Kembali lagi ke tempat penjual ayam krispi favorit saya tadi, rating yang disematkan pada restoran tersebut adalah '0' atau dengan predikat 'urgent improvement necessary'. Ketika diperiksa melalui online ratingnya, ketiga indikator, yaitu hygienic food handling, cleanliness and condition of facilities and building, dan management of food safety, berpredikat improvement necessary. Bahkan indikator ketika terkait keamanan penyimpanan makanan, terdapat predikat tambahan 'urgent improvement necessary'.
Sebuah fakta yang menarik ketika saya dan teman-teman pada awalnya memilih tempat makan berdasarkan rasa, tetapi mengesampingkan hal lain yang seharusnya menjadi perhatian. Kenapa? Mungkin karena masyarakat Indonesia masih belum memiliki kesadaran yang cukup tentang hal tersebut. Buktinya, setelah restoran itu dibuka kembali, teman-teman asal Indonesia (termasuk saya juga sih), tetap saja kembali kesana dan menikmati sajian istimewa ayam krispi micin yang menggugah selera. Kami berargumen, "ya mules-mules sedikit gak apa-apa lah ya". Sebuah contoh penggambaran betapa risk nave-nya kami ketika menghadapi adanya risiko itu.
Simpulan
Mengomunikasikan risiko memang bukan perkara mudah, banyak faktor yang perlu dipertimbangkan. Kematangan publik, dalam hal ini masyarakat, juga perlu menjadi perhatian. Di lingkungan yang masyarakatnya kurang perhatian dalam mencari informasi, tentu memberikan sinyal-sinyal yang membutuhkan effort mandiri dari masyarakat bukan pilihan utama.
Seperti dalam konteks di UK, pelanggan harus melihat rating dan membaca detail melalui rating online jika ingin tahu informasi lengkapnya. Jika publik belum terbiasa aware dalam mencari informasi, tentu pendekatan yang dilakukan dalam mengomunikasikan risiko berbeda, biasanya dengan unsur fear, atau menarik perhatian dengan pesan bernuansa ketakutan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H