Mohon tunggu...
Beryl Lumenta
Beryl Lumenta Mohon Tunggu... Guru - Belajar menulis

Husband, father, teacher, friend, in that particulair order

Selanjutnya

Tutup

Politik

Adu Program dan Surat Al-Maidah 51 di Sidang Ahok

20 Desember 2016   21:39 Diperbarui: 20 Desember 2016   21:46 1062
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini adalah tulisan pertama saya setelah vakum beberapa bulan. Selama beberapa bulan itu, bukannya tidak ada bahan untuk dituangkan dalam, tulisan, tetapi karena terlalu banyak, dan waktu saya terlalu sedikit, sehingga tidak satupun tulisan mampu saya selesaikan.

Kejadian hari ini, di sidang kedua Ahok pada kasus penistaan agama, mau tidak mau membuat saya tergelitik untuk membuat tulisan kecil ini. Saya ingin mengkritisi satu bagian dari tanggapan JPU (Jaksa Penuntut Umum) terhadap Eksepsi Ahok yang dibacakan pada sidang pertama minggu lalu.

Berikut saya kutip perkataan Jaksa Ali Mukartono tersebut, sebagaimana tertulis dalam kompas.com :

"Dalam kaitan ini, terdakwa telah menempatkan diri sebagai orang paling benar dengan mengharuskan kandidat kepala daerah supaya menggunakan metode yang sama dengan terdakwa yaitu dengan adu program," ujar Jaksa dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jalan Gajah Mada, Selasa (20/12/2016).

"Sebaliknya, yang gunakan metode lain disebut tidak sepaham dengan terdakwa, termasuk yang menggunakan surat Al-Maidah ayat 51, dianggap sebagai oknum elite yang pengecut," kata Jaksa.

Jaksa mengatakan, seharusnya koridor yang digunakan adalah peraturan Undang-undang yang berlaku. Jika kepala daerah lain tidak menggunakan metode yang sama dengan Ahok, maka tidak bisa dipermasalahkan. Selama metode yang digunakan tidak melanggar peraturan.

"Sikap terdakwa yang secara tidak langsung merasa paling benar. Seloah-olah tidak ada orang lain yang lebih baik dari terdakwa. Sehingga yang lain dianggap pengecut hanya karena menggunakan surat Al-Maidah ayat 51," ujar Jaksa.

Terus terang saya tergelitik dengan pernyataan JPU, bahwa Ahok mengharuskan kandidat kepala daerah lain supaya menggunakan metode ADU PROGRAM, dalam kampanyenya.

Saya kemudian berusaha mencari tahu, apa sih definisi kampanye menurut UU Pilkada? (UU no 8 tahun 2015) Ternyata definisi kampanye adalah :

“Kampanye Pemilihan yang selanjutnya disebut Kampanye adalah kegiatan untuk meyakinkan Pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota.”

(UU No 8 tahun 2015)

Jadi kampanye isinya ya sosialisasi program. Kalau pesertanya lebih dari satu pasangan calon (paslon) berarti adal lebih dari seperangkat program. Bagaimana pemilih bisa diyakinkan kalau program dari paslon tertentu adalah yang paling baik? Ya dengan ADU PROGRAM. Jadi Adu program itu bukan salah satu metode, tetapi adalah HAKEKAT dari kampanye itu sendiri. Menurut saya, aneh ketika kampanye dilakukan tanpa adu program (kecuali untuk paslon yang gak punya program, mungkin, sehingga gak pernah mau dateng waktu diajak debat lol).

Lebih aneh lagi ketika JPU memandang wajar pihak-pihak yang menggunakan surat Al-Maidah 51 dalam kampanye, padahal sudah jelas-jelas bahwa kampanye menggunakan unsur SARA itu tidak diperbolehkan (UU No 8 tahun 2015 pasal 69 poin b) saya kutip “

Dalam Kampanye dilarang:

a....

b. menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon  Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, Calon Wakil Walikota, dan/atau Partai Politik;

Apakah menggunakan alasan agama untuk melarang seseorang menjadi kepala daerah melanggar pasal ini? Bisa jadi. Silahkan teman-teman yang kompeten menjelaskan hal tersebut. Apapun itu, menurut saya aneh kalau seorang Jaksa tidak mengetahui hal-hal tersebut.

Atau mungkin Jaksa tahu, tapi karena perannya, terpaksa mencari-cari kesalahan yang tidak ada?

Entahlah....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun