"Dibelakang
Tempatmu bersandar
Tanganku terbuka
Kapanpun kau ingat
Pulang"
Lirik ini bagi saya menggerusi emosi. Pada awalnya meyakinkan saya jika Ayah selalu ada untuk saya, memberi semangat untuk terus mengejar mimpi dan harapan. Namun, pada akhirnya realita memberi tanda yang berbeda, Ayah sudah tiada. Saya tak tahu kemana saya harus pulang.
Bagaimana saya mencoba menjalaninya? Saya menekannya kuat-kuat. Menekan rindu sekuat yang saya mampu. Tapi jauh di dalam hati, saya tahu saya hanya mencoba untuk menipu.Â
Sampai kemudian saya memasuki fase pilu membiru, sebuah fase yang bagi penerimaan saya adalah tentang berdamai dengan luka, melihatnya dari cara yang berbeda. Mengonversi kerinduan yang semula luka menjadi pelega dahaga, rindu.
"Tak ada yang seindah matamu
Hanya rembulan
Tak ada yang selembut sikapmu
Hanya lautan
Tak tergantikan
Oh...
Walau kita
Tak lagi saling
Menyapa"
Bagi saya, berbeda dengan Saudade, lagi ini adalah pesan saya untuk Ayah, tentang rasa hormat penuh rindu. Bait yang menceritakan tentang masih banyak hal yang belum bisa disampaikan, akan memberikan rasa yang berbeda ketika saya sudah berdamai dengan kenangan yang ada, bukan pada lukanya.
"Masih banyak yang belum sempat
Aku katakan....Padamu
Masih banyak yang belum sempat
Aku sampaikan....Padamu"
Ketika damai itu telah ada, saya merasakan lirik di atas dengan sisi pandang yang berbeda. Saya melihatnya sebagai sebuah penerimaan bahwa masih banyak hal yang belum sempat saya sampaikan kepada Ayah.Â
Namun, itu justru menjadi janji bagi saya untuk terus berjuang, untuk membuktikan bahwa anaknya bisa. Ayah tentu tak ingin melihat anaknya terus-menerus tak menerima, bahkan terus menyalahkan Sang Pencipta. Bukan, bukan itu yang Ayah damba.
Setiap perjuangan memiliki dua peluang hadirnya sisi akhir cerita yang berbeda. Saya pun meyakini bahwa yang saya jalani ini tidak mudah, tak juga berarti tak bisa dilalui.Â
Kegagalan seringkali menyapa ketika asa sedang besar-besarnya. Dan biasanya, kegagalan demi kegagalan itu datang beruntun tak terpisah hadirnya. Tentu akan muncul sebuah pertanyaan yang cenderung menjadi dakwaan, bagi diri sendiri, "Hanya itu mampumu?".