Mohon tunggu...
Pratiwi Wini Artati Hidayat
Pratiwi Wini Artati Hidayat Mohon Tunggu... pegawai negeri -

A wife/government staff/ed-media-tech enthusiast/long life learner/proud Geminian/cat lover/scifi,corn soup & sushi addict/dreamer/risk taker/procrastinator\r\n\r\nI come, I love, I adapt, I flow, I learn, I survive!\r\n\r\nCarpe Diem!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Menyambangi Panca Inderaku dalam Javanologi: Suluk Tembangraras - Sebagai Seorang Istri, Wanita Jawa itu Seperti Lima Jari

12 Oktober 2012   08:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:54 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Persembahan untuk suamiku tercinta,

Jujur, jika dengan pikiran, agak susah memahami dan mencerna hal ini. Bukannya berusaha mangkir atau menolak konsep yang digambarkan oleh Raja Paku Buwana V mengenai sosok wanita Jawa sebagai seorang istri, namun karena perkembangan jaman via “satelit emansipasi dan feminisme” yang tak bisa dipungkiri telah menciptakan suatu "shift" dalam kehidupan wanita untuk mendapatkan kesempatan dan achievement yang relatif sejajar dengan kaum pria, persepsiku terhadap peran dan sosok seorang istri juga "shifted". "Shifted" disini bukan berarti lalu kurang ajar dan melupakan kodrat serta bisa seenaknya...bukan, bukan seperti itu. Hanya saja, hal ini mengingatkanku pada apa yang selalu dikatakan oleh eyang putriku dan mamaku "Ndhuk, bagaimanapun kondisimu, apapun keadaanmu, kamu harus ingat bahwa dirimu adalah seorang wanita. Eyang dan mama memahami karakter dan keinginan mu yang super keras serta kemandirianmu yang terkondisikan oleh keadaan hidupmu, namun jangan sampai semuanya itu menutupi akar kepribadianmu sebagai seorang wanita Jawa, apalagi nantinya sebagai seorang istri atau garwa, yang artinya adalah sigarane nyawa dari calon suamimu. Pengabdian dan Nrima-mu ing pandhum terhadap suamimu nantinya jangan diartikan sebagai suatu kekalahan dari suatu kelemahan dan kepasifan, namun jadikanlah semua itu sebagai perwujudan rasa cinta dan cipta baktimu yang lahir dari sebuah keikhlasan hati. Ingat, dalam perkawinan itu tidak ada kalah menang, tidak ada kuat lemah". Waktu pertama dulu diriku diberikan wejangan seperti itu (kalau ga salah semasa awal SMA) dalam hati aku berkata “ga salah nih wejangan? Mengalah itu bukan sesuatu yang mudah buatku yang sejak awal telah terbiasa bersaing dan berkompetisi utk meraih yg terbaik. Mengabdi itu juga bukan sesuatu yang gampang untukku karena aku tidak mau didikte begitu saja tanpa alasan yg jelas dan masuk akal. Terlebih lagi, sejak dulu aku sudah terkondisikan untuk bergantung pada diri sendiri, mengambil keputusan sendiri, dan memanjakan diri sendiri. Absennya figur dan sosok seorang ayah juga membuatku tidak terbiasa bermanja-manja dan harus trial-error mengatasi segala suka duka hidup yang pada akhirnya membuatku menjadi agak sedikit berbeda memaknai arti sebuah perkawinan. Namun dengan berlalunya waktu dan bertambahnya umur, lambat laun kekeras-kepalaan-ku dan keterlalu-mandirian-ku mulai dapat mengkompromikan dirinya (mudah-mudahan tidak terlambat). Dan, akupun mulai menyadari dari hati bahwa apa yang sudah diwejangkan Oleh eyang putri dan mamaku bukanlah suatu “bumper sticker” ataupun “slogan” semata. Butuh waktu bertahun-tahun untuk menyadari semuanya itu dari hatiku yang paling dalam walaupun harus aku akui bahwa terkadang ke-aku-anku yang keras masih harus di “training” (Oleh diriku sendiri tentunya). Nah, berikut ini adalah kutipan dari apa yang digambarkan Oleh Raja Paku Buwana ke V pada tahun 1809 dalam buku Suluk Tembangraras mengenai sosok wanita Jawa sebagai seorang istri, yang tentunya, masih terus berusaha kupelajari dengan hati: “Sosok wanita jawa itu seperti lima jari. Ibarat jempol, istri harus pol mengabdi kepada suami.Ibarat Jari telunjuk, istri harus mentaati perintah suami. Ibarat panunggul (jari tengah), istri harus bangga akan suaminya, bagaimanapun keadaannya. Ibarat jari manis, istri harus selalu bersikap manis dengan suami. Dan ibarat jejenthik (jari kelingking), istri harus selalu berhati-hati, teliti, rajin dan terampil dalam melayani suami dan anak2nya” (Suluk Tembangraras by Paku Buwono V, 1809). *Memang, posting ini dibuat saat aku belum pernah merasakan menjadi seorang istri, let alone seorang ibu, namun setidaknya aku ingin mulai belajar memahami konsep ini sebaik-baiknya dengan perspektif yang lebih dalam, lebih luas, dan lebih bijak (now that I am and for some reasons, there's part in me that automatically and willingly accept certain essential roles as a wife in Javanese culture). Semoga bermanfaat…. --WINI: Happily Married--

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun