Hibah saham adalah pemberian sebagian saham kepada eksekutif berdasarkan kinerja tahun sebelumnya, dan biasanya, terdapat larangan untuk menjual saham sampai suatu kondisi terpenuhi, misalnya, untuk ketika telah mencapai target profit tertentu atau masa pensiun eksekutif.
Perkembangan kompensasi eksekutif memasuki dilema selama dan setelah krisis keuangan 2007-2009. Banyak pihak menuduh kompensasi eksekutif sebagai penyebab krisis keuangan di seluruh dunia. Mereka menduga bahwa para eksekutif berani untuk mengambil proyek-proyek atau investasi yang berisiko, untuk mendapatkan insentif yang lebih tinggi tanpa mempertimbangkan keberlanjutan perusahaan. Pada awalnya, tujuan kompensasi adalah untuk mengatasi masalah principal-agent,memperkuat hubungan antara gaji dan kinerja, (silahkan baca artikel ini untuk memahami bahasan ini).
Frydman dan Saks, para peneliti di bidang kompensasi eksekutif, berpendapat bahwa Performance-Pay Sensitivity (PPS) terus menguat sejak 1970-an. PPS adalah sebuah ukuran yang mengukur pengaruh dari kompensasi yang diterima oleh eksekutif kepada profit perusahaan atau nilai saham. Kenaikan PPS mengindikasikan bahwa peran kompensasi telah sesuai dengan yang diharapkan. Namun, meningkatnya PPS tidak otomatis memecahkan masalah kompensasi.
Tantangan baru muncul ketika para eksekutif bersedia mengambil risiko untuk memenuhi kriteria kinerja perusahaan. Iming-iming insentif mengubah eksekutif yang menghindari risiko (risk averse) tidak hanya menjadi eksekutif yang mau mengambil risiko (risk taking) tapi menjadi eksekutif tersebut melakukan langkah-langkah yang memiliki risiko yang berlebihan (excessive risk). Rasionalisasinya adalah opsi saham dan hibah saham, di satu sisi, membuat kepentingan pemilik dan eksekutif bertemu, namun di sisi lain juga secara agresif menggoda eksekutif untuk mendapatkan keuntungan dari proyek-proyek berisiko.
Dengan proporsi stock option yang tinggi dibandingkan gaji pokok dan bonus misalnya, artinya eksekutif akan berfokus untuk meningkatkan nilai saham perusahaan, untuk secara simultan meningkatkan kompensasi yang diterimanya juga. Efeknya, eksekutif jadi mau mengambil risiko untuk meningkatkan harga saham. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, semakin tinggi harga saham di pasar dibandingkan dengan harga opsi saham berarti bahwa kompensasi yang diterima oleh eksekutif akan semakin besar.
Masalah serius muncul ketika upaya yang dilakukan oleh eksekutif membawa risiko Idiosyncratic yang merupakan risiko dari keputusan yang salah dibuat oleh eksekutif terkait dengan strategi bisnis, menghasilkan hasil yang berlawanan, harga saham jatuh. Iming-iming insentif bisa membuat keputusan eksekutif untuk menjadi bias dan tidak objektif, termasuk pertimbangan matang.
Secara singkat, excessive risk yang dilakukan oleh para eksekutif di banyak perusahaan di Amerika Serikat saat itu, khususnya yang bergerak di bidang keuangan, akhirnya berdampak pada terjadinya krisis keuangan yang menyebar dengan cepat tidak hanya di negeri paman sam saja tetapi menjalar ke seluruh pelosok dunia. Sebagai respon dari kondisi ini, Pemerintah Amerika Serikat yang diikuti oleh berbagai negara termasuk Indonesia, mulai mengatur tentang bagaimana penerapan kompensasi bagi eksekutif, terutama yang berkaitan dengan kompensasi berdasarkan ekuitas seperti stock option dan stock grant.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H