Mohon tunggu...
Beta Firmansyah
Beta Firmansyah Mohon Tunggu... Guru - Hidup dengan menebar manfaat dan kebahagiaan

Seorang guru di sekolah swasta. Katanya sih jurusan Ilmu al-Qur'an & Tafsir (IAT) dan Akidah dan Filsafat Islam (AFI), soalnya tidak terlalu mencerminkan hhee.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Apakah Perbedaan Awal Ramadhan Haruskah Dibenturkan?

11 Maret 2024   04:27 Diperbarui: 11 Maret 2024   04:30 797
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selalu, seolah sudah menjadi menu tahunan. Perbedaan awal Ramadhan dan Syawal selalu ramai diperbincangkan. Beranda-beranda media sosial, siaran televisi dan media informasi lainnya dipenuhi dengan berita dan perbincangan ini. Isu ini menjadi headlinenews tahunan.

Di satu sisi, masyarakat Islam mulai cemas, menunggu-nunggu kepastian kapan harus berpuasa. Lebih dini mereka sudah mempersiapkan menu sahur dan berbuka untuk awal puasa. 

Di sisi yang lain, banyak orang awam bingung. Mereka terkategori pada beberapa jenis, sebagian memilih dan berpihak pada ormas tertentu (Muhammadiyah) dan sebagian berpihak pada negara (termasuk PBNU). 

Tapi anehnya, paradigma kebanyakan orang, ini soal NU dan Muhammadiyah (MU). Mereka berpendapat, yang puasanya lebih awal itu MU dan yang belakangan NU. Bahkan parahnya, ini sering dibenturkan. Seolah ormas A benar dan yang lain salah. Tapi memang, memahamkan bagaimana penentuan awal Ramadhan tidak semudah yang dibayangkan. Banyak istilah teknis, sampai ilmu falak/astronomi yang harus dipahami. Mulai dari ru'yatul hilal, hisab, hilal hakiki, nol derajat, tiga derajat dan lainnya. 

Saya ingin berbagi apa yang saya pahami (note: yang saya pahami), terkait masalah ini. Kita harus berangkat dari masalah dua metode penentuan awal bulan hijriyah. Pergantian bulam hijriyah dapat dilakukan dengan: Pertama, hisab; berarti perhitungan. Yaitu sebuah metode yang menjadikan hitungan astronomis terkait pergerakan bumi, bulan dan matahari untuk menentukan awal bulan. Kedua, ru'yah; berarti melihat. Yaitu sebuah metode yang menjadikan penglihatan dengan mata (tentunya dengan bantuan alat) untuk menentukan awal bulan. 

Metode dalam menentukan awal bulan hijriyah, kecuali bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijah, itu relatif sama. Yaitu menggunakan hisab. Akan tetapi, dalam konteks penentuan awal ramadhan, terjadi perbedaan, sebagian menggunakan ru'yatul hilal (melihat hilal) dan sebagian konsisten dengan hisab.  Cukup menarik sebenarnya. Tapi, semua itu terjadi karena mencari kepastian awal ibadah yang agung, yaitu puasa ramadhan.

Perbedaan MU & NU

Secara sederhana perbedaan penentuan awal ramadhan ini dapat dideskripsikan ke dalam beberapa poin:

Pertama, MU konsisten menggunakan metode hisab wujudul hilal dalam menentukan awal bulan Ramadhan. Maksudnya, MU melakukan penghitungan adanya bulan baru (wujudul hilal). Jika bulan itu sudah pasti ada (wujudul hilal) tanpa melihat derajatnya, maka itu sudah masuk bulan baru.

Kedua, pemerintah dan NU (disebut yang tren) menggunakan ru'yatul hilal, walaupun tetap saja ada proses hisab di sana. Mengapa dikatakan seperti itu? Karena pada ru'yatul hilal, orang harus tetap menghitung terlebih dahulu posisi bulan. Permasalahannya, bukan apakah bulan itu ada (wujud) atau tidak tapi mungkin dilihat (imkanu ru'yah) ataukah tidak. Ini berbeda dengan yang dilakukan oleh MU. 

