Mohon tunggu...
lovelivelaugh
lovelivelaugh Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - pelajar

Di seberang sana, aku merasa segala hal bersifat rasional dan logis. Di sini, stagnansi dihancurkan atau setidaknya dielaborasi menjadi lebih puitis dan romantis.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Jiwa

14 Januari 2025   23:46 Diperbarui: 15 Januari 2025   01:18 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam ini bulan purnama dan waktu menunjukkan pukul 23.00. Menjadi manusia bagiku hanyalah soal kehidupan dan kematian. Mereka yang berani melalui dinamika sosial tentunya akan hidup, sedangkan mereka yang berani tidak melauinya akan mati.

Aku sengaja menyebutnya "berani tidak melalui" karena siapapun yang masih hidup sebenarnya tidak memiliki kesempatan untuk menolak dinamika sosial sekecil apapun.

Dengan kata lain, menolaknya sama saja berani untuk merenggut kebebasan mutlak kita dari dunia ini ke dunia yang sepenuhnya belum pernah kita kunjungi.

Belakangan aku berpikir kita semua sama beraninya untuk menghadapi apa yang terjadi di dunia ini. Mengapa kita tidak melanjutkan hidup ketika kita berani untuk menghabisi nyawa sendiri, sedangkan kemungkinan terburuk dari kehidupan adalah kematian?

Kamu bebas menentukan arti menjadi manusia versi masing-masing, tetapi aku yakin bahwa omong kosong di atas hanya kebisingan di kepalaku ketika rembulan mulai mengisi malam hari menyairkan kesunyian di sekitarku.

Hal itu berbeda jika episode atau lebih spesifiknya situasi ketika kemungkinan terburuk itu datang dan kematian langsung menjemput begitu saja.

Di lain sisi, akan selalu ada faktor yang membuat manusia sepertiku merasa kalut dalam menjalani kehidupan. Dan aku yakin akan selalu ada sisi-sisi lain di antara sisi tersebut.

Aku beranjak dari kasur, menuju gelanggang lara. Sebuah tempat yang selalu ku kunjungi kala sesuatu menyulitkanku. Demikian aku menamainya, ia hanyalah balkon kecil dengan atap yang bahkan tidak bisa melindungi dari basahnya hujan dan teriknya panas.

Bak diplomat ulung, aku bersiasat untuk tetap terkoneksi dengan jiwaku yang tak jarang mengandalkan stimulus demi memperlancar segalanya. 

Diriku terombang-ambing ditiup landainya angin, suara-suara kian terdengar namun sarafnya menuju otak telah dibajak kelompok tak dikenal. 

Bahagiaku, lamunanku, aku ingin tinggal di fase kehidupan ini selamanya. Realitas sosial tidak lagi revelan bagiku. Semua memori terlihat baik-baik saja untuk diingat kembali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun