Mohon tunggu...
Naviz De Vinci
Naviz De Vinci Mohon Tunggu... Perawat - Pembelajar di Universitas Maiyah

sedang terdampar di Baden Wurttemberg, Jerman

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Budaya Mbontot Orang Jerman

6 Mei 2017   03:44 Diperbarui: 6 Mei 2017   04:52 565
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya lupa-lupa ingat bahasa “Mbontot” ini berasal dari wilayah sekitar Jawa Tengah-an atau Jawa Timur-an. Namun yang pasti bukan Bontot, sebutan untuk si anak bontot, anak bungsu ataupun anak terakhir dalam keluarga. Definisi Mbontot dalam tulisan ini ialah suatu kondisi ketika anak ataupun orang dewasa membawa persediaan makanan untuk dimakan di sekolah ataupun di Kantor ketika jam istirahat tiba.

Mungkin di Indonesia masih ada yang juga melakukannya. Saya fikir budaya itu kebanyakan dimiliki oleh bangsa-bangsa timur, sebab ketika melihat film-film Barat orang cenderung akan memilih dan membeli menu makannya di Restoran cepat saji, fast food-lah bahasa umumnya.

Rumah sakit tempat saya magang memang memiliki sebuah kafetaria cukup besar dan terdapat harga khusus bagi karyawan yang bekerja disana dan membeli makan di tempat tersebut. Harganya pun cukup murah dengan porsi yang lumayan besar.  Istirahat siang biasanya dimulai pukul 11.30 namun bisa bergantian waktu istirahat dengan total 30 menit karena harus jaga bergantian.

Hari kedua bekerja saya cukup kaget, ternyata Chef sayambontot juga, hari hari selanjutnya hampir 80% dari kolega membawa persediaan makan siang ataupun sore dari rumah, dari menu salat, broethchen (roti), dan makanan pada berisi khas Eropa (belum lihat ada yang mbontot nasi). Wow, unik juga ketika melihat pemandangan tersebut. Bagi saya melihat anak-anak Jerman mbontot setiap hari ketika pergi ke sekolah ataupun klub-lub olahraga adalah pemandangan biasa, namun ternyata ini dilakukan oleh orang-orang dewasa sekelas Pak Bos, Bu Dokter, Bu Psikolog dan terapis lain.

Membawa makanan dari rumah selain lebih hemat tentu juga lebih sehat. Kita dengan mudah mengatur kebutuhan gizi kita, selain yang paling penting juga menjaga ke-halal-an makanannya. Maklum, salah satu makanan berat dan lezat mereka adalah Babi. Sudahlah buang jauh-jauh gengsi, kalau sebenarnya kebutuhan perut kita cukup dengan 20.000 rupiah, jangan bela-belain mengikuti lidah yang meminta makanan dengan harga seporsinya sampai jutaan rupiah. Pilahlah mana yang kebutuhan dan mana yang merupakan keinginan.  Namun memang seringkali manusia hidup dalam ketidaksadarannya.

Salah satu pesan dari Simbah yang terus menginspirasi saya sampai hari ini ialah “Setiap butir nasi dan tetes air yang memasuki tenggorokanmu, perhatikanlah asal-usul kebenaran dan kebatilannya. Posisi halal-haramnya. Sebab engkau sedang mengawali dan memproses takdir bagi anak cucumu.”

***Bersambung***

#Writingchallenges6

Nafisatul Wakhidah

Zwiefalten, 6 Mei 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun