Mohon tunggu...
Fidel Hardjo
Fidel Hardjo Mohon Tunggu... -

pegawai swasta, bekerja di jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Korupsi Itu "Indah”

14 Januari 2014   10:13 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:51 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KORUPSI ITU "INDAH"

Fidel Hardjo

Semakin korupsi dilarang, semakin menjadi. Tidak heran, semakin ditangkap, semakin bandel. Hari ini berita koruptor ditangkap. Besok muncul pemain baru. Pemainnya tidak solo lagi. Pemainnya sudah mirip team sepak bola. Keberhasilan berkorupsi paling nyaman bermain dalam team. Kira-kira begitulah apa yang terjadi.

Tak sedikit membuat orang galau. Gara-gara korupsi. Galau bagaimana menangkapnya. Agar betul-betul tertangkap basah. Kadang stress. Kadang berhasil. Selebihnya sulit ditangkap. Sebab, aksi korupsi sudah beraksi dalam team. Mirip strukturasi sepak bola. Ada wasitnya. Ada pemain inti. Ada juga pemain cadangan.

Di luar lapangan, struktur juga ada. Ada pelatih. Asisten pelatih. Pokoknya lengkap. Seperti inilah mekanisme korupsi. Strukturnya meksi tak terlembaga tapi operasinya melampaui keahlihan dan keakuratan kinerja lembaga resmi. Karena kerjanya dalam team, maka pantang bermain curang. Apalagi, coba-coba membuka rahasia team.

Kalau pun itu terjadi, siap "dihukum" secara kode etik team. Team akan berjuang memojokinya. Bila perlu, dosa team itu dibebankan kepada pelaku. Manuver seperti ini sering terjadi. Setelah pelaku ditangkap, rahasia team terbongkar. Tapi, benteng pertahanan team jauh lebih tangguh. Kalaupun ada kebocoran tapi mudah "dianulir".

Kita sebagai penonton reaksi pun berbeda. Ada yang heroik. Ada pula acuh tak acuh. Nyaris kelompok acuh tak acuh menjadi pilihan terakhir. Alasannya sederhana. Paling semakin diteriakin, semakin menjadi. Sepertinya pilihan kita sudah mengarah ke titik ini. Nyaris tak gubris. Ada doa. Semoga mereka ditangkap.

Pasrah total. Saya mungkin ada di barisan ini. Tapi setelah saya berpikir, mengumpat koruptor pun tidak menyelesaikan. Menghukum dan memenjara mereka pun bukan solusi tanpa masalah. Buktinya, hampir setiap saat kita menghitung koruptor bak menghitung batang rokok. Habis isap satu, tarik lagi batang yang lain.

Saya berpikir agak lain. Paling tidak muncul ide "menantang" di tengah kepasrahan. Korupsi itu sehat. Sehat jika dia atau teamnya itu menggunakan hasil korupsinya itu untuk kepentingan orang terbanyak. Bukan tanpa masalah. Sebab kriteria terbanyak bisa saja untuk dua orang. Jumlah terbanyak itu relatif. Kriteria ini perlu "diset" lagi.

Maksud kriteria "diset" adalah jumlah orang terbanyak. Jumlah terbanyak paling tidak di atas ribuan orang. Saya hanya membanyangkan. Jika ada 100 koruptor dan hasil korupsinya dibagi-bagi minimal untuk 1000 penduduk, maka korupsinya menyejahterakan 1000 warga. Jika ini benar-benar terjadi, maka korupsi itu sehat.

Tentu saya tidak asal munculkan ide. Jeremy Bentham, filsuf dan ahli hukum Inggris. Bentham dikenal sebagai "Bapak Utilitarian". Bentham yakin kejahatan sosial tidak pernah tuntas diselesaikan. Dikutuk sudah. Dihukum gantung sudah juga. Hampir tidak ada cara lagi. Solusinya yaitu mengolah kejahatan secara positip.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun