Mohon tunggu...
Fidel Hardjo
Fidel Hardjo Mohon Tunggu... -

pegawai swasta, bekerja di jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

“Merampok” Suara Tuhan

14 Oktober 2014   03:01 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:08 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

foto pribadi

Fidel Hardjo

Suara rakyat, suara Tuhan. Terdengar ramai akhir-akhir ini. Terutama saat pemilihan ketua DPR. Lantang lagi, ketika pemilihan ketua MPR. Suara bulat pemilihan ketua DPR dan MPR “diklaim” suara dewan adalah suara Tuhan. Sejuta tanya muncul. Apakah ini benar suara Tuhan? Atau, ini sekadar suara “tuan-tuan” di Senayan saja!

Pertanyaan ini bukan baru. Sudah sekian sering kita tergelayut pada prahara yang sama. Kita menarik isi pikiran Tuhan ke dalam pikiran kita. Dengan gampang, kita membenarkan aksi kita atas nama suara Tuhan. Membunuh orang atas nama suara Tuhan. Mencuri dan korupsi, juga. Di Senayan pun terpekik atas nama suara Tuhan.

Mari bongkar cerita lama. Teroris beraksi. Ditangkap polisi. Suara Tuhan pun “diakbarkan” di sana. Apa suara mereka adalah suara Tuhan? Sulit ditebak. KPK tangkap koruptor. Suara Tuhan berbusah-busah keluar dari mulut mereka. Suara Tuhan. Tidak kalah menarik. Ketika palu hakim diketok. Suara Tuhan “diperebutkan”.

Hakim dengan lancang mengklaim. Ini suara Tuhan. Koruptor pun tidak mau kalah. Gugatannya adalah suara Tuhan. Suara Tuhan yang mana? Kita juga bingung. Pertanyaan cukup menarik. Perlukah kita menyuarakan suara Tuhan? Kita harus bersuara Tuhan yang diam. Apakah Tuhan tak punya mulut bersuara untuk diri-Nya?

Suara Tuhan yang diam “disembunyikan” oleh manusia. Manusia dengan sedikit kesucian agamanya berteriak mewakili suara yang diam itu. Kata-kata suci keluar dari mulutnya adalah suara Tuhan. Russel (1957), Hume, Kant, dan Feuberbach menyindir “keangkuhan” agama manusia itu sebagai “remedy for existensialist fear”.

Agama telah menjadi penjinak ketakutan eksistensial manusia. Takut berdosa, tetapi gemar berbuat dosa. Takut pikiran ateis tetapi tindakannya ateis. Cara berada manusia yang rapuh, kotor, dan kejam itu menimbulkan ketakutan bagi dirinya. Suara Tuhan yang diam “dirampok” manusia untuk menguduskan tindakan jahatnya.

Oleh karena, Tuhan yang diam(God must be sleeping,versi Gregg Tyler Milligan) dan berdiam di singgasana, maka manusia berlomba-lomba menyuarakan suara yang diam itu. Manusia tidak pusing. Benar atau salah. Baik atau buruk. Yang terpenting manusia menyuarakan suara Tuhan yang diam itu. Manusia pun jadi suci.

Padahal, Tuhan menyapa lebih lantang meski tanpa suara dan bahasa manusia sekalipun. Manusia yang punya religius(having) meski tidak religius apa-apa (not being) mewakili suara Tuhan yang diam untuk justifikasi dirinya. Oleh sebab itu, Jean-Paul Sartre dengan kecewa mengumpat. Manusia yang “menciptakan” dirinya.

Manusia menciptakan ketidakadilan, kejahatan, kekejian, dan kesombongan. Untuk menyucikan “ciptaannya” itu, manusia perlu dibeking dan disokong dengan mantra agamanya. Sehingga, segala sesuatu (the evil doers) yang jahat mendapat legitimasi religius. Jika, nama Tuhan dihadirkan dalam perkara, semuanya disucikan.

Kita pun terperanjat. Apakah ajaran agama sejelek itu. Apakah Tuhan yang diam seegois itu. Tidak. Saya setuju dengan Jean Paul Satre bahwa “man makes himself”. Tuhan itu baik. Agama itu baik, ya. Pancasila itu baik, ya. UUD 45 itu baik. Semuanya baik adanya. Cuma manusia itu ciptakan “tuhan” untuk kehendak dirinya.

Tuhan yang diam itu bersuara di dalam kitab suci masing-masing agama. Semuanya bersuara lantang tentang kebenaran, keadilan, kekudusan, dan kesejahteraan manusia. Jika suara Tuhan yang diam dalam kitab suci itu tidak dipolitisasi atau dikangkangi dengan kerakusan, maka seruan Nietzsche,Tuhan Mati yaitu ide konyol.

Rupanya Nietzsche tidak konyol amat. Seruan Nietzsche itu terjawab. Argumentasi Jean-Paul Satre pun menukik terdalam. Tuhan “disembelih” pelan-pelan tapi pasti oleh keserakahan dan kebobrokan manusia. Misteri Tuhan yang diam itu dirampok manusia untuk kesenangan dirinya. Manusia“ciptakan”dirinya supaya Tuhan diam.

Suara Tuhan yang diam itu memang “diciptakan” manusia. Sehingga, dalam “kediaman Tuhan”, manusia bebas menciptakan dan menyuarakan suara Tuhan yang misteri diam sesuai dengan tafsiran dan otaknya yang setakar sendok nasi. Hasilnya, suara monyet dibilang suara Tuhan. Suara harimau dikata suara malaikat.

Bagaimana dengan suara DPR dan MPR di Senayan? Pertama, mantra politik kuno mengatakan suara rakyat, suara Tuhan. Kedua, mantra demokrasi kita berkata suara DPR - MPR adalah (wajib) suara rakyat. Kombinasi kedua mantra ini, bisakah kita menarik konklusi rasional, suara DPR-MPR kita adalah suara Tuhan yang diam?

Saya pikir Anda tahu jawabannya. Suara rakyat? Kalaupun saya dan Anda mengatakan itu bukan suara rakyat. Tetapi mereka ngotot. Itu suara rakyat. Kalaupun kita mengatakan suara mereka bukan suara rakyat sekaligus bukan suara Tuhan. Tapi mereka bilang tidak. Suara mereka yaitu suara rakyat, Tuhan sekaligus.

Kita tidak akan berpijak pada satu titik pemahaman yang sama. Sebab, Tuhan yang diam mudah ditafsir bengkok. Ajaran kitab suci “dipaksakan” hadir dalam ruang politik. Tujuannya bukan “kebaikan banyak orang” tetapi untuk membungkus politik yang fana-kotor bertampak religi. Sulit diukur kebenaran menyuarakan suara Tuhan.

Hanya, Jeremy Bentham, seorang filsuf Inggris, yang disanjung oleh generasi filsafat sebagai Bapak Utilatarianisme mengatakan satu hal yang bisa kita camkan. Tujuan tindakan, mimpi, ide, dan kehendak manusia berujung pada dua hal yaitu menyenangkan(pleasure) dan menyakitkan(pain).Dua-duanya tidak bisa ditiadakan.

Oleh karena itu, untuk mengukur apakah suara tuan-tuan dewan di Senayan adalah suara rakyat dan suara rakyat itu adalah suara Tuhan yang diam? Bentham mengajukan calculus utilitarianistik:”The greatest pleasure for the greatest number”.

Jika gema dari “suara” itu berakibat lebih meyakitkan banyak orang daripada menyenangkan sedikit orang maka itu bukan suara rakyat. Bukan pula suara Tuhan. Jadi,mereka merampok dua-duanya! Rampok suara rakyat. Rampok suara Tuhan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun