Mohon tunggu...
Betari Tyas Maharani
Betari Tyas Maharani Mohon Tunggu... Lainnya - Kata Imam Syafi'i, ilmu itu seperti hewan buruan, sedangkan tulisan adalah tali ikatannya. Maka ikatlah hewan gembalamu dengan tali yang kuat.

http://irumaharani.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Transisi: Memahami Proses Perubahan dalam Hidup

12 Juni 2022   18:46 Diperbarui: 13 Juni 2022   06:10 1301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Change is situational. Transition, on the other hand, is psychological. Unless transition happens, the change won't work, because it doesn't "take". (William Bridges)

Sejak awal membaca pendahuluan buku ini, saya sudah sok tau, merasa 'wah ini saya banget' karena begitu relate-nya. Sangat menarik.

Mulai dari bagian pengantar, Sir William Bridges dengan jelas langsung menggambarkan apa itu transisi. Selama ini kita sering salah kaprah, menyamakan transisi dengan perubahan. Padahal, perubahan itu suatu keniscayaan, sesuatu yang pasti, yang terus terjadi. Sebagaimana dunia yang terus berubah seiring berjalannya waktu dengan berbagai kisahnya, demikian juga kehidupan manusia. 

Sementara, transisi adalah kondisi psikologis yang dialami manusia dalam setiap gerak perubahannya.

Selama hidup, kita akan terus berubah. Perubahan fisik mulai dari bayi, remaja, dewasa hingga lansia. Perubahan aktifitas mulai dari masa kanak-kanak yang bebas, kemudian mulai masuk sekolah, memasuki dunia kerja, pernikahan, dan seterusnya. Lebih kecil lagi, di dalam lingkup dunia kerja, misalnya, kita pun akan terus mengalami perubahan, mulai dari masuk masa training, probition, 

mengejar jenjang karir, berganti tim, berganti lokasi kantor atau bahkan sesederhana berpindah ruang atau meja kerja hingga masa pensiun kelak pasti membutuhkan penyesuaian.

Dan penyesuaian peran/ aktifitas yang mengiringi perubahan itu biasanya menimbulkan rasa tidak nyaman dulu pada awalnya. Sedikit banyak kerinduan akan fase sebelumnya, kekhawatiran tidak bisa menjalani perubahan tersebut bahkan timbul keinginan untuk 'melarikan diri' karena merasa sangat sulit. Perubahan tidak akan berhasil sebelum keberhasilan dari transisi itu sendiri.

Bagian pertama buku Transisi ini adalah tentang "kebutuhan akan perubahan". Sebagaimana judulnya, bagian ini mengajak kita untuk benar-benar memahami bahwa perubahan itu hal yang pasti dan kita lah yang membutuhkan perubahan itu. Karena manusia bergerak, berkembang, perubahan akan terus terjadi sepanjang usia. Namun transisi mesti berhasil dilalui agar kita bisa melewati perubahan dengan baik.

Pada bagian ini, Sir William Bridges mengajarkan kita, bahwa betapapun kita belajar menghadapi perubahan baru, pengakhiran tetaplah fase pertama dari transisi. Fase kedua adalah periode kehilangan dan kekosongan, sebelum mendapatkan pola kehidupan dan arah yang jelas. Fase ketiga adalah fase permulaan yang baru (hal 23)

Fase pertama transisi adalah sebuah pengakhiran. Kita harus siap menanggalkan identitas lama dan menerima 'kehilangan' itu sebagai realitas. Saya mengambil contoh kisah saya sendiri, saat ayah saya meninggal dunia, rasanya seperti kebingungan sendiri dalam waktu cukup lama. 

Tidak terima bahwa ayah saya sudah tidak ada di dunia, kadang saya menganggap ayah saya sedang pulang kampung saja. Hingga pada akhirnya saya sadari kalau ternyata memang ayah tidak akan pulang ke rumah lagi. Ini lah fase pertama transisi dari perubahan yang saya alami.

Lanjut ke fase kekosongan (netral zone), saat lampu kamar putus, alih-alih berpikir untuk memanjat dan mengganti lampu, saya malah menangis. Membayangkan biasanya cukup lapor kepada ayah dan ayah yang mengurus lampu teresebut. Saya sudah sadar ayah saya sudah tidak ada, tapi saya masih kehilangan arah. Merasa tidak berdaya dan kehilangan motivasi.

Akhirnya, setelah melewati tahap ini, barulah saya bisa memulai pola kehidupan yang baru. Menyadari tidak ada 'hero man' lagi di rumah, saya mulai berlatih dan membiasakan diri untuk tidak diantar kemana-mana lagi, justru saya yang mengantar ibu/adik saya; tidak ada yang kuat membalik galon air minum, maka dispenser diganti pompa galon elektrik, motor manual diganti motor matic. 

Inilah fase ketiga transisi saya, ekspresi identitas baru, sebagai permulaan yang baru. Semua berubah. Sepele dan sederhana memang perubahannya, tapi tetap, tidak ada yang mudah dalam setiap transisi.

