Banyak negara di dunia terguncang oleh krisis keuangan tahun 2007-2009, yang mungkin lebih akrab ditelinga kita dengan sebutan Global Financial Crisis (Krisis Keuangan Global). Beberapa pihak bahkan menggambarkan krisis keuangan yang terjadi itu sebagai krisis keuangan terburuk sejak Depresi Besar (Great Depression) yang pernah terjadi di Amerika Serikat delapan dekade lalu. Baik negara-negara maju maupun negara berkembang sama-sama sangat terpengaruh, yang akhirnya menurunkan Produk Domestik Bruto Dunia (PDB) sebesar 0,6 persen pada tahun 2009.
Krisis tersebut kemudian terus berkembang dan berubah menjadi resesi ekonomi global, periode pertumbuhan ekonomi yang negatif, pertama kalinya sejak Perang Dunia II. Harga saham di seluruh pasar saham global anjlok, banyak bank di AS dan Eropa mengalami kerugian, hingga perusahaan besar global yang bergerak pada jasa keuangan, Lehman Brothers, yang telah berusia lebih dari satu abad dinyatakan bangkrut.
Banyak pakar yang percaya bahwa faktor penyumbang utama dalam akar penyebab krisis industri perbankan, yang kemudian meluas menjadi krisis keuangan global adalah kebijakan kompensasi yang diterima oleh para CEO dan eksekutif di lembaga keuangan di Amerika Serikat. Beberapa pakar berpendapat bahwa struktur kompensasi eksekutif dapat mendorong para eksekutif untuk mengambil terlalu banyak risiko yang bisa membahayakan stabilitas perusahaan mereka. Momentum krisis keuangan global dapat digambarkan sebagai puncak dari perhatian dunia kepada kompensasi eksekutif.
Bagaimana rasionalisasi dari pembayaran kompensasi yang diterima oleh para eksekutif bisa menyebabkan sebuah perusahaan merugi? Bahkan bangkrut?. Banyak pihak yang salah menganalisis penyebab ini, dimana pihak tersebut terlalu sibuk menyoroti besaran kompensasi yang diterima oleh para eksekutif.
Tentu jika kita mencari tahu informasi tentang kompensasi yang diterima oleh eksekutif di search engine Google misalnya, atau di media massa, titik pembahasan yang muncul akan berfokus pada besarnya nilai kompensasi yang dibayarkan oleh perusahaan, yang nantinya akan dibandingkan dengan nilai kompensasi yang diterima oleh rata-rata pegawai di perusahaan yang sama, hingga muncul sebuah perbandingan, atau disebut dengan Ratio between CEOs and average workers.
Di Amerika Serikat misalnya, pada tahun 2014, ratio tersebut mencapai 354 : 1, yang artinya kompensasi atau penghasilan yang diterima oleh seorang CEO atau jajaran eksekutif 354 kali dari penghasilan rata-rata pegawai di perusahaan yang sama. Bahkan, Robert A. Iger, CEO Walt Disney, dibayar 557 kali dari rata-rata pegawainya. Sekedar informasi, rasio ini di suatu titik tahun mungkin berubah, turun, namun tren secara keseluruhan, setiap tahun rasio ini justru semakin bertambah, yang artinya gap antara penghasilan CEO dan pegawai semakin jauh.
Namun untuk dijadikan catatan, bukan besarnya nilai ini yang menjadi penyebab krisis keuangan yang terjadi. Bukan besarnya nilai yang harus dibayarkan oleh perusahaan yang menyebabkan suatu perusahaan merugi, bahkan bangkrut. Benar bahwa krisis keuangan global disebabkan oleh kompensasi eksekutif, namun, bukan karena besaran penghasilannya, namun karena struktur dari kompensasi yang diterima.
Kompensasi eksekutif biasanya terdiri dari kombinasi dari beberapa komponen, dengan proporsi tertentu dari masing-masing komponen. Elemen pertama dalam kompensasi adalah gaji pokok, yang diterima dalam bentuk uang tunai dan tidak terkait dengan kinerja. Komponen berikutnya adalah bonus, yang dihitung berdasarkan pencapaian target tertentu, biasanya mengacu pada keuntungan perusahaan yang dituangkan dalam laporan keuangan.
Bonus biasanya diukur dengan dasar jangka pendek, berdasarkan pendapatan tahun sebelumnya. Untuk bonus yang diterima dalam bentuk kas berdasarkan kinerja beberapa tahun, disebut dengan Rencana Insentif Jangka Panjang (Long-Term Incentives Program/ LTIP). Kedua jenis bonus tersebut adalah non-ekuitas / kompensasi berbasis kas (Non-equity based compensation).
Lalu, eksekutif juga akan mendapatkan kompensasi yang berbasis ekuitas (equity based compensation), yang terdiri dari opsi saham (stock option) dan hibah saham (stock grant). Opsi saham adalah hak yang diberikan kepada eksekutif untuk membeli saham perusahaan pada nilai yang telah ditentukan dan durasi tertentu.
Dalam opsi saham, kompensasi ‘real’ yang diterima oleh eksekutif adalah selisih antara harga saham di pasar dan harga saham yang ditentukan tersebut. Semakin tinggi harga saham di pasar, jarak antara harga saham di pasar dan yang telah ditentukan semakin lebar, maka keuntungan kompensasi dari eksekutif semakin besar pula.
Hibah saham adalah pemberian sebagian saham kepada eksekutif berdasarkan kinerja tahun sebelumnya, dan biasanya, terdapat larangan untuk menjual saham sampai suatu kondisi terpenuhi, misalnya, untuk ketika telah mencapai target profit tertentu atau masa pensiun eksekutif.
Perkembangan kompensasi eksekutif memasuki dilema selama dan setelah krisis keuangan 2007-2009. Banyak pihak menuduh kompensasi eksekutif sebagai penyebab krisis keuangan di seluruh dunia. Mereka menduga bahwa para eksekutif berani untuk mengambil proyek-proyek atau investasi yang berisiko, untuk mendapatkan insentif yang lebih tinggi tanpa mempertimbangkan keberlanjutan perusahaan. Pada awalnya, tujuan kompensasi adalah untuk mengatasi masalah principal-agent,memperkuat hubungan antara gaji dan kinerja, (silahkan baca artikel ini untuk memahami bahasan ini).
Frydman dan Saks, para peneliti di bidang kompensasi eksekutif, berpendapat bahwa Performance-Pay Sensitivity (PPS) terus menguat sejak 1970-an. PPS adalah sebuah ukuran yang mengukur pengaruh dari kompensasi yang diterima oleh eksekutif kepada profit perusahaan atau nilai saham. Kenaikan PPS mengindikasikan bahwa peran kompensasi telah sesuai dengan yang diharapkan. Namun, meningkatnya PPS tidak otomatis memecahkan masalah kompensasi.
Tantangan baru muncul ketika para eksekutif bersedia mengambil risiko untuk memenuhi kriteria kinerja perusahaan. Iming-iming insentif mengubah eksekutif yang menghindari risiko (risk averse) tidak hanya menjadi eksekutif yang mau mengambil risiko (risk taking) tapi menjadi eksekutif tersebut melakukan langkah-langkah yang memiliki risiko yang berlebihan (excessive risk). Rasionalisasinya adalah opsi saham dan hibah saham, di satu sisi, membuat kepentingan pemilik dan eksekutif bertemu, namun di sisi lain juga secara agresif menggoda eksekutif untuk mendapatkan keuntungan dari proyek-proyek berisiko.
Dengan proporsi stock option yang tinggi dibandingkan gaji pokok dan bonus misalnya, artinya eksekutif akan berfokus untuk meningkatkan nilai saham perusahaan, untuk secara simultan meningkatkan kompensasi yang diterimanya juga. Efeknya, eksekutif jadi mau mengambil risiko untuk meningkatkan harga saham. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, semakin tinggi harga saham di pasar dibandingkan dengan harga opsi saham berarti bahwa kompensasi yang diterima oleh eksekutif akan semakin besar.
Masalah serius muncul ketika upaya yang dilakukan oleh eksekutif membawa risiko Idiosyncratic yang merupakan risiko dari keputusan yang salah dibuat oleh eksekutif terkait dengan strategi bisnis, menghasilkan hasil yang berlawanan, harga saham jatuh. Iming-iming insentif bisa membuat keputusan eksekutif untuk menjadi bias dan tidak objektif, termasuk pertimbangan matang.
Secara singkat, excessive risk yang dilakukan oleh para eksekutif di banyak perusahaan di Amerika Serikat saat itu, khususnya yang bergerak di bidang keuangan, akhirnya berdampak pada terjadinya krisis keuangan yang menyebar dengan cepat tidak hanya di negeri paman sam saja tetapi menjalar ke seluruh pelosok dunia. Sebagai respon dari kondisi ini, Pemerintah Amerika Serikat yang diikuti oleh berbagai negara termasuk Indonesia, mulai mengatur tentang bagaimana penerapan kompensasi bagi eksekutif, terutama yang berkaitan dengan kompensasi berdasarkan ekuitas seperti stock option dan stock grant.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H