Mohon tunggu...
Betarix polenaran
Betarix polenaran Mohon Tunggu... Buruh - Penulis dan Pencinta Sastra

Penulis lahir di Watobuku, 20 Juni 1995

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Benang-benang Luka

26 Maret 2019   07:56 Diperbarui: 26 Maret 2019   07:58 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Helena, demikian sapaan manja untuk perempuan-yang keras kepala itu. Semenjak pertemuan singkat itu, dari setiap tatapan yang berbentur cinta dan keraguan, akhirnya giliran cinta bukan hanya tentang cerita dalam lembaran demi lembaran ataupun dongeng yang berklimaks bahagia, tetapi lebih kepada kesakitan-kesakitan seumpama benang-benang yang mulai luka pada sepotong hati yang belum siap menerima. Mengapa harus terjadi? Mengapa harus cinta? Mengapa pula Helena dan lelaki itu?. Aku hanya bisa menghela nafas panjang.  Aku bukan orang ketiga dalam kisah mereka. Aku hanyalah sebuah tubuh dengan sepasang mata yang memandang setiap kisah yang mereka bangun. Bedosakah?

Malam itu, hujan lebat mengguyur kota kecamatan. Aku ingat saat itu tahun dua ibu lima belas. Tahun yang membawa pergi kenangan tentang negaranya Timor Leste  dan negara Indonesia-negara pilihan orang tuanya.  Ayahnya, menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Umum Daerah. Kepergian ayah sekaligus mengungkap tabir kematian rasa dan asa keluarga. "Kami orang buangan ataukah migran perantau?. Tuhan, sekejam itukah?" kata lelaki itu sembari memeluk erat tubuh ibunya.  Ibu yang lebih pasrah pada detik-detik kematian ayah, mengangkat wajah setengah sadar lalu berbisik. 

Di luar jendela, gerimis mempercepat kelam. " Kita harus kuat. Akan ada matahari sehabis badai," Bulir-bulir air mata masih menjadi milik kami seutuhnya.  Beberapa jam kemudian, mobil ambulance sudah behenti di depan pintu. Jenasah ayah diberangkatkan menuju pusat kecamatan. Duka kami mesra pada dentum lonceng gereja.  

" Bukan kematian yang kami dambakan melainkan kehidupan di negara  yang kaki pijaki? Haruskah kami kembali dengan rela? Ataukah kami tetap disini dengan kesepian dan kenangan yang bukan menjadi milik kami lagi?" lelaki itu membaringkan sebagian tubuhnya di atas tanah, digenggamnya erat tanah yang dua atau bahkan tiga menit mendatang, membawa pergi tubuh ayahnya. Setelah kepergian ayah, Helena ditakdirkan untuk jatuh cinta dengan lelaki itu.

Beberapa tahun berselang, ibunya juga meninggal. Kekhawatiran akan hidup semakin  menambah daftar panjang kegelisahan dan kesedihan. Kali ini, bukan semata-mata tentang  hidup melainkan tentang kesadaran untuk bangkit dari kehidupan yang pernah ada. Betapa kuat hati Helena menerima kenyataan pahit antara diterima sebagai anggota keluarga atau harus pergi untuk melupakan segalanya. Benang-benang luka semakin menebal. Rasa dalam hati semakin sirnah. 

"Bagaimana mungkin, mencintai namun teluka? Bagaimana mungkin membuka hati  untuk mencintai, sedangkan penerimaan sebagai "diri yang dicintai"  pun masih dihitung dengan  angka matematis?. " Helena....Helena..... biarkan cinta itu belalu dari hadapanmu. Ini tentang harga dari sebuah tubuh. Engkau mengerti, bukan?" aku ceplas-ceplos pada hari-hari mati.

Seperti cinta, demikian tabiat Helena, ia tetap mencintai lelaki itu  kendati belati memahat perasaannya.

Matahari kembali ke bilik malam.  Morena meminta izin untuk kembali ke rumahnya.

Wanita tua itu masih dengan kekhawatiran yang sama terhadap Helena anak gadis satu-satunya. Berulang-kali, banyak pria mengunjungi rumahnya hanya ingin memikat hati gadis itu namun ditolaknya dengan alasan bukan cinta. " Bagaimana cara aku harus membujuknya. Keluaraga ini adalah keluarga beradat dan berbudaya", ibu membathin. Tuntutan budaya dan belis berupa gading merupakan warisan budaya yang telah melekat erat sejak zaman nenek moyang. 

Sekiranya, Helena menjatuhkan pilihan terhadap lelaki negeri seberang itu, maka lelaki itu pun harus menerima budaya sebagai wujud cinta yang total terhadap Helena. Adat dan belis merupakan ciri khas budaya Lamaholot. "Tok...tok...tok," pintu rumah diketuk.  Helena masuk dengan membawa berkas sebagai salah satu persyaratan menjadi pengawas pemilu kecamatan. Helena memang mempunyai cita-cita menjadi politisi sejak kecil. Pada musim politik, Helena selalu melibatkan diri dalam setiap kampanye. Lelaki negeri seberang pun tak lalai mengingatkannya tentang politik dan dinamika  dalam tubuh politik itu sendiri.

" Politik itu suci, politik itu mulia. Namun, politik itu dinodai oleh orang-oang yang tidak bermoral," Lelaki itu menjelaskan panjang lebar. Namun, apalah daya jika tangan tak sampai. Helena menempatkan  argumentasinya pada posisi selalu benar di mata lelaki itu, pun kepada orang tuanya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun