Menyadari pentingnya peran orang tua dalam kehidupan anak seharusnya menjadi langkah awal dalam membangun hubungan keluarga yang harmonis. Hubungan yang harmonis di dalam keluarga adalah impian bagi semua orang. Adanya kasih sayang dan kesamarataan hak dan kewajiban serta peran setiap anggota keluarga menentukan terwujudnya keluarga yang nyaman dan tentram.Â
Berbanding terbalik dengan keluarga yang di dalamnya minim kepedulian antar sesama dan tuntutan yang tidak seharusnya seperti hilangnya peran orangtua dalam membersamai tumbuh kembang anak dan ekspetasi orangtua yang harus diwujudkan oleh sang anak tanpa adanya dukungan, motivasi, dan arahan yang perlu disetujui dari sisi anak sendiri.
Setiap orang memiliki harapan dalam hidup, begitu pula orang tua terhadap anak-anak mereka. Orang tua tentu menginginkan yang terbaik, berharap anak mereka tumbuh menjadi sosok yang sukses, baik secara akademis, sosial, maupun finansial. Namun, bagaimana jika harapan tersebut tanpa disadari berubah menjadi beban berat yang menekan anak?
Di tengah kesibukan sehari-hari, sering kali orang tua mencurahkan ambisi mereka kepada anak. Harapan besar disematkan, dengan keyakinan bahwa anak dapat memenuhi keinginan tersebut. Namun, ada kalanya ambisi ini berubah menjadi tekanan yang tak tertahankan. Apalagi jika harapan itu disertai perbandingan dengan anak-anak lain, yang justru memperbesar jarak emosional antara orang tua dan anak.
Kalimat seperti, "Lihat anak tetangga bisa juara satu, kamu kapan?" atau "Kamu contoh tuh bisa dapat uang sendiri tanpa minta orang tua" mungkin terdengar sepele di telinga orang tua. Tapi, bagi anak, ucapan ini bisa menjadi pukulan emosional yang mendalam.Â
Usaha mereka terasa tidak dihargai, dan rasa percaya diri mereka terkikis sedikit demi sedikit. Dalam jangka panjang, tekanan semacam ini dapat memicu stres, kecemasan, bahkan depresi.
Peran orang tua dalam kehidupan anak tentu sangat penting. Anak membutuhkan bimbingan, arahan, dan dukungan dari orang tua. Namun, dukungan tersebut seharusnya diberikan dalam bentuk yang membangun, bukan dengan cara menekan atau mengukur keberhasilan anak melalui pencapaian orang lain.Â
Setiap anak memiliki keunikan, dan membanding-bandingkan hanya akan menghilangkan potensi asli mereka.
Tekanan yang diberikan orang tua sering kali tidak disadari. Banyak yang berpikir bahwa perbandingan dapat memotivasi anak untuk lebih baik, tetapi kenyataannya, hal itu justru menanamkan rasa takut akan kegagalan. Anak-anak yang hidup di bawah bayang-bayang perbandingan cenderung merasa bahwa cinta dan penerimaan orang tua bersyarat. Mereka merasa dihargai hanya ketika berhasil memenuhi standar tertentu.
Namun, apakah nilai sempurna atau piala penghargaan benar-benar lebih penting dibandingkan kebahagiaan anak? Luka emosional akibat tekanan orang tua sering kali tidak terlihat, tetapi dampaknya nyata dan berjangka panjang. Anak-anak yang tumbuh tanpa dukungan emosional yang memadai cenderung kesulitan membangun rasa percaya diri, mengambil risiko, atau bahkan menjalin hubungan yang sehat di kemudian hari.
Menurut Fitriyani (2015) pola asuh orang tua terhadap anak, khususnya bagaimana orang tua memperlakukan anak, mendidik, membimbing, menghukum, dan menjaga anak sampai dewasa hingga membentuk tingkah laku anak yang sesuai dengan standar dan nilai yang baik dan sesuai dengan kehidupan masyarakat
.Sedangkan menurut Hurlock (1996) mengemukakan bahwa cara orang tua memperlakukan anaknya mempengaruhi sikap dan tingkah laku anak. Sikap orang tua secara substansial mempengaruhi ikatan keluarga karena ketika terbentuk, hubungan akan cenderung bertahan. Pola asuh orang tua ialah salah satu upaya yang dilakukan untuk membentuk karakter unggul kepada anaknya.
Berdasarkan beberapa uraian pendapat ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa pola asuh orang tua adalah interaksi yang menunjukan peran orang tua dalam mendidik, merawat, membuat aturan untuk anaknya selama proses perkembangan si anak.
Prestasi seorang anak terkadang bukanlah hal yang penting bagi orangtua jika keinginan orangtua lebih kepada hal yang lain. Terlebih jika orangtua tidak mendukung tetapi menuntut. Orangtua yang menggunakan pendekatan otoriter (penguasa yang kaku) cenderung kurang memberi dukungan dan banyak menuntut.Â
Orangtua seperti ini mengharapkan dan menuntut kepatuhan karena mereka "bertanggung jawab" dan tidak memberikan penjelasan apa pun atas perintah yang diberikan. Orangtua juga menyediakan lingkungan yang teratur dan terstruktur dengan aturan yang dinyatakan dengan jelas.
Sebagai orang tua, penting untuk memahami bahwa prestasi bukanlah satu-satunya indikator kebahagiaan atau kesuksesan anak. Lebih dari itu, anak membutuhkan cinta tanpa syarat, apresiasi atas usaha mereka, dan pengakuan atas keunikan mereka.Â
Daripada mengatakan, "Lihat anak lain bisa, kenapa kamu tidak?" akan lebih baik jika orang tua mengatakan, "Aku bangga dengan usaha kamu. Apa yang bisa kita lakukan bersama agar kamu merasa lebih baik?"
Prestasi anak memang membanggakan, tetapi tidak ada kebanggaan yang lebih besar daripada melihat anak tumbuh menjadi pribadi yang bahagia, percaya diri, dan mampu menghadapi tantangan hidup dengan cara mereka sendiri. Sudah saatnya kita berhenti memandang anak sebagai cerminan ambisi kita, dan mulai melihat mereka sebagai individu dengan potensi dan impian yang unik.
Karena pada akhirnya, luka yang tak terlihat di balik prestasi anak adalah tanggung jawab kita sebagai orang tua untuk mencegahnya. Anak-anak berhak tumbuh dengan cinta, dukungan, dan kebebasan untuk menjadi diri mereka yang sebenarnya, tanpa tekanan atau perbandingan yang melukai. Mari kita renungkan, apakah cara kita mendukung anak sudah benar-benar membantu mereka, atau justru meninggalkan bekas luka yang tak terlihat?
Ada banyak hal yang tidak disadari orangtua yang mengira didikannya sudah benar dan akan selalu berpengaruh baik untuk anak. Kecemasan, gangguan mental cenderung lebih mudah menyerang anak yang mendapat tekanan serta tuntutan dari orangtua. Bahkan data menyatakan bahwa di Indonesia, prevalensi gangguan mental pada tahun 2021 mencapai 9,8%, dengan angka depresi mencapai 6,6%.Anak - anak pun tak luput dari data tersebut.
Mulai menyadari betapa ringannya menyepelekan efek dari didikan otoriter orangtua terhadap anak. Tidak semua hal tersebut baik untuk anak. Bahkan faktanya banyak ditemui di media sosial mengenai perkataan orangtua bahwa karena mereka baru pertama kali menjadi orangtua,meminta di maklumi, dimengerti, dan dipahami.
 Lalu anak?, mereka mungkin berpikir lahir didunia ini karena diharapkan, dicintai, dilindungi, bukan seolah merasa hanya diperalat sebagai pemberi apapun yang orangtua inginkan tanpa memikirkan kenyamanan, persetujuan dari anak.
Dengan mulai menyadari peran penting orangtua dalam pola asuh anak tidak hanya memberikan arahan saja tetapi juga mendampingi mereka dalam mengolah hobi, bakat, dan kemampuan yang mereka miliki dan menurunkan ego untuk menekan anak agar selalu menuruti perintah orangtua.Â
Yang mereka butuhkan dukungan bukan hanya perintah dan tekanan. Memberi perlindungan untuk kesehatan mental dan mengapreasiasi apapun yang mereka dapat sudah hal wajib dilakukan orangtua untuk anak-anaknya. Tentu sebagai orangtua melihat anak tumbuh dengan mental sehat, berbakat, berprestasi, bisa membawa diri bukankah suatu kebanggan dibanding dengan anak kita yang cenderung menutup diri dan berjarak dari kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H