Mohon tunggu...
Fidel Hardjo
Fidel Hardjo Mohon Tunggu... -

pegawai swasta, bekerja di jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pilkada Langsung oleh DPRD (Tidak) Koruptif?

21 September 2014   22:10 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:01 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PILKADA LANGSUNG OLEH DPRD (TIDAK) KORUPTIF?

[caption id="attachment_343674" align="aligncenter" width="604" caption="sumber foto: voaindonesia.com"][/caption]

Fidel Hardjo

Pilkada langsung oleh rakyat kembali diperdebatkan. Seru sekali. Titik perdebatannya adalah pilkada langsung oleh rakyat dinilai koruptif. Karena itu, sebaiknya dipilih oleh DPRD saja. Siapa yang korupsi, ya? Rakyat?Tidak. Kalau bukan rakyat lalu siapa? Setan? Lebih tidak lagi! Kalau begitu siapa sih koruptor itu?

Koruptor itu bukan rakyat. Bukan pula setan, lalu siapa? Jawabannya tidak susah amat. Koruptor adalah para politisi. Pertanyaan berikut adalah jika para politisi yang koruptif, mengapa hak pilih rakyat dalam pilkada yang dilucutkan? Aneh sih, ya. Bukankah seharusnya para politisi yang koruptor itu perlu dipenggal saja kepalanya.

Bukan meniadakan hak rakyat. Politisi yang koruptor itu mestinya dibantai. Bila perlu dipenggal kepalanya. Mengapa tidak bersuara lantang untuk memusnahkan para politisi keparat itu. Tetapi lebih kecantol mengutak-atik hak politik warga. Apa sih mau kalian, wahai para politisi? Apakah jika pilkada dipilih oleh DPRD tidak koruptif?

Pertanyaan ini mesti serius dijawab. Apakah pilkada yang diwakili oleh DPRD sudah bebas dari korupsi? Sabar. Bukankah pilkada konyol ini dulu pernah diterapkan? Jual dan barter suara di antara partai politik justru lebih kinclong. Tak terhitung yang bermain jual-beli suara secara sunyi senyap antara anggota DPRD. Edan, benar ya!

Sudah jelas korupsi, ya. Lalu, rakyat tinggal dijadikan penonton. Di mana partisipasi politik rakyat? Kosong. Itu berarti, pilkada langsung oleh DPRD sudah koruptif lalu rakyat dianggap sampah. Sejelek-jeleknya pilkada langsung oleh rakyat, toh masih ada rasa kepuasan. Sebab, warga ikut memilih. Soal korupsi itu perkara para politisi!

Ada apa sebenarnya? Justru kicauan pilkada langsung ini dinahkodai oleh partai koalisi yang kalah dalam pertarungan pilpres baru-baru ini. Gertak dan semangat 45 sekali. Alasan mereka pun sangat mulia. Lebih mulia dari isi UUD 45 dan Pancasila. Benarkah niat mereka sangat mulia? Atau, isyarat betapa sulit merebut hati rakyat?

Kita lihat saja. Ternyata hampir semua politisi yang gagal merebut hati rakyat, gagal terpilih. Entahkah menjadi anggota DPR, kepala daerah, atau presiden sekalipun. Sudah menghambur-hamburkan duit, tetap saja tidak terpilih. Justru Jokowi yang tidak punya duit untuk iklan dan serangan fajar, malah tampil sebagai pemenangnya.

Alasan pilkada langsung oleh warga yang dinilai koruptif, tidak efesiensi, dan boros. Dipatahkan oleh fakta. Tanpa duit sekalipun Jokowi bisa menang. Bahkan warga ikut sumbang untuk kampanyenya. Mengapa semua ini bisa terjadi? Begitu entengnya. Tidak ada beban.Tidak perlu siap duit berkarung-karung. Asalkan, dipercayai warga.

Cuma. Biaya pilkada bisa saja melonjak berlipat-lipat. Apakah ini terlalu boros? Boros, ya. Negara bertugas untuk mengalokasikan dana. Itu kewajiban. Apalagi, duit biaya pemilu itu adalah duit rakyat. Bukan duit sekelompok orang. Jika duit itu digunakan untuk memuaskan kepentingan publik, mengapa harus dikatakan boros?

Persoalannya adalah kalau sudah boros, lalu hasil pemilu itu tidak memuaskan apa-apa apalagi sampai menyengsarakan warga. Bukankah itu lebih konyol. Daripada duit negara dikorupsi oleh oknum-oknum politisi yang rakus, lebih baik duit rakyat dimanfaatkan untuk kepentingan publik. Termasuk, urusan pilkada seperti sekarang.

Sebenarnya sangat gampang dibaca. Mengapa para politisi begitu ngotot mengusulkan pilkada langsung tetapi oleh DPRD. Itulah keuntungan ketika ada partai koaliasi. Ketika koalisi partai makin gemuk di tingkat DPRD, maka gampang memilih dan mengalahkan oponen yang mengandalkan dukungan rakyat jelatawan.

Alasan ini sangat kuat. Lebih kuat dari isu yang ditiupkan soal maraknya korupsi dan ketidakefisiensian pilkada langsung oleh rakyat.Dasar pemikiran mereka lebih mengacu kepada keuntungan politik. Bukan apa yang terbaik dan memuaskan warga. Emang politisi kita setelah dipilih memikirkan nasib warga? Satu dua, ya ada.

Selebihnya tidak peduli dengan nasib warga. Kalaupun ada rasa peduli, karena sebuah keterpaksaan dan sandiwara politik. Itu saja. Lebih banyak memikirkan nasib dirinya sendiri. Dan, separuhnya lagi adalah memikirkan partainya. Omong kosong jika politisi kita berkoar-koar bahwa hidupnya 24 jam untuk kepentingan rakyat luas.

Buktinya ketika warga mengalami kesulitan, para politisi sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri. Kapan kita dengar politisi kompak membela rakyatnya? Nyaris tidak ada. Kekompakan di sini mengandaikan ada satu kepentingan yang sama yaitu kepentingan warga banyak. Artinya, kepentingan warga banyak bukan tujuan politik.

Kekompakan itu tidak ada. Protes sana sini. Voting lagi. Sudah voting sampai larut malam hasilnya juga nol. Kok, tak ada hasil? Itulah tingkah para politisi kita. Benar Aristoteles. Filsuf Tua ini mengatakan manusia adalah binatang politik. Bahkan tidak sekadar binatang politik. Tapi, politik politisi kita sudah membabi-buta kebinatangan.

Tengok saja. Ada politisi seperti lalat. Di mana ada daging mentah, hinggap di situ. Sudah isap daging segar, diberakin dengan kotorannya, lalu biarkan membusuk. Sudah dipilih warga. Sudah menang. Rakyatnya dikentutin. Ada lagi tingkah seperti semut. Di mana ada gula di sana mereka berkerumun berpesona ria dan keroyokan.

Politisi kita pun begitu. Di mana ada isu manis. Berkerumun. Berpesona. Antena politiknya sangat kuat. Habis manis sepah dibuang. Semut masih lebih baik. Setelah kenyang, ya balik ke sarang. Politisi kita lain. Sudah mengecap rasa manis di satu tempat dalam tempo sama, masih saja rakus cari lapak manis baru. Tidak kenyang!

Dan tingkah politik paling jelek adalah seperti lebah-lebah. Ke mana ratu lebah menuntun ke sana lebah lain berbondong-bondong. Hilang jati diri. Diajak ke jurang sekalipun tetap saja ikut. Setianya bukan main. Persis seperti ini para politisi kita. Mirip gerombolan lebah. Ikut pemimpin secara buta meski tidak baik dan tidak benar.

Kita terkejut. Dan, pasti para politisi lain lebih terkejut. Ketika Ahok ancang-ancang(sudah) minggat dari partai induknya jika partainya mati-matian mendukung pilkada langsung oleh DPRD. Sebuah contoh aksi politik yang heroik keluar dari kotak hitam. Luar biasa.Justru ini yang ditunggu-tunggu oleh rakyat. Bukan membeo.

Akhirnya, apakah pilkada langsung oleh DPRD yang dikoar-koar oleh para politisi sekarang lebih hemat, tidak koruptif, dan efisiensi bisa saja jawabnya, ya. Sesuai dengan alasan mulia mereka. Tetapi sabar dulu. Pertanyaan yang patut disejajarkan yaitu apakah rakyat puas? Jika rakyat tidak puas dan protes, apa masih ngotot Pak?

Kalkulasi untung rugi pilkada langsung oleh DPRD, tidak salah. Tetapi sudah lama kalkulasi kausalitas seperti ini diterapkan. Juga hasilnya tidak ada apa-apa. Sudah hasilnya tidak apa-apa. Rakyat juga tidak puas. Kita pun terjebak. Sejelek-jelek pilkada langsung oleh rakyat tetapi rakyat puas. Kepuasan rakyat harus nomor satu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun