Mohon tunggu...
Betrika Oktaresa
Betrika Oktaresa Mohon Tunggu... Administrasi - Full time husband & father. Part time auditor & editor. Half time gamer & football player

Full time husband & father. Part time auditor & editor. Half time gamer & football player

Selanjutnya

Tutup

Politik

Berfungsikah Government Public Relations (GPR) Indonesia?

22 Juni 2015   09:38 Diperbarui: 13 Juli 2015   06:11 2502
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbicara tentang Government Public Relations (GPR) atau yang dikenal dengan humas pemerintah, tidak dapat dilepaskan dari sejarah yang panjang. Berbicara tentang Government Public Relations maka akan berhadapan dengan bagaimana sikap pemerintah kepada masyarakatnya, dan bagaimana humas pemerintah diperankan.

Menurut Harword L Childs sebagaimana dikutip buku Executive Public Relations, dijelaskan adanya perubahan antara humas di masa lalu dan saat ini. Di masa lalu, humas atau seorang yang menjalankan tugas sebagai seorang humas lebih merupakan juru bicara dari pihak yang diwakilinya. Keberpihakan tersebut bersifat mutlak. Dalam artian seorang humas bahkan harus menjadi “pembela” dari pihak yang diwakilinya. Tidak jarang seorang humas harus “memelintir” kenyataan dalam suatu informasi yang harus disampaikan agar lebih mencerminkan adanya suatu kebenaran pada pihak yang terwakili. Sedangkan, Humas saat ini lebih mementingkan adanya komunikasi dua arah. Humas membuka diri untuk menerima masukan dan saran, berdiskusi untuk mencapai pemahaman yang optimal terhadap suatu permasalahan. Sehingga Humas sekarang bukan lagi sebagai “penyambung lidah” namun lebih merupakan “penghubung ide dan kebijakan”, sehingga keberadaan humas mampu membawa perubahan kepada organisasi atau institusi yang diwakilinya.

Hal ini dapat digambarkan dengan perkembangan kehumasan di Amerika Serikat. Pada masa Perang Dunia I, Pemerintah Amerika Serikat mengeluarkan dana yang sangat besar untuk menciptakan peran humas pemerintah sebagai media penyampaian informasi kepada masyarakatnya. Namun, informasi yang disampaikan tersebut lebih banyak berisi propaganda dan manipulasi. Sadar atas ‘penyelewengan fungsi’ humas tersebut, pada tahun 1913 beberapa special interest group (Lembaga Sosial Masyarakat-red) dan para aktivis mulai menyuarakan ketidaksetujuannya atas peran humas pemerintah. Puncaknya, ketika U.S. Congress menerbitkan 1913 Gillett Amendment yang berisi larangan kepada Pemerintah Amerika Serikat untuk mengeluarkan dana untuk publisitas tanpa adanya persetujuan dari U.S Congress. Berawal dari hal tersebut, humas pemerintah di negara tersebut mulai diperbaiki perannya.

Perkembangan peran humas pemerintah seperti di Amerika Serikat juga terjadi secara global, termasuk di Indonesia. Hal ini semakin dipertegas oleh Pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden RI Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Kehumasan pemerintah akan diperkuat dengan kelembagaan yang jelas. Memperkuat humas pemerintah yang sebelumnya berfondasikan pada peraturan perudangan yang tercantum dalam Pasal 28F UUD 1945, UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, dan Permenpan Nomor 30 Tahun 2011 tentang Pedoman Umum Tata Kelola Kehumasan di Lingkungan Instansi Pemerintah.

Senada dengan pernyataan Harword L Childs, Menteri Sekretaris Negara Pratikno dalam acara Forum Tematik Kehumasan dengan tema ‘Penguatan Kelembagaan Humas Pemerintah Pusat dan Daerah untuk Mendukung Fungsi Government Public Relations (GPR)’ juga menyampaikan bahwa Humas menyampaikan apa yang dilakukan oleh pemerintah dan diwaktu yang sama juga mendengar apa yang diinginkan oleh masyarakat. sehingga Humas menjadi pilar penting di dalam demokrasi. Humas sebagai jembatan demokrasi dan birokrasi, kehumasan mendengar dan kehumasan juga menyampaikan.

Pria yang akrab disapa ‘Pak Rektor’ oleh Presiden RI Jokowi ini menambahkan bahwa kehumasan itu mencakup hal yang sangat kaya, merupakan jembatan, merupakan spirit demokrasi di dalam tubuh birokrasi, menjembatani pemerintah dengan masyarakat, resiprokal dua pihak, membangun publik trust, dan membangun kepercayaan publik. Seharusnya kebijakan itu integrated, seharusnya konten komunikasi adalah terintegrasi, seharusnya kita mampu membangun narasi tunggal bahwa ada cross-check, ada data yang sama, ada angle yang sama. Perlu adanya format mekaninsme kerja, kelembagaan yang bisa mensinergikan antar unit pemerintahan secara horizontal dan vertikal, sehingga mampu untuk mengkomunikasikan kebijakan pemerintah, mampu menjaring aspirasi masyarakat sebagai masukan kebijakan itu secara sinergis.

Pengembangan Government Public Relations (GPR) juga tidak dapat dilepaskan dari kemajuan teknologi yang ada saat ini. Semakin luasnya jangkauan jaringan internet di Indonesia, ditambah dengan semakin ‘menjamurnya’ pengguna media sosial, harus ditanggapi dengan positif oleh humas pemerintah. Menteri Komunikasi dan Informasi Rudiantara menyatakan bahwa dalam dunia yang dinamis ini, dibutuhkan sesuatu yang reachable oleh masyarakat. Oleh karena itu, harus ada perubahan yang terjadi di dunia kehumasan, terutama dengan hadirnya teknologi baru yang menyebabkan makin luasnya cakupan media yang digunakan untuk berkomunikasi.

Lebih lanjut lagi selain pemanfaatan teknologi, menurut Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi, keberhasilan Government Public Relation (GPR) membutuhkan kemampuan berkomunikasi yang tinggi, pengendalian sarana komunikasi yang efektif, membuat agenda setting dan menekuninya berfokus pada capaian target komunikasi. Saat ini dibutuhkan cara membangun solidaritas hubungan sosial yang kuat, trust (kepercayaan), dan dukungan seluas-luasnya dari seluruh komponen bangsa kepada pemerintah.

Keberhasilan Government Public Relation (GPR) akan mendukung terciptanya Open Government atau Pemerintahan Terbuka. Menurut David Beetham dan Kevin Boyle, keduanya pakar di bidang demokrasi dan HAM, ciri-ciri pemerintahan terbuka adalah pemerintah menyediakan berbagai informasi faktual mengenai kebijakan yang akan dan sudah dibuat. Kemudian, adanya peluang bagi masyarakat dan media untuk mendapatkan atau mengakses berbagai informasi pemerintah. Lalu, terbukanya rapat-rapat pemerintah bagi masyarakat dan media, termasuk rapat-rapat di parlemen. Terakhir, konsultasi publik yang dilakukan secara sistematik oleh pemerintah mengenai berbagai kepentingan yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan.

Sekretaris Kabinet RI Andi Widjajanto menyampaikan bahwa terdapat tiga pilar Open Government yaitu transparansi, dalam arti 100% informasi yang sekarang ada di pemerintah, 95% mestinya informasi terbuka yang bisa diketahui oleh publik, 4% informasi tertutup merupakan ruang rahasia Negara atau rahasia instansi, dan 1% informasi yang hanya diketahui Tuhan. Kewajiban Humas Pemerintah adalah memastikan 95% informasi tersebut menguak, beredar ke masyarakat dengan cara yang cepat dan tepat sesuai dengan karakter. Kedua, kolaborasi, dalam arti kolaborasi antar humas pemerintah saja tidak cukup. Sebaiknya dilakukan juga kolaborasi secara virtual dengan cara mengenali simpul-simpul utama dalam masyarakat yang membantu pemerintah membuat transparansi dan bergerak lebih cepat. Terakhir, pilar partisipasi. Pemerintah melakukan konsultasi kepada masyarakat luas, sehingga masyarakat berpendapat sama dengan opini yang disampaikan pemerintah. Melalui pilar ini diharapkan pemerintah dapat menanggapi opini negatif dengan menerbitkan informasi-informasi yang lebih tepat dan menarik.

  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun