Pada Kuartal kedua tahun 2018, populasi dunia diperkirakan mencapai 7,6 miliar penduduk dengan jumlah pengguna internetnya sebesar 4,2 miliar, dan 2,23 miliar dari jumlah tersebut merupakan pengguna aktif di Facebook.
Dengan jumlah yang sangat besar tersebut, menciptakan traffic informasi yang luar biasa padatnya, sehingga sering digambarkan sebagai era badai atau tsunami informasi. Spesifik di Indonesia, Indonesia, pada periode yang hampir sama memiliki jumlah pengguna Facebook aktif yang mencapai 130 juta pengguna atau enam persen dari keseluruhan pengguna dunia.
Angka yang tinggi tersebut mendorong Indonesia bertengger di posisi empat dunia sebagai negara yang menyumbang pengguna Facebook terbesar di dunia.
Namun masalahnya adalah traffic tinggi atas arus informasi di negeri ini tidak atau belum dibarengi dengan kedewasaan dalam menggunakannya.
Fakta berbicara, Direktur Informasi dan Komunikasi Badan Intelijen Negara (BIN) Wawan Purwanto menyebut konten-konten media sosial di Indonesia ternyata didominasi informasi bohong atau hoaks.
Bahkan komposisinya telah mencapai 60 persen dari konten media sosial di Indonesia saat ini adalah informasi hoaks.
Kasus hoaks Ratna Sarumpaet yang masih ramai menjadi pembicaraan di negeri ini seakan menjadi puncak gunung es dari jutaan informasi hoaks yang memenuhi jagad media sosial di Indonesia sampai saat ini.
Fakta ini tentu tidak dapat dilihat sebagai kondisi yang wajar, mengingat kabar yang tidak benar itu kadang dipercaya dan diamplifikasi menjadi tindakan-tindakan yang tidak seharusnya dilakukan.
Lalu langkah apa yang seharusnya bisa kita dilakukan?
Dalam hal ini, penulis akan mencoba melihat fenomena ini melalui kacamata risiko (meskipun penulis tidak menggunakan kacamata ya).
Dalam sebuah penelitian Chena dan Sharma (2013), dijelaskan bahwa keputusan seseorang untuk menggunakan media sosial dipengaruhi oleh sikap orang tersebut dalam memandang risiko atau risk attitude.