Seperti kisah pada bab 3 di buku ini, dikisahkan sebuah keluarga yang sukses dan bahagia, jika hanya di gambarkan dari yang terlihat di depan saja. Orang tua dengan karir yang bagus, anak-anak terpelajar dan aktif secara sosial. Namun sebenarnya dibalik itu, kehidupan mereka penuh persoalan. Seperti ketertarikan pasangan (orangtua dalam cerita ini) yang memudar, anak-anak yang beranjak dewasa dan hal-hal pelik lainnya. 

Sebab, bicara transisi, maka bicara hati. Persoalan tak nampak dari luar. Sisi psikologis kita yang merasakan bagaimana melawan pergelutan hati, struggle setiap hari, hingga kebingungan mencari solusi.

Bagian 2 buku ini melanjutkan penjelasan detail tentang proses transisi itu sendiri. Perbedaan penting antara perubahan dengan transisi adalah bahwa perubahan merupakan dorongan untuk mencapai suatu target, tetapi transisi dimulai dengan melepaskan segala yang tidak lagi sesuai atau memadai untuk tahap kehidupan saat itu. Kita sendiri yang perlu membayangkan, apa persisnya sesuatu yang tidak lagi sesuai. Ia bersifat internal.  (hal 178)

Karena perubahan bukan kita yang sendiri yang buat, perubahan sifatnya eksternal, yang diri kita buat adalah transisi. Perubahan bersifat situasional: rumah baru, bos baru, tim baru, kebijakan baru. Sementara transisi adalah proses psikologis yang dilalui orang untuk berdamai dengan situasi baru.

Bicara tentang perubahan, rasanya begitu banyak perubahan yang terjadi dalam hidup saya selama 2 tahun terakhir. Namun ternyata, saya belum berhasil ber-transisi, bahkan dari perubahan yang pertama. Itulah yang saya sadari berkat buku ini. Ketidakberhasilan kita dalam bertransisi, tidak akan membuat kita berhasil melalui tahap hidup yang baru.

Perubahan ketika ayah meninggal dunia, peralihan dari seorang wanita karir menjadi ibu rumah tangga, dari seorang lajang menjadi seorang istri. Berlanjut menjadi ibu hamil, hingga beberapa bulan kemudian keguguran dan merasa kehilangan lagi. Ternyata tidak mudah.

Kita menolak transisi bukan karena kita tidak bisa menerima perubahan, tetapi kita belum siap melepaskan bagian diri kita dari kondisi sebelumnya. Selama kita belum mengakhiri kondisi yang sebelumnya, kita tidak akan pernah bisa memulai perubahan.  

Memang, sering kali kenyamanan membawa pada stagnasi bahkan kemunduran. Ketika ada tantangan yang tidak siap ditangani, bahkan bisa membuahkan kehancuran. Karenanya, perlu dibangun kesiapan untuk menghadapi perubahan, termasuk kesiapan dalam menghadapi resistensi terhadap perubahan.

Buku ini benar-benar mampu memberikan pemahaman kepada saya tentang pola dasar dari proses transisi. Tidak hanya memandu "bagaimana cara mengatasi", tetapi juga membuat kita yang membacanya menerima, bahwa kekacauan, kematian, dan pembaruan merupakan dasar kehidupan. Buku ini mampu membantu saya menganalisis transisi kehidupan saya melalui tiga tahap ekstrim (Pengakhiran - Zona Netral - Permulaan Baru) dengan bahasa dan contoh kisah yang mudah dipahami dan diterima.

Sebagaimana dalam proses transisi, kita baru sampai ke permulaan buku ini pada bagian akhirnya. Ketika pengakhiran dan masa netralitas yang kosong sudah selesai, barulah kita bisa memulai diri kita yang baru. (hal 217) Mungkin ini yang orang bilang 'Move On'. 

Saya jadi teringat satu quote dari film Uptown Girl yang bilang "Every story has an end. But in life, every ending is just a new beginning".

Ending artinya adalah akhir dari hal yang lama dan New Beginning adalah awal dari hal baru. Jadi, Setiap Akhir dari hal yang lama, akan membawa kita menuju Awal dari yang baru. Ada proses yang mau tidak mau harus kita lewati. Ada "Grieving" (berduka) yang harus kita alami, rasakan dan selesaikan.

Buku Transisi ini dinobatkan jadi salah satu buku self help terbaik. Dan saya sangat menyetujui itu. Butuh waktu yang cukup lama bagi saya dalam menuntaskan buku ini. Buku ini berhasil membuat saya banyak bengong, bukan karena membingungkan apalagi membosankan, namun saya benar-benar dibuat termenung dan berpikir saat membacanya.

Penulis : William Bridges
Halaman : 296 hal
Ukuran : 14 x 21 cm
Cetakan : Juli 2021
ISBN : 978-623-6083-14-7
Penerbit: Renebook

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun