Di level manajer, Hopp menunjuk Ralf Rangnick, yang selama ini telah melatih tim Bundesliga seperti sebagai SSV Ulm 1846, VfB Stuttgart, Hannover 96 dan Schalke 04, untuk kontrak lima tahun. Investasi tersebut terbayar pada musim 2006-07 dengan promosi klub ke 2. Bundesliga setelah menduduki peringkat kedua di Regionalliga Sd. Musim 2007-08 adalah musim pertama Hoffenheim mampu sampai pada level tertinggi Liga Jerman, setelah hanya bermain di 2. Bundesliga selama satu musim.
Hopp tidak tanggung-tanggung berinvestasi, karena pada tahun 2007, ketika Hoffenheim masih berlaga di divisi kedua, Ia membangun stadion baru berkapasitas lebih dari 30 ribu penonton, sebagai pengganti stadion sebelumnya bernama Dietmar-Hopp-Stadion yang berkapasitas enam ribu penonton.Â
Awalnya rencana pembangunan stadion baru bernama Rhein-Neckar-Arena sempat dicibir karena dibangun dengan kapasitas yang terlalu besar, bahkan penduduk Hoffenheim pun hanya sekitar tiga ribu penduduk, 10% dari kapasitas stadion. Tapi hal itu tidak membuat Hopp ragu, menggelontorkan dana sekitar enam puluh juta euro, Ia yakin bahwa nantinya Hoffenheim akan menjadi kebanggaan tidak hanya penduduk Hoffenheim saja tetapi penduduk di sekitarnya bahkan di level dunia. Di level tertinggi Liga Jerman, posisi Hoffenheim cukup stabil, beberapa kali berada di papan atas liga, hingga lolos ke Liga Champion. Sebuah pencapaian yang mencengangkan untuk ukuran klub yang belum lama promosi.
Dibenci karena Apa?
Nah, sampai sejauh cerita ini mengalir, terjawabkan mengapa village club ini dibenci?. Nyatanya, prestasi Hoffenheim belum disambut penerimaan yang baik dari seluruh pihak, terutama beberapa pendukung klub pesaing di Bundesliga melabeli klub dengan sebutan kasar "corporate whores". Kritik ini terutama muncul dari klub yang berasal dari bekas Jerman Timur, dimana klub dengan jumlah pendukung yang lebih besar tetapi tidak didukung dengan kekuatan finansial yang besar, memandang Hoffenheim sebagai lambang sifat tidak adil dari kapitalisme Jerman Barat.
Di sepakbola Jerman, masalah tradisi memang membawa banyak beban. Klub akan sering disebut oleh komentator, pemain, dan jurnalis sebagai "Traditionsverein", menjadi lencana kehormatan. Sebaliknya, klub-klub seperti Hoffenheim, dan yang terakhir RB Leipzig dan, pada tingkat lebih rendah, FC Ingolstadt, pada umumnya diejek sebagai klub "plastik" yang sering dicaci-maki oleh pendukung tim lawan, dan bahkan oleh pelatih dan manajer.Â
Yang terbaru adalah tindakan yang tidak pantas dari pendukung Munich, meneriaki Hopp dengan sebutan "Son of a Bitch". Sebuah hal yang lucu mengingat Munich adalah klub penguasa tunggal Bundesliga selama puluhan tahun. Mereka pun ternyata terusik dengan kemunculan dan keberadaan Hoffenheim. Sebelumnya, pendukung Dortmund melakukan aksi tak terpuji yang sama. Dengan 'bergabungnya' dua pendukung klub ini, maka alasan kebencian berlatar belakang soal kapitalisme menjadi tidak relevan lagi. Munich dan Dortmund merupakan dua klub raksasa Jerman yang memiliki dukungan keuangan yang kuat pula.
Bagi saya, kebencian dengan alasan tradisi sangat tidak relevan, terutama karena upaya yang dilakukan oleh Hopp tidak bisa dibilang instan. Hopp dengan sabar membangun stabilitas di Hoffenheim, memikirkan segala sisi untuk mendukung lahirnya Hoffenheim sebagai klub yang disegani di negaranya. Hopp menunjukkan cintanya terhadap klub masa kecilnya, klub yang ada di tanah kelahirannya dengan mimpi yang diekstraksi menjadi visi. Masa, hal semanis ini kemudian dibenci? Menurut anda bagaimana pembaca?.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H