Pentingnya perhatian organisasi terhadap perkembangan penggunaan media sosial pegawainya dapat juga direfleksikan dari kasus yang terjadi pada Triple Play Sports Bar and Grille di Watertown, Amerika Serikat. Kasus ini diawali dengan seorang pegawai yang memposting status di akun Facebookpribadinya. Ia mengkritik ketidakmampuan pemilik bar tersebut dalam mengelola pembayaran pajak sehingga pegawai tersebut harus menunggak pajak penghasilannya.
Status tersebut kemudian di 'like' oleh pegawai lainnya yang bernasib sama. Setelah membaca postingan tersebut, pemilik memecat pegawai yang menulis status tersebut dan juga para pegawai yang memberikan 'like' di status tersebut. Mereka beralasan para pegawai tersebut tidak loyal dan tidak menghormati manajemen.
Namun, kasus itu tidak berhenti sampai di situ. Setelah melalui beberapa perdebatan, National Labor Relations Board, sebuah badan pemerintah independen Amerika Serikat yang memiliki tanggung jawab untuk menegakkan undang-undang ketenagakerjaan menyatakan pemecatan tersebut melanggar undang-undang ketenagakerjaan. Sebab, manajemen bar tidak memiliki regulasi yang mengatur tentang penggunaan media sosial bagi pegawainya. Hal ini berbeda dengan AIC yang telah proaktif memberlakukan kebijakan terkait media sosial di organisasinya.
Risiko Media Sosial Individu Pemerintahan
Kedua kasus tersebut memberikan gambaran bahwa penggunaan media sosial oleh pegawai dapat memunculkan risiko bagi organisasi. Karenanya, risiko ini perlu 'dikelola'. Hal ini juga penting bagi organisasi publik.
Sepuluh tahun yang lalu, ketika perkembangan internet belum seperti saat ini, organisasi publik dapat melakukan pengendalian hanya dengan memblokir jaringan internet kantor ke media sosial. Sebagai contoh, hanya beberapa pegawai kunci yang bisa terkoneksi ke internet pada waktu itu. Karenanya, pada waktu itu, pengelolaan risiko penggunaan media sosial masih dalam tahapan menghindari turunnya produktivitas.
Namun, saat ini, laju perkembangan internet sangat luar biasa. Siapapun bisa terkoneksi dengan jaringan internet melalui ponsel masing-masing. Mereka bisa berlangganan internet dengan harga yang murah. Kemudahan akses ini telah memunculkan dua tantangan yang 'mengerikan' bagi organisasi publik.
Pertama, mitigasi berupa pemblokiran sudah tidak relevan lagi. Kedua, pengguna media sosial yang semakin masif dapat menyebabkan hal apapun yang 'dilempar' di internet akan berpotensi menjadi perhatian jutaan, bahkan puluhan ratusan juta orang lainnya, bukan hanya orang-orang di sekitar kita.
Hal inilah yang perlu dipikirkan dan dirumuskan solusinya di sektor publik. Pemimpin pemerintahan tidak bisa secara pasif hanya berharap bahwa seluruh individu pemerintahan akan secara otomatis menjadi pengguna internet yang bijak. Mereka mestinya juga proaktif menetapkan kebijakan penggunaan media sosial para individu ini.
Pengelolaan Risiko Media Sosial Pemerintahan UK
Sebagai contoh, pemerintah United Kingdom (UK) telah menyadari risiko tersebut dan telah mulai memitigasinya. Francis Maude, mantan menteri di negara ini, menyatakan bahwa era digital dan media sosial dapat membantu individu pemerintahan dalam menjangkau masyarakat yang dilayani. Â Namun, katanya, manfaat tersebut mesti diimbangi dengan akuntabilitas.