Bukan...
Bukan marah ku pada takdir
Aku tau bahwa pada akhirnya kita semua pasti akan kembali pada-NYA
Ini hanya tentang hatiku
Patah hati terbesarku
Yang tidak ada obatnya
Tiada akan pernah tersembuhkan seumur hidup lubang besar dihatiku
Cinta pertamaku...
Lelaki garang yang tega memarahi dan memukul,
Lalu setelah itu mampu dengan lembut membelai meminta maaf telah membuat menangis dan memberitau dimana salahku
Lelaki kuat yang seenaknya membentakku untuk makan saat sakit, namun dibalik pintu ternyata menangis tersedu karena mengkhawatirkan kondisiku
Bahasa cinta kontak fisiknya tak pernah hilang meski anak2nya sudah beranjak dewasa
Di kursi tunggu rumah sakit, ringan saja meminta anak gadisnya duduk dipangkuannya
"Emang kenapa dipangku ayah sendiri? Kalau dipangku ayah orang lain baru malu" candanya
Tak dipedulikannya sama sekali pandangan bingung orang lain
Menghampiri ke kamar anak gadisnya yang tengah istirahat hanya untuk mengusap-ngusap kepala...dan menjahili tentunya
***
Saat mendengar kau telah pergi dari dunia ini
Jangankan menangis,
Berpikir pun tidak bisa
Menatap hampa tak mencerna, kenapa semuanya menangis?
Tersadar dan teranalisa baru kini,
Otakku bloking informasi sedemikian kala itu. Denial
Tak mau menerima dan memproses informasi tersebut
Tetiba kemudian terjatuh diri ini ke lantai. Histeris.
Baru kini pula terasa betapa memalukannya diriku kala itu
Jahat pada perasaan mereka yang juga patah hati namun tetap tenang
Ah, cintaku...
Lawakan mu yang out of the box masih terekam jelas dibenakku.
Seenaknya kau bilang dalam canda, "Udah tau nafas terakhir. Kenapa dihembuskan. Jadi habis kan. Harusnya ditahan. Jadi gak habis."
Dan dengan entengnya pada suatu hari itu, ku respon dengan tawa "Lihat yaaa, awas nanti papi kalo udh tua, mau meninggal, kan ku bilang nanti, Tahan! Jangan dihembuskan! Gak boleh hembuskan biar gak habis"
Lalu bersama kita tertawa dengan lawakan super jayus itu, Â "Lah papi mu wes tuek nduk" (papi mu emang udah tua, nak). Begitu tanggapanmu.
Sebenarnya,
Fakta bahwa kau sudah tua aku tau
Fakta bahwa usia kita terpaut 38 tahun pun aku tau
Yang aku tak tau,
Kau cepat sekali meninggalkanku
Tetiba sekarang dirimu sudah anteng di bawah tanah
Tidak ada lagi gangguan pesan dan telpon darimu yang menanyakanku sedang dimana
Tidak ada lagi amarah hingga tawa mu ketika mengomentari kelakukanku
Belum kubuatkan rumah istirahat masa tua untukmu, tapi kau sudah "pulang" saja.
Ku masih berjuang di dunia yang super awut-awutan ini, kau sudah pergi jauh saja
Bilamana ku bisa nego padaNYA dan pada waktu,
Ingin rasanya ku minta bagi 2 sisa hidupku denganmu
Agar kita bisa hidup sama-sama dan pergi bersama jua,
Sehingga kita tak akan saling menyakiti seperti ini
Tapi yah...
Mau marah bagaimana pun kini, kau sudah tidak dengar yah?
Tak bisa lagi kita berdebat urusan baju yang akan kita pakai sampai perkara madzhab.
Aku mesti sadar,
Bukan dirimu yang mau
Bukan dirimu yang mengontrol ini semua
Allah, Pemilikmu
Pembuat skenario terbaik
Dan aku harus percaya
Sekarang kau bahagia diantara taman syurga
Dan maaf, aku tak bisa memaksa menemani mu disana
Meski bagai dzikir, saat kepergian mu, sepanjang hari aku meminta "aku mau ikut ya Allah"
Aku hanya bisa berusaha ikhlas sekarang.
Tidak berkesempatan kubuatkanmu rumah di dunia,
Namun, Bismillah, dengan ridhomu selama membesarkan dan mendidikku,
Kan ku siapkan mahkota terindah untuk papi - mami, dirumah kita bersama lagi, di JannahNya nanti
Aku selalu mencintaimu,
Karena aku pun mampu tumbuh dengan baik berkat cintamu
Terimakasih....cinta sejatiku
Ku kutip sebait sajak irama Nadin Amizah,
"Sedikit kujelaskan tentangku dan kamu
Agar seisi dunia tahu
Keras kepalaku sama denganmu
Caraku marah, caraku tersenyum"
Namun sayangnya, tak bisa lagi bertaut detak jantung kita.
Hanya aku,
dan memoriku bersamamu bertaut dalam jiwa selamanya
Terimakasih, cinta sejati
Terimakasih, ya Allah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H