Secara (tidak) mengejutkan Ahok menyatakan maju melalui jalur independen dengan dukungan Teman Ahok dan Partai Nasdem. Bagi sebagian orang, langkah Ahok ini adalah bunuh diri politik. Mengapa?Â
Yang pertama, dengan menggandeng seorang PNS non partai (baca: bukan PDIP) Ahok memancing "kemarahan PDIP, sebagai kekuatan politik terbesar di Ibukota. Hal ini terbukti dengan pernyataan salah satu kadernya Prasetio Edi Marsudi (baca beritanya di sini) Bahwa "Negara dibangun oleh parpol, bukan relawan"Â
Yang kedua, jalan Ahok untuk mencalonkan diri dari jalur Independen, akan sangat terjal, bahkan bisa saja terancam gagal, karena KTP yang sudah terkumpul harus diverivikasi lagi, apakah pemegang KTP tersebut menarik dukungannya atau tidak, ketika Ahok mengajukan Heru sebagai Cawagubnya. (baca beritanya di sini) Dengan tagas Ahok menyatakan, bahwa kalau Teman Ahok gagal memverivikasi ulang KTP yang terkumpul, tidak dapat maju sebagai cagub, dan akan selesai Oktober 2017. Â Selain itu , masih banyak kendala yang bisa membatalkan pencalonannya (baca beritanya di sini) Memang Nasdem menyatakan dukungan tanpa syarat, dan kalau Teman Ahok gagal mengumpulkan KTP dalam jumlah minimum, bisa saja Nasdem mengajukan Ahok sebagai Cagub melalui mekanisme partai, namun, mengingat suara Nasdem yang kecil (hanya 5 kursi dari 21 kursi yang diperlukan untuk mengajukan calon pasangan gubernur), hal ini sulit diwujudkan.Â
Yang ketiga, sekalipun Ahok berhasil maju, tapi dia akan menghadapi lawan yang berat dari parpol, karena dapat dipastikan semua parpol, minus Nasdem, akan berusaha mengalahkan Ahok. Relawan Ahok akan menghadapi situasi yang berat dilapangan. Mengapa? Karena kekuatan parpol tidak bisa di remehkan (walaupun juga bukan untuk ditakuti) Parpol memiliki striktur yang sudah mapan dan sumber dana yang besar. Hal ini sangat diperlukan pada saat kampanye, maupun saat hari H, sebagai saksi di TPS. Bandingkan dengan kekuatan relawan. "Hanya" untuk mendapatkan uang 2 miliar saja, Teman Ahok harus susah payah jualan kaos.Â
Jadi mengapa Ahok memutuskan untuk maju melalui jalur independen? Saya bukan Ahok, jadi saya tidak tahu persis pikiran beliau, namun saya mencoba menganalisis berdasarkan apa yang saya ketahui tentang beliau.
Beliau, terlepas dari sikapnya yang kadang terkesan kasar dan pemarah, bukanlah seorang yang itdak punya etika. Beliau sangat menghormati Megawati, sebagai Ketua Umum partai besar yang saat ini sedang berkuasa. Itulah sebabnya, beliau sebenarnya lebih senang menunggu sikap Megawati, dan berharap Megawati melepas Djarot sebagai Cawagubnya. Namun, di sisi lain, Ahok juga sosok yang idealis dan berintegritas. Akan sulit jika Ahok harus berkompromi dengan partai politik manapun. Hal ini terlihat dari sikapnya yang secara tegas keluar dari Gerindra, karena tidak sepaham soal pilkada tak langsung. Saya rasa, Ahok tahu bahwa sulit bagi PDIP untuk hanya mendukungnya, dan bukan mengusungnya. PDIP adalah partai besar, tidak perlu berkoalisi untuk mengajukan calon. PDIP juga memiliki banyak kader potensial (Ganjar, Risma, dan Djarot, adalah sedikit diantaranya). Agak sulit membayangkan PDIP "hanya" mendukung calon dari jalur independen. Kalau beliau diusung PDIP, maka mau tidak mau harus banyak berkompromi dengan PDIP.Â
Ahok, saya rasa, sadar cara yang paling ideal adalah melalui jalur independen. Untuk itu, Teman Ahok, relawan Ahok, membutuhkan waktu untuk memperbaiki datanya (formulir dukungan yang mereka kumpulkan, tidak berisi nama pasangan calon, seperti yang disyaratkan undang-undang) Dan waktu sudah sangat mepet. Maka, walaupun mungkin dengan berat hati, beliau menunjuk Heru, Kepala BPKAD DKI sebagai calon wakilnya.
Walaupun itu adalah keputusan yang sulit, namun, menurut saya itu adalah keputusan yang terbaik. Hal ini menunjukkan setidaknya dua hal kepada kita.
Yang pertama, Ahok menunjukkan bahwa ia tidak mau kompromi dengan partai politik. Suka tidak suka, sulit untuk melepaskan citra negatif dari parpol, khususnya melihat kelakuan anaggota DPRD DKI. Jadi sikap ini dapat di baca sebagai sikap tidak kenal kompromi dengan tokoh "antagonis". Â Ahok dapat menjamin bahwa dirinya bebas kepentingan, dan dapat mempertahankan citranya yang Bersih, Transparan dan Profesional (BTP). Jadi Ahok dijamin akan tetap "galak" kalau nanti kembali terpilih sebagai Gubernur DKI.
Kedua, Ahok menunjukkan bahwa dia bukanlah figur yang haus kekuasaan, seperti sebagian orang yang rela kehilangan harta (baca: jual mobil) sebagai modal untuk mendapatkan kekuasaan. Atau demi gengsi karena mendapat dukungan tokoh-tokoh "hebat" (baca di sini). Dia rela kehilangan kekuasaan demi sesuatu yang lebih besar : Semangat dan Ketulusan Generasi Muda. Ya, demi tidak ingin mengecewakan Teman Ahok, komunitas anak muda yang peduli perubahan, Ahok rela kehilangan kekuasaannya. Dua hal itu, Ketulusan dan Semangat adalah yang menciptakan Negeri ini, ya, MENCIPTAKAN, bukan hanya sekedar membangun. Kalau tidak ada sekelompok anak muda yang "menculik" Bung Karno dan Bung Hatta, maka belum tentu kita, bangsa Indonesia merdeka, dan pastinya tidak tanggal 17 Agustus 1945.
Ahok tau benar menghargai kedua hal tersebut. Ditangan Generasi Mudalah terletak masa depan bangsa (bukan ditangan parpol)
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H