Tidak terima bahwa ayah saya sudah tidak ada di dunia, kadang saya menganggap ayah saya sedang pulang kampung saja. Hingga pada akhirnya saya sadari kalau ternyata memang ayah tidak akan pulang ke rumah lagi. Ini lah fase pertama transisi dari perubahan yang saya alami.
Lanjut ke fase kekosongan (netral zone), saat lampu kamar putus, alih-alih berpikir untuk memanjat dan mengganti lampu, saya malah menangis. Membayangkan biasanya cukup lapor kepada ayah dan ayah yang mengurus lampu teresebut. Saya sudah sadar ayah saya sudah tidak ada, tapi saya masih kehilangan arah. Merasa tidak berdaya dan kehilangan motivasi.
Akhirnya, setelah melewati tahap ini, barulah saya bisa memulai pola kehidupan yang baru. Menyadari tidak ada 'hero man' lagi di rumah, saya mulai berlatih dan membiasakan diri untuk tidak diantar kemana-mana lagi, justru saya yang mengantar ibu/adik saya; tidak ada yang kuat membalik galon air minum, maka dispenser diganti pompa galon elektrik, motor manual diganti motor matic.Â
Inilah fase ketiga transisi saya, ekspresi identitas baru, sebagai permulaan yang baru. Semua berubah. Sepele dan sederhana memang perubahannya, tapi tetap, tidak ada yang mudah dalam setiap transisi.
Seperti kisah pada bab 3 di buku ini, dikisahkan sebuah keluarga yang sukses dan bahagia, jika hanya di gambarkan dari yang terlihat di depan saja. Orang tua dengan karir yang bagus, anak-anak terpelajar dan aktif secara sosial. Namun sebenarnya dibalik itu, kehidupan mereka penuh persoalan. Seperti ketertarikan pasangan (orangtua dalam cerita ini) yang memudar, anak-anak yang beranjak dewasa dan hal-hal pelik lainnya.Â
Sebab, bicara transisi, maka bicara hati. Persoalan tak nampak dari luar. Sisi psikologis kita yang merasakan bagaimana melawan pergelutan hati, struggle setiap hari, hingga kebingungan mencari solusi.
Bagian 2 buku ini melanjutkan penjelasan detail tentang proses transisi itu sendiri. Perbedaan penting antara perubahan dengan transisi adalah bahwa perubahan merupakan dorongan untuk mencapai suatu target, tetapi transisi dimulai dengan melepaskan segala yang tidak lagi sesuai atau memadai untuk tahap kehidupan saat itu. Kita sendiri yang perlu membayangkan, apa persisnya sesuatu yang tidak lagi sesuai. Ia bersifat internal. Â (hal 178)
Karena perubahan bukan kita yang sendiri yang buat, perubahan sifatnya eksternal, yang diri kita buat adalah transisi. Perubahan bersifat situasional: rumah baru, bos baru, tim baru, kebijakan baru. Sementara transisi adalah proses psikologis yang dilalui orang untuk berdamai dengan situasi baru.
Bicara tentang perubahan, rasanya begitu banyak perubahan yang terjadi dalam hidup saya selama 2 tahun terakhir. Namun ternyata, saya belum berhasil ber-transisi, bahkan dari perubahan yang pertama. Itulah yang saya sadari berkat buku ini. Ketidakberhasilan kita dalam bertransisi, tidak akan membuat kita berhasil melalui tahap hidup yang baru.
Perubahan ketika ayah meninggal dunia, peralihan dari seorang wanita karir menjadi ibu rumah tangga, dari seorang lajang menjadi seorang istri. Berlanjut menjadi ibu hamil, hingga beberapa bulan kemudian keguguran dan merasa kehilangan lagi. Ternyata tidak mudah.
Kita menolak transisi bukan karena kita tidak bisa menerima perubahan, tetapi kita belum siap melepaskan bagian diri kita dari kondisi sebelumnya. Selama kita belum mengakhiri kondisi yang sebelumnya, kita tidak akan pernah bisa memulai perubahan. Â