal tersebut melahirkan ketidakpastian mengenai suksesi kepemimpinan nasional. Selain itu, ketidakpastian pemerintah dalam mengambil sebuah kebijakan semakin mempercepat efek krisis moneter. Tak heran, sikap tak pasti yang dilakukan pemerintah akibat dari besarnya utang luar negeri yang jatuh tempo, kondisi perdagangan internasional yang kurang menguntungkan serta kekeringan parah yang terjadi dalam 50 tahun terakhir akibat bencana La Nina.

Dengan berbagai kemelut ekonomi - politik yang terjadi, pemerintah memikirkan berbagai upaya atau jalan keluar agar krisis yang sedang terjadi ini segera terselesaikan. 

Salah satu upaya yang diambil oleh pemerintah adalah dengan memperbaiki sistem perbankan. Adanya praktik tidak sehat yang dijalankan oleh bank, lemahnya penegakan hukum, serta independensi bank sentral menjadi pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan agar krisis ekonomi segera berakhir. 

Untuk itu, pemerintah bersama IMF sepakat untuk menutup beberapa bank bermasalah dan membentuk BPPN (Badan Penyehatan Perbankan nasional) guna merestrukturisasi perbankan nasional. 

Selain memperbaiki bank nasional, pemerintah juga restrukturisasi utang swasta. Dengan adanya restrukturisasi ini, posisi likuiditas perusahaan bisa terjaga sehingga minim PHK. pada januari 1998, pemerintah turut serta dalam menyelesaikan utang yang ada. Hal tersebut dapat dilihat saat Penyelesaian Utang Luar Negeri Swasta mencapai kesepakatan untuk pembiayaan perdagangan, pinjaman perusahaan swasta dan penyelesaian pinjaman antar bank. 

Selain fokus dalam perbaikan perbankan dan sektor swasta, pemerintah juga menaruh perhatian kepada ekonomi secara makro kala itu. Salah satu upayanya berupa pelonggaran APBN guna membantu masyrakat miskin.  Defisit APBN hingga 8,5% di PDB digunakan untuk Jaringan Pengamanan Nasional dan penyediaan kebutuhan pokok.

Dengan melihat semua runtutan kejadian reformasi, hingga meledak pada Mei 1998 kita dapat belajar banyak dalam fenomena tersebut. Mulai dari kebijakan moneter yang diambil pemerintah agar menguatkan kembali rupiah terhadap dolar, upaya membantu masyarakat yang berada di ambang kemiskinan, hingga tumbangngnya razim yang telah berkuasa lebih dari 32 tahun tersebut. 

Sikap tanggap bencana dan cepat sangat diperlukan untuk mengatasi gelombang krisis moneter yang memutus jutaan mata pencaharian masyarakat indonesia tersebut. Mei 1998 merupakan kebangkitan Indonesia dari keterpurukan sistem politik, ekonomi dan rezim yang korup. 

Namun, kebangkitan ini tidak luput dari keterpurukan yang melanda hingga menyebabkan korban jiwa maupun harta benda. Peristiwa ini juga menjadi sejarah juga pengingat agar tidak ada lagi krisis di Indonesia, baik ekonomi maupun politik. Juga menjadi pengingat agar selalu melihat semua kesempatan dengan cerdas dan cermat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun