Ketiga, MU dengan hisab wujudul hilal tidak melihat kriteria derajat minimal untuk awal bulan baru, berapapun derajatnya, maka bulan sudah berganti. Â Berbeda dengan NU Â (termasuk pemerintah) yang menentukan derajat minimal untuk hilal, yaitu pada tinggi 3 dan sudut elongasi 6,4. Kriteria ini muncul karena prinsip bahwa bulan harus mungkin dilihat (imkanu ru'yah).Â
Keempat, mungkin sebagian bertanya, kenapa sebagian keukeuh harus ru'yah? Sementara penentuan awal bulan yang lain dengan hisab?Â
Untuk menjawab ini, beberapa hal yang harus dipahami. Menjadi prinsip baku bahwa ibadah harus menunggu nash/perintah dari langit. Dalam kaitannya dengan awal puasa, al-Quran berfirman dan Nabi pun bersabda.
"Berpuasalah jika engkau melihat bulan (ru'yatihi) dan berbukalah (Idul Fitri) ketika engkau melihatnya pula."
Inilah yang menjadi dasar untuk adanya ru'yah. Itupun praktik yang dilakukan nabi semasa hidupnya. Dikisahkan seorang harus melaporkan bahwa dia melihat bulan, bahkan sampai disumpah. Jika benar, maka puasa sudah bisa dilakukan di esok harinya. Tapi orang mulai berdebat terkait interpretasi hadis tersebut. Salah satu interpretasinya adalah hisab. Dulu orang menentukan awal Ramadhan karena belum tersedianya teknologi, maka harus melihat dengan mata sendiri.
Menurut penulis, dari kisah nabi dalam penentuan awal Ramadhan, intinya adalah "kepastian bahwa besok sudah masuk awal Ramadhan ataukah belum" sehingga nabi harus menyumpah terlebih dahulu orang yang melihat hilal.Â
Dalam diskursus epistemologi, perdebatan  kepastian pengetahuan disebut dengan apriori/badihi awwali dan badihi tsanawi. Memang salah satu pengetahuan yang pasti adalah penglihatan. Maka ru'yah itu pasti/badihi karena nampak jelas. Tapi satu sisi, eksperimen (hisab) pun badihi. Sehingga keduanya bisa dijadikan dasar. Hanya perbedaan medasarnya yang membuat perbedaan awal puasa adalah adalah soal derajat hilal.
Sebuah Analogi
Terkahir penulis ingin memberikan analogi. Analogi sederhananya seperti ini, dua orang duduk di pinggir pantai, menunggu keluarganya pulang bernelayan. Â Satu orang di antara mereka membawa teropong untuk melihat posisi nelayan tersebut dan yang lain tidak. Ketika pada posisi tertentu, orang yang membawa teropong itu melihat ada benda yang datang menuju tempat duduknya. Dia yakin itu nelayan, walaupun tidak terlihat jelas karena jarak. Berbeda dengan orang yang satu lagi, dia meyakini bahwa ia tidak melihat benda yang menuju tempat duduknya. Pada kondisi ini keduanya benar, karena keduanya berbeda dari sisi metode penentuan. Bagi yang menentukan ada nelayan yang datang dengan teropong itu benar dan yang menyebutkan tidak ada pun benar. Karena kebenaran itu tergantung sejauh mana pencariannya.Â
Begitupun dengan penentuan awal Ramadhan, bagi yang menggunakan hisab wujudul hilal adalah benar, karena memang hilal sudah berwujud. Begitupun dengan ru'yaul hilal itu juga benar, karena hilal belum mampu terlihat (imkanu ru'yah). Maka dari itu, keduanya tidak usah dibenturkan. Keduanya, harus dipahami sehingga muncul rasa toleransi. []