Ketiga, MU dengan hisab wujudul hilal tidak melihat kriteria derajat minimal untuk awal bulan baru, berapapun derajatnya, maka bulan sudah berganti.  Berbeda dengan NU  (termasuk pemerintah) yang menentukan derajat minimal untuk hilal, yaitu pada tinggi 3 dan sudut elongasi 6,4. Kriteria ini muncul karena prinsip bahwa bulan harus mungkin dilihat (imkanu ru'yah). 

Keempat, mungkin sebagian bertanya, kenapa sebagian keukeuh harus ru'yah? Sementara penentuan awal bulan yang lain dengan hisab? 

Untuk menjawab ini, beberapa hal yang harus dipahami. Menjadi prinsip baku bahwa ibadah harus menunggu nash/perintah dari langit. Dalam kaitannya dengan awal puasa, al-Quran berfirman dan Nabi pun bersabda.


"Berpuasalah jika engkau melihat bulan (ru'yatihi) dan berbukalah (Idul Fitri) ketika engkau melihatnya pula."

Inilah yang menjadi dasar untuk adanya ru'yah. Itupun praktik yang dilakukan nabi semasa hidupnya. Dikisahkan seorang harus melaporkan bahwa dia melihat bulan, bahkan sampai disumpah. Jika benar, maka puasa sudah bisa dilakukan di esok harinya. Tapi orang mulai berdebat terkait interpretasi hadis tersebut. Salah satu interpretasinya adalah hisab. Dulu orang menentukan awal Ramadhan karena belum tersedianya teknologi, maka harus melihat dengan mata sendiri.

Menurut penulis, dari kisah nabi dalam penentuan awal Ramadhan, intinya adalah "kepastian bahwa besok sudah masuk awal Ramadhan ataukah belum" sehingga nabi harus menyumpah terlebih dahulu orang yang melihat hilal. 

Dalam diskursus epistemologi, perdebatan  kepastian pengetahuan disebut dengan apriori/badihi awwali dan badihi tsanawi. Memang salah satu pengetahuan yang pasti adalah penglihatan. Maka ru'yah itu pasti/badihi karena nampak jelas. Tapi satu sisi, eksperimen (hisab) pun badihi. Sehingga keduanya bisa dijadikan dasar. Hanya perbedaan medasarnya yang membuat perbedaan awal puasa adalah adalah soal derajat hilal.

Sebuah Analogi

Terkahir penulis ingin memberikan analogi. Analogi sederhananya seperti ini, dua orang duduk di pinggir pantai, menunggu keluarganya pulang bernelayan.  Satu orang di antara mereka membawa teropong untuk melihat posisi nelayan tersebut dan yang lain tidak. Ketika pada posisi tertentu, orang yang membawa teropong itu melihat ada benda yang datang menuju tempat duduknya. Dia yakin itu nelayan, walaupun tidak terlihat jelas karena jarak. Berbeda dengan orang yang satu lagi, dia meyakini bahwa ia tidak melihat benda yang menuju tempat duduknya. Pada kondisi ini keduanya benar, karena keduanya berbeda dari sisi metode penentuan. Bagi yang menentukan ada nelayan yang datang dengan teropong itu benar dan yang menyebutkan tidak ada pun benar. Karena kebenaran itu tergantung sejauh mana pencariannya. 

Begitupun dengan penentuan awal Ramadhan, bagi yang menggunakan hisab wujudul hilal adalah benar, karena memang hilal sudah berwujud. Begitupun dengan ru'yaul hilal itu juga benar, karena hilal belum mampu terlihat (imkanu ru'yah). Maka dari itu, keduanya tidak usah dibenturkan. Keduanya, harus dipahami sehingga muncul rasa toleransi. []

Beta Firmansyah

Senin, 11 Maret 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun