Mohon tunggu...
Betarix polenaran
Betarix polenaran Mohon Tunggu... Buruh - Penulis dan Pencinta Sastra

Penulis lahir di Watobuku, 20 Juni 1995

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Perempuan Malang

6 Agustus 2019   10:50 Diperbarui: 6 Agustus 2019   11:09 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Pelacur...pelacur buka pintu," pintu kamarku digedor-gedor perempuan sialan itu. Aku membuka pintu itu, lalu perempuan itu membentakku, leher bajuku dicengkeramnya.

" Telanjangkan tubuhmu. Tiga jam mendatang, akan ada lelaki yang mendatangimu," wajahku pucat pasi. Pikiranku berkecamuk. Sebuah jendela masih setengah terbuka. Kuangkat tubuhku perlahan lalu keluar dari kamar mengikuti jendela.  Hujan rintik-rintik membasahi tubuhku.

            " Kamar tidak berpenghuni?" lelaki yang lain kaget. Wanita pemilik rumah pelacuran, memerintahkan seluruh petugas untuk mencari perempuan malang. Pencarian terus dilakukan di seluruh tempat sampai mereka menemukan perempuan malang itu di tengah hutan, tengah menghabiskan waktu untuk beristirahat. "Tolong...tolong...," teriakkku dengan suara keras.

Tubuhku ditendatang lalu dipukul. Rambutkku ditarik, lalu mereka menggotongku kembali ke tempat terkutuk itu. Aku hanya bisa meratapi kesedihan dengan tubuh yang telah rusak.

Tempat pelacuran adalah tempat perempuan malang sepertiku menemukan dirinya. Darah kental mengalir tanpa perasaan dari tubuhku. Mahkotakhu di renggut. Aku tubuh tanpa nyawa.

Sekembalinya aku ke kamarku, aku membangun sebuah kesepakatan pada diriku sendiri bahwa hidup bukan semata-mata merupakan keputusan diri sendiri, melainkan merupakan keputusan-keputusan orang lain. Aku perempuan malang-dan karena kemalangan aku belajar banyak hal termasyuk belajar menajdi perempuan yang paling santun dalam merayu lelaki.

Kini, di gerbang kompleks pelacuran sampai kamar miniku, aku bukan siapa-siapa dan tidak memiliki apa-apa. Satu menit yang lalu, ketika desas-desus bahwa esoknya ada jadwal bebas meskipun sehari, aku ingin menghabiskan waktu melihat matahari dan orang-orang kebanggaanku. Ah, alangkah lebih baik aku menghabiskan waktuku di sini, mengumpulkan potongan-potongan kain yang berserakan setelah malam yang paling ranum itu.

*Penulis adalah pencinta sastra. Saat ini menjadi anggota Agupena Flores Timur. Juara 1 Lomba Kritik Cerpen "Otak Rote" pada Festival Temu II Sastrawan NTT*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun