Belakangan ini, kabar rencana redenominasi Rupiah kembali ramai dimediakan. Redenominasi? Makhluk apakah itu? Saya bukan ahli bahasa, tapi awalan "Re-"biasanya digunakan untuk menyatakan peristiwa mengulang. Seperti 'reformasi' yang berarti melakukan formasi ulang.  Kalau begitu, redenominasi berarti melakukan denominasi ulang. Nah, denominasi sendiri artinya apa?  Kalau bicara uang, kata denominasi bisa dimaknai dengan 'pecahan'.  Rupiah kita sekarang memiliki pecahan 100.000, 50.000, 20.000, 10.000, 5.000, 2.000 dan 1,000 dalam bentuk uang kertas, sedangkan dalam bentuk koin kita punya denominasi 1,000. 500, 200, 100  dan 50. Tiga puluh tahun yang lalu kita masih memiliki uang logam Rupiah dengan denominasi 1. Sekarang denominasi itu tidak ada lagi karena nyaris tak ada nilainya tergerus inflasi.  Hilangnya denominasi kecil dan munculnya denominasi besar terjadi secara alamiah mengikuti melemahnya daya beli Rupiah kita.  Denominasi 100.000 ketika pertama terbit tahun 2004 sempat heboh (ia berwarna merah muda, mirip dengan uang 10.000 yang sudah terbit sejak 1964 berwarna merah ungu sehingga sering tertukar terutama kalau bertransaksi di tempat yang agak gelap :). Lagipula, denominasi 100.000 itu  'kalau hilang atau nyelip dampaknya berasa banget!). Sebelumnya, denominasi terbesar adalah 50.000 yang mulai dicetak tahun 1993. Setelah krisis 1998 menyungkurkan daya beli Rupiah, maka baru pada tahun 2004 itulah dimunculkan denominasi 100.000. Nah, sekarang redenominasi, atau melakukan denominasi ulang, apa maksudnya? Berbeda dengan penerbitan denominasi baru atau hilangnya denominasi kecil  yang berlangsung secara alami, redenominasi adalah kebijakan Pemerintah untuk menyederhanakan semua denominasi uang Rupiah yang dianggap sudah terlalu 'kompleks'.  Ini sebetulnya bahasa lain dari nilai tukar Rupiah yang sudah terlalu lemah, sehingga kurang bergengsi di mata dunia. Untuk seporsi sop buntut seharga Rp 35.000  misalnya, kita bicara sebuah nilai dengan 5 dijit - atau puluhan ribu Rupiah.  Sedangkan dalam dolar Amerika, cukup bicara angka di bawah sepuluh dolar. Lemahnya nilai tukar mata uang suatu negara memang terlihat dari denominasi terbesar yang diterbitkan oleh negara tersebut. Dolar AS punya denominasi terbesar 100. Kalau ditilik nilai tukarnya, dengan 1 dolar AS kurang lebih sama dengan Rp 10.000, maka denominasi terbesar  dolar AS kurang lebih sama nilainya dengan 10 kali denominasi terbesar Rupiah. Repotnya ketika melakukan konversi, kalau dolar AS bicara satuan, kita dalam Rupiah bicara puluhan ribu. Kalau dalam dolar AS bicara ribuan, kita dalam Rupiah bicaranya belasan atau puluhan juta. Sebaliknya, untuk parkir Rp.2.000,  agak sulit untuk menjelaskan kepada pemegang dolar AS padanan nilainya. Kadang-kadang juga bingung sendiri: 2 sen atau 20 sen. Soalnya kita sudah lama sekali tidak berpikir dalam 'sen' yang nilainya hanya 1/100 itu. Nah redenominasi adalah langkah Pemerintah untuk menyederhanakan denominasi Rupiah dengan menghilangkan 3 angka nol terakhir. Jadi, nanti denominasi terbesar Rupiah bukan lagi 100.000 tetapi 100. Tidak ada pelemahan ataupun penguatan nilai Rupiah di sini.  Uang Rp 100 setelah redenominasi nilainya sama dengan uang Rp 100.000 sebelum redenominasi. Kalau saat ini 1 dolar AS = Rp 10.000, setelah redenominasi, 1 dolar AS =  Rp 10. [caption id="" align="alignnone" width="314" caption="Welcome Back Uang Logam Rupiah dalam Sen"][/caption] Karena tidak ada perubahan daya beli antara sebelum dan sesudah redenominasi, maka selain denominasi uang disederhanakan, mau tidak mau harga barang dan jasa pun harus disederhanakan. Seporsi sop buntut yang semula Rp 35.000 menjadi Rp. 35 setelah redenominasi.  Bensin premium, kalau belum dicabut subsidinya, berharga Rp 4,5 per liter. Dan mobil impian Anda boleh jadi harganya hanya Rp 400 ribu saja. (Tapi jangan senang dulu, kalau Anda seorang fresh graduate,  gaji Anda mungkin cuma Rp. 5 ribu sebulan!). Saya tidak melihat efek lain dari redenominasi selain membuat hitung-hitungan jadi lebih sederhana. Orang bilang, setelah redenominasi Rupiah jadi lebih bergengsi, saya rasa tidak. Kalau fundamental ekonomi buruk, nilai tukar Rupiah akan tetap melemah. Dengan ataupun tanpa redenominasi. Yang jelas, redenominasi berbeda dengan sanering, ketika pada tahun 1965 Soekarno memangkas nilai Rupiah, dari 1000 menjadi 1. Sedangkan harga-harga justru melambung tinggi. Harga bensin naik 4 kali lipat dari Rp 250 per liter di bulan November 1965 menjadi Rp 1.000 lima minggu kemudian. Nah,  pada saat itu denominasi terbesar adalah 1.000 yang nilainya Rp 1, maka untuk membeli seliter bensin Anda harus membayar dengan 1000 lembar uang seribuan!  Kalau pakai koin Rp.1, Anda harus membawa gerobak yang isinya 1 juta koin! Yang saya khawatirkan pada saat redenominasi adalah efek kenaikan harga dari kecenderungan pembulatan ke atas. Misalnya sop buntut tadi, semula Rp 35.000, setelah redenominasi bukannya jadi Rp 35 tapi dibulatkan ke atas jadi Rp 40. Kalau ini terjadi secara masif untuk semua barang, efek inflatoarnya terhadap perekonomian kita bisa cukup signifikan. Redenominasi akan dilakukan bertahap dan Rupiah Baru sepenuhnya menggantikan Rupiah Lama pada tahun 2023. Mudah-mudahan masa transisi 10 tahun cukup untuk membuat proses ini berlangsung mulus. Dalam masa transisi pasti akan timbul banyak kebingungan, apalagi ketika uang Rupiah Lama dan Rupiah Baru sama-sama berlaku. Kalau Anda makan sop buntut tadi dan membayar dengan Rp. 100 , bisa jadi uang kembalian yang Anda terima adalah selembar 50,000, selembar uang 10, 1 lembar uang 2.000, 2 keping logam 1-an,  1 keping logam 500-an dan 2 keping logam 2.5-an. Silakan cek uang kembalian Anda di depan kasir! Salam redenominasi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H