Jakarta, 1970-an.
Seorang laki-laki duduk termenung di satu sudut Pasar Senen, salah satu pasar besar tertua di Jakarta. Har namanya, dia melamun, jauh dari orang tua dan adik-adiknya yang dia tinggalkan jauh di Jogjakarta. Merantau, mengadu nasib, tak cukup rasanya menggambarkan kondisinya saat ini. Tidak mudah hidup di Jakarta, terutama setelah kondisi ekonomi ibukota masih belum pulih benar dari tragedi di tahun 1965 kemarin. Pekerjaan? Kata orang di Jakarta banyak yang bisa kulakukan, mana buktinya? Sedangkan aku hanya bisa duduk termenung, melawan lapar tanpa uang, teriak laki-laki itu dalam hatinya.
Dia tak mau merepotkan kakaknya, satu-satunya keluarga terdekatnya di kota ini. Dia memahami, kakaknyapun menjalani hidup yang tidak mudah di Jakarta. Juntak, seorang sahabat yang berasal jauh dari seberang sana, lebih banyak menghabiskan waktunya, berbagi cerita yang tak jua berbeda. Siang dan malam sering terbalik bagi mereka, mereka melakukan apapun untuk bertahan hidup. Kehidupan yang keras tak hanya sebuah istilah bagi mereka, karena bertahan hidup memiliki arti yang sebenarnya, tak bisa berkelahi? Nyawa taruhannya.
Menenggak minuman itu menjadi sebuah pelarian, melenyapkan duka hidup dalam sengsara, menghapuskan sejenak lara melawan derita. Inilah obat terhebat di dunia, pahamnya ketika itu, setelah beberapa hari mulai rutin mengkonsumsi keduanya.
Seorang laki-laki muda, hampir seusia dengannya, dengan ragu-ragu mendekati Har. Posturnya tak terlalu tinggi, berpakaian cukup rapi dan berbeda dengan kebanyakan orang di saat itu.
“Dari Jawa mas?” tanya si laki-laki yang datang, menggoyah lamunan Har yang sedari tadi jatuh dalam lamunannya.
“Nggih mas, kok tau?” sahut Har ramah.
Keduanya tenggelam dalam rangkaian percakapan yang menyenangkan. Seakan si laki-laki yang menghampiri tadi tahu semua hal tentang Har. Paham benar bahwa membicarakan sepakbola merupakan kunci membuka ribuan sahutan kata-kata di antara mereka. Mereka menjadi sahabat, bahkan seperti saudara, bahkan seakan memiliki ikatan darah melihat bagaimana mereka menyatu.
Hari demi hari, minggu demi minggu, laki-laki asing berubah menjadi pencerah dalam hidup Har, menariknya dari kehidupan keras ibukota, menjauhkannya dari Juntak dan teman-temannya, menjauhkannya dari candu rokok dan minuman memabukkan itu. Laki-laki itu membantunya lepas dari lembah hitam ibukota, mendorongnya mendapatkan pekerjaan yang lebih tegas menopang kehidupan Har. Dia seakan sebuah kompas yang membantunya mencari jalan mana yang harus Har pilih.
Tiba disuatu malam sejak dua bulan pertemuan pertama mereka, di selasar rumah kontrakan Har yang sekarang mampu dia bayar dengan gajinya.
“Har, besok aku pamit pulang ya” ucap laki-laki itu.
Tidak banyak cerita lagi setelah itu, Har hanya terikat janji, untuk tetap menjaga hidupnya seperti ini, tidak kembali ke kehidupannya sebelum ini. Berjanji sepenuh hatinya, janji seorang laki-laki kepada sahabatnya, saudaranya.
***
Jakarta, 2017.
Sebuah cahaya terang muncul, membesar dari sebuah titik cahaya menjadi sebesar pintu, hingga muncul seorang laki-laki, laki-laki yang sama, yang muncul tiba-tiba di satu sudut Pasar Senen, di 1970-an itu.
Dia tersenyum, lalu menuliskan sebuah surat, surat yang dia pahami, tak akan pernah dibaca oleh tujuannya, surat yang keberadaannya akan sulit diterima sebuah nalar.
Untuk Bapak.
Dua bulan itu adalah masa yang tak akan pernah kulupakan. Itu adalah dua bulan pengobat sebuah penyesalan. Bagaimana menarikmu dari hal yang tak layak membebani hidupmu, hal yang mencuri kebahagiaan besarmu kelak nanti. Kamu adalah sosok terhebat dalam hidupku, aku adalah pengagum terbesarmu. Aku mendatangimu di usia mudamu, karena aku terluka melihatmu meninggalkanku satu tahun lalu. Aku tenggelam dalam sebuah penyesalan, tak mampu menyelamatkanmu, meski semua orang mendorongku untuk mengikhlaskanmu, aku tidak bisa, tidak akan pernah bisa.
Aku temukan jalan untuk melawan kenyataan itu, aku akan menyelamatkanmu sebelum badai itu menerpamu, sebelum candu itu menggelayutimu sepanjang hidupmu, karena aku yakin itu tidak adil untukmu, persetan dengan takdir!
Namun, setelah aku kembali ke waktuku, aku tahu, bahwa suatu kejadian akan memicu kejadian lainnya, sejarah bukan tercipta dari satu kejadian, namun selalu ada rangkaiannya. Itulah yang kupahami saat ini. Di cerita awal ini, Ibu datang menyelamatkanmu, membantumu menata hidup, setelah bertahun-tahun kamu hidup dalam kehidupan yang keras ibukota, berteman dengan Juntak dan semuanya, rokok dan minuman itu. Namun kuubah itu semua, tanpa kehidupan keras itu, ibu tak ada untuk menyelamatkanmu, cerita hidupnya terlukis berbeda dari yang kutahu, kamu masih ada saat ini, ditahun ini, menjadi seorang pria luar biasa, sehat, namun semuanya berbeda. Aku tidak ada di dunia ini, aku terhapus oleh cerita yang berbeda, aku tidak ada.
Aku memahami saat ini, ini bukan tentang keikhlasan, namun kembali lagi, ini sebuah rangkaian kejadian, yang harus ada, dan memiliki makna. Bahwa kepergianmu, bukanlah hal yang harus kubawa lari dari realita, namun harus kusadari, bahwa aku harus kuat dari sebelumnya, bahwa menggantungkan hidupku kepadamu bukanlah sebuah keabadian, ada suatu masa dimana aku harus menjadi sepertimu, menjadi ayah yang dikagumi anaknya sepertimu, itulah arti kepergianmu yang baru kusadari.
Namun apa daya. Aku telah tiada. Bukan, aku tidak pernah ada, karena lompatan waktu yang kulakukan ini.
Dari aku, anakmu, yang tak pernah ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H